INILAH wawancara wartawan TEMPO Musthafa Helmy dengan Menteri Agama Munawir Sjadzali, Jumat pekan lalu sehabis salat Jumat, tentang ulama plus. Menteri, yang pernah belajar di Inggris dan Amerika Serikat, tampak antusias menjawab pertanyaan. "Sebenarnya ulama plus kita itu sudah banyak, tapi tantangan sosial yang makin hari makin berat membutuhkan lebih banyak lagi orang seperti mereka," kata Munawir, 60, yang pernah menjadi duta besar untuk Emirat Kuwait itu. Apa yang Anda maksudkan dengan ulama plus itu? Ulama plus yang saya kehendaki itu tentu saja bukan seorang yang tidak memiliki dasar pengetahuan agama yang kuat. Misalnya, ia tetap harus menguasai bahasa Arab. Plusnya adalah ia mengenal baik cabang-cabang ilmu pengetahuan yang lain, seperti sejarah, antropologi, sosiologi, ketatanegaraan, dan ekonomi. Jadi, tetap lembaga pendidikan keagamaan Islam adalah tempat pertama untuk mencetak ulama, misalnya IAIN dan pesantren. Sebab, untuk pendidikan plusnya itu pun - yaitu di Amerika, Kanada, Inggris, dan Prancis - tetap disyaratkan penguasaan bahasa Arab. Khazanah perpustakaan Islam di sana pun masih dalam bahasa Arab. Maka, jangan salah menduga bahwa IAIN akan meninggalkan Al Azhar, misalnya. Akan tetap ada mahasiswa yang dikirim ke sana untuk pengetahuan dasar agama. Dengan demikian, kurikulum IAIN akan diubah? Itu sedang kami bicarakan. Misalnya, bahasa Arab sekarang ini cuma dua semester. Ada usul Pak Mukti Ali, sebaiknya mata kuliah bahasa Arab itu dilembagakan saja menjadi enam semester. Lalu ada usul lain, yaitu pada semester pertama dan kedua mahasiswa di-drill metode berpikir, hingga pada semester ketiga mereka sudah mandiri. Lalu apa yang diharapkan dari ulama plus itu? Kebanyakan buku tentang Islam dalam bahasa Indonesia hanya berisikan gagasan jadi, finished product, yang hanya memenuhi kebutuhan konsumen awam. Yang diharapkan dari ulama plus adalah kesanggupan untuk meracik dan merakit penalaran dan gagasan keagamaan. Ulama jangan hanya pandai mengagumi karya Iqbal atau Fazlurrahman. Tapi, juga harus berusaha menjadi Iqbal-Iqbal dan Fazlurrahman yang lain. Apakah pendidikan di Al Azhar, misalnya, tak memenuhi kebutuhan itu, hingga kita juga harus pergi ke Barat? Bukan begitu. Saya punya cerita. Malaysia sekarang ini tak ingin mengirimkan banyak mahasiswanya ke Al Azhar, tapi justru mengirimkannya ke sini, ke IAIN. Alasannya, Al Azhar diakui memberikan pengetahuan banyak tapi tak konstruktif. IAIN oleh mereka dianggap metode pengajarannya lebih konstruktif. Artinya, IAIN lebih memberikan bekal guna menjawab problem baru. Tapi harap diingat, mahasiwa IAIN yang kita kirimkan ke Barat bukan untuk belajar agama. Tapi belajar bagaimana cara berpikir. Kita ingin membuka cakrawala baru para sarjana IAIN itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini