MUNGKINKAH penahanan Towil Herjoto dan Subekti Ismaun akan merembet sampai ke atas? Itulah pertanyaan yang kini ramai dibicarakan orang. Maklum, nama Sudomo dan Sumarlin, yang kini memimpin lembaga tinggi negara sejajar dengan Presiden, sejak bulan Puasa lalu digunjingkan telah turut berperan dalam kasus Golden Key. Sumarlin menganggap tuduhan itu sebagai fitnah. "Sejak menerima referensi dari Sudomo, saya tak pernah mengambil langkah selanjutnya," kata bekas menteri keuangan itu (TEMPO, 5 Maret 1994). Begitu pula Sudomo, yang kini memimpin DPA, dan mengaku telah memberikan referensi kepada ET, tidak merasa salah. Kejaksaan Agung belum menyidik dua pembesar itu. "Jangan bicara itu dahulu. Kita melihat urgensinya," kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus A. Soetomo, Sabtu pekan lalu. Tapi, menurut sebuah sumber yang tahu, kedua petinggi itu sebenarnya sudah dimintai penjelasan tertulis. Keterangan tertulis di bawah sumpah (affidavit) itu, kabarnya, sudah mereka serahkan ke tangan Jaksa Agung. "Jadi, sebenarnya mereka sudah diperiksa," tutur sumber itu. Bagi Kejaksaan Agung, memeriksa dua ketua lembaga tinggi negara, yang secara hukum posisinya lebih tinggi, tentu bukan perkara gampang. Apalagi selama ini belum ada preseden untuk itu. Pernah, di awal tahun 1960-an, beberapa tokoh partai Islam, Masjumi, berniat menggugat Presiden Soekarno ke pengadilan. Tapi, karena alasan politis, niat tersebut terhenti. Meski kedua pejabat tinggi itu belum tentu diperiksa, debat di kalangan ahli hukum sudah muncul. Dapatkah mereka diperiksa bagaimana caranya? Itulah yang kini menjadi pertanyaan besar di antara beberapa pakar hukum. Adalah Soewoto, doktor ilmu hukum tata negara di Universitas Airlangga (Unair), yang berpendapat, tak ada larangan untuk memeriksa pejabat tinggi. Soewoto lalu menunjuk pada asas hukum yang disebut a contrario. Gampangnya, suatu perbuatan yang tak dilarang berarti boleh dilakukan. "Selama tak ada larangan untuk menyidik seorang pejabat tinggi, berarti boleh memeriksa Ketua DPA dan BPK," katanya kepada wartawan TEMPO K. Candra Negara. Memang, tak ada larangan untuk memeriksa. Tapi bagaimana caranya? Itulah yang, kata guru besar ilmu hukum tata negara di Universitas Padjadjaran, Sri Soemantri, belum diatur dalam undang-undang. "Ini merupakan suatu kekosongan dalam sistem hukum kita," katanya. Yang jelas, mengingat posisi DPA dan BPK yang lebih tinggi, tidak mudah bagi Kejaksaan Agung untuk memanggil para petinggi itu ke Gedung Bundar. "Pemanggilan itu menyalahi norma yang berlaku," kata Soemantri. Lain kasusnya kalau dua petinggi tersebut mundur lebih dahulu. Tapi ini bukan hal gampang. "Kalau tidak merasa bersalah, mana mungkin orang mau mundur?" tanyanya. Maka, ia menilai, jalan tengah yang ditempuh kejaksaan, yakni minta affidavit, merupakan langkah yang tepat. Penjelasan di bawah sumpah, di depan hukum, memang punya bobot yang sama. Bedanya, dalam suatu affidavit, penyidik tak dapat melakukan interogasi, seperti dilakukan terhadap ET, Towil, dan Subekti. Itu sebabnya, Prof. Soehardjo, ahli hukum tata negara dari Universitas Diponegoro (Undip), berpendapat bahwa sebaiknya, bila diperlukan, kedua pejabat tinggi itu berkenan hadir di pengadilan. "Kalau cuma mengandalkan kesaksian tertulis, bagaimana hakim, pengacara, dan jaksa menanyakan bila ada yang tak jelas?" tanya Soehardjo. Jelaslah, kesaksian langsung selayaknya diberikan. Tapi kejaksaan tak bisa main kirim surat panggilan. Lebih-lebih bila menghadapi pejabat tinggi yang masih aktif. Mau tak mau, kata seorang ahli hukum tata negara senior dari Unair, sebelum memanggil, kejaksaan harus mendapat "lampu hijau" dari Presiden. "Di sini status Presiden adalah sebagai kepala negara, bukan eksekutif," katanya. Ketika menjadi saksi, kata pakar ini, kedua petinggi itu seyogianya mengajukan permohonan pengunduran diri. Hal ini untuk menghindari kerikuhan aparat kejaksaan. Kata pakar hukum senior tadi, langkah tersebut, bila ditempuh, akan jauh lebih baik dibandingkan dengan nasib Towil Herjoto, yang terpaksa dicopot lebih dahulu, baru jadi tersangka. "Budaya masyarakat kita, kalau ada yang dicopot, langsung keluar vonis bahwa yang bersangkutan bersalah," katanya. Apakah seorang pejabat akan diajukan ke pengadilan atau tidak, kejaksaanlah yang punya hak memutuskan. Menurut Prof. Muladi, guru besar hukum tata negara di Undip, bila suatu perkara dipandang dapat mengganggu kepentingan umum, Kejaksaan Agung dapat mengesampingkan perkara itu. Wewenang itu diatur dalam Undang-Undang Kejaksaan Tahun 1991. Tapi, sebelum memutuskan untuk memberhentikan suatu perkara, Jaksa Agung harus minta persetujuan dari Kepala Negara. Kalau tidak disetujui? "Ya, perkara itu harus tetap digelar," kata Muladi.Iwan Q.H., Ahmed K. Soeriawijaya, Heddy Lugito (Yogyakarta), dan Ida Farida (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini