SETELAH melalui perjalanan panjang, organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia pekan ini mengadakan muktamar yang ke-19 - pada usia 35 tahun. Pada muktamar itu, dr. Kartono Mohamad dikukuhkan sebagai ketua. Sebelumnya ia dikenal sebagai wakil ketua, sekaligus ketua terpilih - dipilih pada tahun 1982 di Solo. IDI memang mengenal semacam pengaderan, ketua terpilih akan menjabat kedudukan wakil ketua selama satu periode, sebelum kemudian dikukuhkan sebagai ketua. Banyak hal tentunya akan dibahas dalam pertemuan para dokter seluruh Indonesia itu. Antara lain - dan ini salah satu yang menarik - adalah kasus Gunawan Simon dokter yang mengobati Adam Malik (almarhum) yang menghebohkan itu. Dokter itu dipecat dari keanggotaan IDI untuk sementara, Maret lalu karena dianggap melanggar kode etik. Untuk mengetahui apa yang ditargetkan muktamar dan apakah ada langkah-langkah besar yang akan diambil, TEMPO menemui dr. Kartono di tengah kesibukannya. Inilah petikan wawancara dengan ketua yang baru dikukuhkan itu. Betulkah, seperti yang sempat dikatakan Menteri Kesehatan, kasus Gunawan Simon tak akan dibicarakan dalam muktamar? Persidangan sudah disiapkan. Ia akan diberi kesempatan untuk membela diri atas pemecatannya sebagai anggota IDI, dan nanti sidang muktamar akan memutuskan pemecatan itu sah atau tidak. Kalau dianggap tidak sah, dia akan direhabilitasikan di akhir muktamar. Bagaimana jika dalam kesempatan itu dr. Gunawan Simon ingin mengemukakan cara-cara dia mengobati. Seperti yang diinginkannya, tapi belum sempat ia kemukakan selama ini? Kesempatan itu memang diberikan secara teoretis. Untuk ini disiapkan ahli-ahli misalnya ahli patologi, ahli tumor, dan ahli obat-obatan yang mengerti betul persoalan itu. Tidak ada perbedaan persepsi antara Gunawan Simon dan IDI dalam hal penyidangan? Ya, tidak ada. Ini diatur oleh anggaran dasar. Dia disidangkan di komisi yang membahas masalah keanggotaan. Pada sidang kelompok itu, keterangan dr. Gunawan Simon akan didengarkan. Badan Pembelaan Anggota akan mengawasi agar persidangan berjalan fair. Juga akan dihadirkan Majelis Kode Etik Kedokteran IDI dan Pengurus Besar IDI. Sesudah semua keterangan didengar, komisi akan mengajukan masalah ini di sidang pleno muktamar karena pada anggaran dasar, keputusan pemecatan atau rehabilitasi harus disetujui dua pertiga utusan pada muktamar. Keputusan lalu dikeluarkan oleh muktamar, bukan oleh pengurus besar IDI. Apakah dimasalahkan pula agar hal-hal pelanggaran tidak terjadi lagi? Persis. Ini termasuk salah satu program ke dalam katakanlah penegakan kode etik. Masalahnya karena jumlah dokter makin banyak, godaan makin banyak, baik godaan teknologi maupun dari masyarakat. Apa target utama muktamar ini? Konsep tentang pendidikan dokter. Artinya, kualitas lulusan universitas yang banyak jumlahnya itu harusnya mengikuti suatu alat ukur atau mekanisme quality control. Sebab, kalau sudah menjadi lulusan, masyarakat tidak lagi menanyakan lulusan mana. Sekarang ini tidak ada keseragaman mutu lulusan dokter. Maka, yang diharapkan lulusan fakultas kedokteran dari daerah mana pun akan sama kualitasnya. Standar mutu dokter maksudnya, bagaimana mencapai target itu? Mungkin akan diusulkan adanya suatu badan yang bertugas membantu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk menjamin mutu lulusan fakultas kedokteran. Badan ini, yang semacam badan konsultasi, adalah badan gabungan. Sebab, di negara kita 'kan tidak ada sistem ujian nasional. Kalau di Amerika, misalnya, ada National Board of Examination, di Jerman ujian sentral dilakukan oleh negara. Ini soal lain lagi, bagaimana tentang penempatan dokter spesialis, yang katanya tidak merata? Memang ini pembicaraan menarik, soal penempatan dokter yang baru lulus maupun spesialis. Karena, selama ini secara faktual masyarakat kekurangan dokter, tapi dalam kenyataan terlihat seperti ada kelebihan. Artinya, ada dokter spesialis yang menunggu lama untuk ditempatkan, ada spesialis yang mencari pekerjaan di rumah sakit swasta, melamar ke sana kemari. Jadi, di mana sebetulnya letaknya problemnya. Menyelesaikan ini memang tergantung keterbukaan semuanya, misalnya himpunan dokter ahli. Kalau ada penyelesaian, IDI terbatas memberikan usulan saja, sebab hak penempatan ada pada pemerintah. Kalau toh ada usulan, apakah pemerataan juga berarti mendistribusikan dokter spesialis ke rumah sakit swasta? Saya harapkan tentunya sampai ke sana. Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini