Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Asosiasi Game Indonesia (AGI) gencar mempromosikan produk game lokal.
Meluncurkan dua tanda pagar (tagar) atau hashtag, #MainGameLokal dan #BeliGameLokal.
Membuka peluang bisnis ke mancanegara.
ASOSIASI Game Indonesia (AGI) merayakan Hari Game Indonesia, 8 Agustus lalu, dengan mempromosikan game lokal. Kampanye produk lokal ditandai dengan peluncuran dua tanda pagar atau hashtag, #MainGameLokal dan #BeliGameLokal, dalam rangkaian program Baparekraf Game Prime 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pelaku bisnis game akan bertemu di Gamescom 2021 di Jerman. Indonesia akan mengirimkan wakil ke sana untuk belajar tentang bisnis game. Sebab, belanja game orang Indonesia setahun tembus Rp 30 triliun, tapi duit itu lari ke game mancanegara. Kepada Aisha Shaidra dari Tempo, Presiden AGI Cipto Adiguno menceritakan potensi industri game lokal yang besar pada Selasa, 24 Agustus lalu.
Bagaimana AGI mendorong industri game dalam negeri?
Inisiatif kami banyak. Kami melakukan riset untuk memetakan bisnis ini. AGI bekerja sama dengan pemerintah membuat beberapa program. Dari yang simpel seperti mengirim delegasi ke acara-acara bisnis di luar negeri untuk membuka opportunity baru.
Apa yang terbaru?
Sekarang persis ada event Gamescom di Jerman. Tapi, karena pandemi, event digelar secara online. Pada 2017-2019, kami mengirim delegasi ke Tokyo Game Show, lalu Game Connection di Amerika Serikat. Ini disubsidi pemerintah, tapi tidak penuh. Pelaku industri yang dikirim juga mengeluarkan dana supaya mereka juga punya kewajiban, lebih berniat belajar buat balik modal. Kegiatan seperti ini penting. Ini membuka opportunity lain bagi bisnis. Sejauh ini, sangat membuahkan hasil, banyak deal yang dihasilkan dari sana.
Pandemi Covid-19 berpengaruh pada industri game lokal?
Secara umum meningkat drastis. Di Indonesia, selama 2021, jumlah orang yang main game naik 30 persen. Mungkin natural, ya, karena pergerakan orang dibatasi, enggak bisa keluar, jadi mereka main game.
Ada kajiannya?
Riset terakhir bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dilakukan pada pertengahan 2020. Ada tiga tipe pelaku industri lokal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertama, yang punya produk sendiri (produsen, pemilik Internet Protocol), bisnisnya meningkat drastis, sekitar 50 persen.
Kedua, yang melayani jasa. Misalnya membikin karakter, gambar, atau mengerjakan game lain yang lebih gede. Kelompok ini secara umum enggak turun atau naik, tapi masih cenderung positif. Sebab, pada awal 2020, pas permulaan pandemi, asal Covid-19 kan dari Cina, sehingga banyak klien yang tadinya ke perusahaan di Cina pindah mencari opsi lain. Salah satunya ke Indonesia. Positif sedikit, enggak signifikan.
Ketiga, yang berfokus pada jasa industri lokal, seperti bikin game untuk event, booth, atau business-to-business. Ini turun drastis pada 2020, sampai 30-40 persen. Karena tidak ada kepastian pandemi akan sampai kapan, perusahaan ini cenderung konservatif, budget dihentikan. Tapi sekarang kondisi sudah mulai normal.
Berapa kira-kira perolehan bisnis game?
Pada 2020, orang Indonesia ngabisin sekitar US$ 1,7 miliar (sekitar Rp 30 triliun) setahun untuk main game. Sebagian besar uang itu lari ke produk game luar negeri.
Kalau produk game lokal?
Masih kecil banget, sekitar 1 persen. Karena itu, pemerintah cenderung berupaya mengambil pasar sendiri. Tujuannya, menarik sebagian dari pendapatan yang besar itu. Tapi pelaku game Indonesia malah lebih tertarik mengekspor produknya.
Kenapa?
Di Indonesia yang paling populer adalah mobile game. Sebab, semua orang punya telepon seluler dan cenderung berkomunitas, main bareng, nongkrong bareng. Orang main suatu game karena semua temannya di situ, bukan hanya karena game-nya bagus. Karakteristik ini membuat game yang gede makin gede.
Bagaimana dengan aspek finansial?
Game yang populer di Indonesia, misalnya Free Fire atau Mobile Legend, bujet promosi saja bisa jutaan dolar setahun. Game lokal, anggaran bikinnya saja belum nyampe segitu. Makanya pelaku Indonesia menargetkan market luar negeri yang karakternya main di PC (personal computer) atau konsol sendiri. Jadi mencari market yang lebih spesifik. Tidak bersaing langsung dengan raksasa.
Regulasi seperti apa yang diperlukan untuk mendorong pertumbuhan industri game lokal?
Di Malaysia, kalau bikin perusahaan game dapat gratis pajak 10 tahun. Di Australia, kalau investasi di perusahaan game sepuluh miliar, akan dikembalikan tiga miliar. Itu bentuk subsidi dan dukungan. Apakah itu bisa diaplikasikan di Indonesia? Apakah bermanfaat atau malah mengundang perusahaan asing “mengkanibal” perusahaan lokal? Banyak pertimbangannya, enggak bisa asal meniru.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo