HARGA terburuk saham Good Year ditawarkan di bursa. Awal pekan ini, saham bernilai nominal Rp 1.000 itu, sudah jatuh ke titik terendah: Rp 640. Tapi seorang pemegang saham, lewat pialang PT Intan Artha, meminta sahamnya dijual saja dengan harga Rp 620. Tapi sampai ditutupnya pasar modal hari itu, Senin lalu, tak seorang pun berani membelinya. Tak adanya peminat, untuk menanamkan uangnya dalam saham yang sudah 48% dibawah pari itu, karena tahun ini tak ada dividen yang akan diberikan Good Year. Seperti diumumkan, 30 April lalu, neraca perusahaan ban itu untuk 1983: rugi Rp 691 juta sehingga setiap saham menanggung kerugian Rp 16,86. "Masyarakat di sini masih sangat berorientasi kepada dividen, tidak berpikir jangka panjang seperti di Eropa dan Amerika," kata Wakil Presiden Direktur Good Year Daniel J. Fearn, yang baru beberapa bulan datang dari AS. Perusahaan yang berpusat di Bogor itu baru bisa menjanjikan dividen, mungkin, empat sampai lima tahun lagi. "Selain memperoleh modal Rp 6 milyar dengan menjual saham, pada 1981 dan 1982,kami juga berutang ke bank di luar negeri sebesar US$ 22 juta," tutur Direktur Keuangan, Christopher W. Clark. "Bila perusahaan tidak melakukan ekspansi, mungkin tidak rugi dan bisa memberikan dividen, tetapi akan kalah bersaing dipasaran ban," tutur Sjahfiri Alim, Presiden Direktur Good Year, yang tak bicara tentang saham pcrusahaannya. Good Year meningkatkan produksi ban sampai ke taraf internasional dan sedang menjajaki kemungkinan untuk ekspor. Tapi harganya di pasar dalam negeri lebih mahal 15% dari ban merk lain. "Terutama, kabarnya, kalah bersaing dengan Bridgestone, yang berani membanting harga sampai 30%," demikian yang didengar pialang saham dari kalangan pabrik ban. Hasil penjualan bersih Good Year tahun lalu sebesar lp 44,7 milyar, sebenarnya Iebih tinggi dari hasil 1982, yang berjumlah Rp 43,5 milyar. Namun, karena menanggung beban utang dan lain-lain, maka laba perusahaan itu menjadi minus. Tahun depan,perusahaan yang semula milik AS dan akan genap 50 tahun di Indonesia itu, belum melihat prospek cerah. Karena kalangan perusahaan perakitan mobil sendiri masih pesimistis bahwa keadaan pasar akan membaik tahun ini. Sementara tak semua kendaraan beroda empat atau lebih memakai Good Year. "Para pemegang saham tak sabar. Begitu melihat perusahaan rugi, mereka menjual sahamnya, sehingga nilainya jatuh," komentar J.A. Sereh, Direktur PT Danareksa. Danareksa, yang mengontrol 50% saham Good Year (seluruhnya 6,150 juta lembar sejak emisi 1981), tak mampu membendung kejatuhan harga itu. Untuk mengamankan pasar,Danareksa terpaksa menghentikan penjualan sertifikat Good Year. Hal yang sama dilakukan pada sertifikat saham Unilever dan BAT yang memberikan dividen tak sampai 10%. Sebagai gantinya,Danareksa mengeluarkan sertifikat saham Hotel Horison dan Delta Djakarta, yang baru terjun ke bursa awal tahun ini. Pilihan atas Delta, Anker Bir, tampaknya juga merepotkan Danareksa. Pada penjualan perdana saham Delta, 13 Februari, para pemilik uang berebutan, sehingga kurs Delta menjadi lebih 5%. Akibatnya, sekarang banyak pemilik saham itu kesulitan untuk menjualnya. Orang lebih tertarik membeli saham Multi Bintang, yang harga nominalnya Rp 1.000, dan diperebutkan dengan harga Rp 1.400. Kedua perusahaan bir itu tahun ini akan memberikan dividen 20%. Tentu saja pemegang saham harus membayar 15% kepada pemerintah, sesuai dengan peraturan perpajakan (penghasilan) yang baru, sehingga dividen bersih yang akan diterima masih hampir sama dengan bunga deposito bank yang 15% 17%.Hampir mirip terhadap Good Year, minat untuk membeli saham Hotel Prapatan, yang tidak menjanjikan dividen, juga belum tampak. Sejak Prapatan go public 1 Maret lalu, sahamnya baru sekali mencatat transaksi sebanyak 1.000 lembar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini