TERHITUNG 1 Mei lalu, berdasarkan keputusan Menteri Keuangan, harga pembelian gula pasir dari petani atau PNP-PTP dinaikkan. Jenis SHS 1, misalnya, jenis tertinggi untuk produksi dalam negeri, yang sebelumnya dibeli pemerintah dengan harga Rp 35.000, kini dinaikkan menjadi Rp 40.000 per kuintal. Salah satu tujuannya, menurut Menteri Penerangan Harmoko, selesai Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekuin, Rabu pekan lalu, untuk menaikkan pendapatan petani dan pabrik gula. Keputusan pemerintah itu, menurut Wakil Kepala Bulog, Sukriya Atmaja, jelas sangat menguntungkan petani tebu. Sebab,katanya, kenaikan harga gula itu diputuskan pemerintah pada awal musim giling, yang umumnya dimulai Mei. "Para peani menyambut gembira keputusan itu," tutur Sukriya. Karena itu pula, Direktur Bina Usaha Pertanian dan Perkebunan Departemen Koperasi, Alim Fauzi, yakin petani tebu akan terangsang untuk bertanam tebu kembali, khususnya dalam proyek TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi). Tapi, persoalan yang dihadapi petani tebu, ternyata, serimbun dan setinggi kebun tebu itu sendiri. Persoalan utama, menurut berapa orang petani di Padokan Lor,Bantul, adalah soal pembagian hasil antara petani yang ikut TRI dan pabrik gula yang melakukan penggilingan. Menurut ketentuan TRI, 60% hasil bersih penggilingan milik petani tebu, dan 40% bagian pabrik gula. Hasil bersih tebu itu tergantung dari rendemen - hitungan kadar gula dari tebu yane disetor. Untuk saat ini, dipabrik gula Madukismo, Yogya, tebu daerah itu rendemennya hanya 8% berarti 8 kg gula untuk satu kuintal tebu. Soal rendemen ini menjadi rumit karena bisa turun naik sesuai dengan mutu tebu.Jika tebu terlambat digiling, rendemennya akan turun, seperti yang tahun-tahun belakangan dialami petani tebu di daerah Lumajang, Jawa Timur. Padahal, menurut seorang tokoh petani tebu di daerah itu, Munif Basyuni, keterlambatan penggilingan disebabkan kesemrawutan sistem TRI di daerah itu.Akibatnya, menurut Munif, setiap hektar kebun tebu di daerah itu, yang empat tahun lalu bisa menghasilkan Rp 1,7 juta, kini hanya mencapai hasil sebesar Rp 925.000 setahunnya. Padahal, sebagian besar petani diPulau Jawa, termasuk petani tebu, hanya memiliki tanah rata rata seluas 1/4 hektar. Sebagian petani menyambut gembira kebijaksanaan pemerintah menaikkan harga beli gula itu. "Setidaknya, kerugian tidak sebanyak tahun lalu," ujar Sosromudji, seorang petani tebu di Padokan Lor. Tapi rekannya di Lumajang, Munif, menyebutkan bahwa kenaikan itu hanya menguntungkan Bulog, "Sebab semua gula yang digiling pada musim lalu sudah menjadi milik Bulog Untuk masa mendatang? "Tidak banyak artinya, karena sudah dimakan inflasi dan biaya produksi yang semakin tinggi," tambah Munif, yang dikenal sebagai petani kaya di daerah itu. Konon, memang, ada sekitar 33 gudang pabrik gula yang ada dlJawa Timur sekarang ini terisi dengan gula milik Bulog, hasil penggilingan tahun lalu dan awal tahun ini.Menurut catatan, 15 April lalu, di daerah Jawa Timur saja pcrscdiaan gula Bulog yang masih di gudang hampir 5 juta kuintal. Namun, kabarnya, dengan stok melimpah itu Bulog, sejak pekan lalu, menaikkan juga harga eceran tertinggi gula pasir. Harga jenis SHS 1, misalnya, yang sebelumnya Rp47.338,30, sejak I Mei dinaikkan menjadi Rp 50.447,02 per kuintal. Akibatnya, harga dipedagang eceran yang sebelumnya berkisar Rp 600 per kg, sekarang melambung mendekati Rp 700. Padahal, "Saya sudah pesankan agar harga eceran sampai Lebaran bertahan Rp 600," ujar Sukriya Atmaja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini