BETULKAH resesi akan datang lebih cepat tahun ini, seperti diramalkan . . Prof. Sumitro Djojohadikusumo? Tak sedikit yang setuju dengan pendapat ekonom tersohor itu, tapi banyak pula yang tidak. Lihat saja pendapat badan perdagangan dunia GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) di Jenewa. Lembaga yang dijuluki "klub orang kaya" itu menilai, roda perekonomian dunia masih menggelinding ke depan, sekalipun di tengah jalan tak jarang tersandung-sandung. Menurut mereka, suatu resesi baru akan terjadi bila pertumbuhan rata-tata ekonomi dunia dalam dua kuartal berturut-turut negatif. "Kekacauan di bursa internasional Oktober lalu tampaknya belum menimbulkan dampak hitam pada perdagangan dunia," kata ketua GATT, Richard Blackhurst. Suatu pernyataan yang tak kelewat salah, agaknya. Ekonomi dunia pada triwulan terakhir 1987 ternyata masih tumbuh, bahkan melesat lebih kencang dibandingkan pertumbuhan rata-rata pada tiga semester pertama. Tahun 1987 perdagangan dunia masih tumbuh rata-rata 4%. Naik 0,5% dari tahun sebelumnya. Jatuhnya harga minyak sejak Desember 1985, dan melemahnya nilai dolar sejak November di tahun yang sama, diduga menjadi dongkraknya. Bidang ekspor melaju paling kencang. Nilai ekspor seluruh dunia tercatat sekitar US$ 2.450 milyar selama 1987, naik 15% di atas omset 1986. Dan seluruh ekspor Indonesia tahun silam, senilai US$ 16,7 milyar, tak seberapa andilnya - cuma 0,7% dari seluruh perdagangan dunia. GATT melihat bahwa tahun silam ada perkembangan cukup bagus dari 15 negara yang dililit utang besar, seperti Brasil, Argentina, Meksiko, Filipina, Nigeria, dan Maroko. Ekspor mereka naik sekitar 10%, namun empat naga di Asia - Singapura, Korea Selatan, Hong Kong, dan Taiwan gesit merebut pangsa ekspor sekitar 8%. Korea Selatan, misalnya, meraup devisa tak kurang dari US$ 40 milyar. Negeri Roh Tae-Woo itu ternyata hanya kalah 4% dari Jerman Barat, sang juara yang berhasil meraih 12%. Disusul AS (10,3%), Jepang (9,3%), Prancis (6,1%), dan Inggris (5,4%). Orang-orang GATT merasa yakin, dalam tahun ini Paman Sam, yang kampiun utang itu, akan tampil lagi menguasai pangsa pasar. Tapi tahun 1988 ini, dengan jatuhnya kurs dolar, mungkin saja AS kembali menguasai pangsa ekspor terbesar. Tanda-tandanya sudah tampak dari meningkatnya ekspor AS sejak November 1987. Jetro (Organisasi Perdagangan Internasional Jepang) memperkirakan, ekspor AS akan mengalami boom. Pada perhitungan Jetro, ekspor AS akan melompat naik sekitar 18% di atas ekspor 1987, yang bernilai US$ 253 milyar. Itu akan tercapai jika kurs dolar bertahan 135 yen, dan OPEC dapat menstabilkan harga minyak sekitar US$ 18 per barel di sepanjang 1988. Tapi jika kurs dolar terus tergelincir, bisa diduga ekspor AS akan membanjir, dan bakal merepotkan ekspor negara-negara berkembang, termasuk negara pengekspor minyak seperti Indonesia. Tahun silam Amerika masih merupakan pemborong terbesar barang-barang luar negeri, dengan impor bernilai US$ 424 milyar atau sekitar 16,6% pangsa impor dunia. Impor yang melebihi nilai ekspor itu menyebabkan neraca perdagangannya minus US$ 171 milyar. Sementara itu, Presiden Reagan tampaknya tidak tergoda untuk melayani tuntutan kaum proteksloms, sedangkan para konsumen di AS diperkirakan belum bisa menekan kesenangan berbelanja yang tetap menggebu-gebu. Berarti impor tidak menciut. Di sini Jetro memperhitungkan, ekspor AS tahun 1988 ini akan mencapai sekitar US$ 298 milyar, impornya US$ 429 milyar. Ada penurunan defisit perdagangan menjadi hanya US$ 130 milyar. Jetro malah meramalkan, ekspor Jepang menurun - sudah terjadi di tahun 1986 sekitar 1,1%. Sebaliknya, impor Jepang kemungkinan meningkat 10,3% atau dua kali lipat kenaikan impor tahun silam. Negara-negara Eropa Barat juga diperkirakan akan menjadi sasaran ekspor negara berkembang. Ini bukan berarti ekspor nonmigas Indonesia harus seluruhnya diarahkan ke Eropa dan Jepang. Bagaimanapun juga, AS masih tetap menjadi pembeli terbesar produk kita, hanya saja nilai dolarnya masih tanda tanya. M.W., laporan kantor-kantor berita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini