Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ya Ricuh, Ya Bangkrut

Pt jayamas purnama plywood, samarinda, bangkrut gara-gara perebutan kekuasaan di antara pemegang saham kakak beradik kantono. menurut ketua apkindo, bob hasan, kehancuran ini sulit diperbaiki.(eb)

14 Desember 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERITA mengenai kesulitan industri kayu lapis seperti datang silih berganti. Dari Samarinda, belum lama ini, PT Jayamas Purnama Plywood dinyatakan bangkrut oleh Panitia Urusan Piutang Negara dalam sebuah pengumuman di koran setempat. Beberapa kalangan menduga, bangkrutnya pabrik yang beroperasi sejak Juni 1981 itu berkaitan dengan soal perebutan kekuasaan di antara para pemegang saham, kakak-beradik Kantono. Sampai saat Jayamas dinyatakan bangkrut, dan keputusan penyitaannya diperkirakan akan turun pekan ini, utangnya kepada sejumlah bank (di antaranya dengan Bank Dagang Negara) ditaksir lebih dari Rp 3,5 milyar. Sekarang lebih dari 22 jenis alat-alat berat perusahaan, seperti forklift, truk, excavator, dan bandsaw, sedang dijajakan. Kata Presiden Direktur Jayamas, Soetopo Kantono, hasil penjualan itu akan digunakannya untuk memberi pesangon 320 buruhnya yang di-PHK-kan sebesar Rp 90 juta. Kantono tidak bersedia menjelaskan lebih lanjut keadaan perusahaannya. Tapi, konon, upaya menjual sebagian kekayaan perusahaan sebelumnya pernah juga dilakukan. Hasilnya, Rp 25 juta, ternyata digunakan untuk membiayai pengeluaran kayu bukan untuk membayar uang makan, pengobatan, cuti, dan persiapan pesangon seperti pernah didengungkan direksi perusahaan. Karena itu, sebuah sumber di kantor gubernur Kalimantan Timur agak meragukan hasil penjualan kekayaan perusahaan itu akan sampai ke buruh. "Soalnya, perusahaan ini banyak utang," kata sumber itu. Kemelut yang menimpa perusahaan itu ternyata sudah sampai juga ke telinga Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo). Ketua Apkindo, Bob Hasan, memang belum menerima laporan kasus itu. Hanya saja, kata dia, mereka yang gulung tikar biasanya bertikai karena soal rebutan saham di samping mutu kayu lapisnya tidak memenuhi standar. "Ada sekitar 15% (dari anggota Apkindo yang 113 itu) yang tidak benar manajemen maupun mutu kayu lapisnya," katanya. Keributan di Jayamas sebenarnya sudah dimulai beberapa saat sebelum produksi komersialnya dimulai. Dua bulan menjelang Juni 1981, 400 dari 737 buruhnya mendadak mogok, menuntut agar mereka diikutsertakan dalam program Asuransi Tenaga Kerja (Astek). Pembayaran upah dan jadwal penerimaan gaji diminta supaya juga diperbaiki. Maklum, ketika itu, seorang buruh di sana hanya dapat upah Rp 600 dan uang makan Rp 240 sehari. Di tengah suasana perundingan itu Presiden Direktur Jayamas, Wiyono Kantono, mendadak keluar (dan mendirikan sebuah pabrik kayu lapis bersebelahan letaknya) digantikan Soetopo yang memimpin bersama dua adiknya. Direksi baru ini ternyata tidak jadi menaikkan upah, bahkan uang makan, yang dijanjikan akan naik menjadi Rp 500, hanya diluluskan Rp 350 sehari. Pergolakan berkepanjangan yang mengundang campur tangan gubernur, pada akhirnya, menyebabkan buruhnya rontok sampai jumlahnya tinggal 320. Dan produksi perusahaan juga terpengaruh karenanya. Jika segalanya lancar, kayu lapis dengan merk Kuda Semberani itu mampu menghasilkan 13 ribu sampai 14 ribu lembar sehari. Karena buruhnya bergolak, perusahaan akhirnya hanya mampu menghasilkan 6.000 lembar sehari. Suplai kayu gelondongan, sebagai bahan bakunya, belakangan juga tidak terpelihara hingga mendorong Jayamas mengambil dan perusahaan lain dengan utang. Ada yang mengatakan, terhentinya suplai log itu merupakan akibat dibagi-baginya kekayaan perusahaan sesudah terjadi perebutan di antara Kantono. Apkindo sendiri menyatakan tak bisa berbuat apa-apa untuk menolong perusahaan itu. Kata Bob Hasan, "Sulit bagi asosiasi membantu memecahkan masalah yang mereka hadapi, kalau pemilik dan pengurus perusahaan baku hantam." Menurut dia, asosiasi sebenarnya tak segan menolong, jika benar perusahaan sulit memasarkan hasilnya dengan, misalnya, menyisihkan sedikit kuota perusahaan kuat kepada yang lemah. "Seharusnya pemegang saham dan pengurus terpisah, supaya mudah dalam mengawasi," katanya. Yang terjadi di situ: pemilik merangkap juga pengurus. Cara seperti itu memang banyak dilakukan oleh para pengusaha yang, mungkin, masih sayang mempercayakan kekayaannya dikelola para manajer profesional. "Kalau begitu caranya, akan sulit menindak bila ada yang salah. Akibatnya, perusahaan bisa bubar, jika terjadi keributan," ujar Bob Hasan. Benar juga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus