SUDAH setahun lebih calon penumpang di Pelabuhan Udara Ngurah
Rai (Denpasar) tak melihat sejumlah orang ramai-ramai mendayung
baling-baling pesawat DC-3 Dakota. Pesawat tua milik PT AOA
Zamrud Aviation Corp. itu, karena kelangkaan suku-cadang
memang selalu harus diengkol jika hendak meng udara. Dalam
kerentaannya, tiga Dakota yang biasa menjelajah wilayah udara
Bali sampai Nusa Tenggara Timur itu kini dibiarkan tergolek
bagai onggokan aluminium tua di pelabuhan udara Ngurah Rai dan
Ruteng.
Kendati perusahaan penerbangan yang didirikan 1968 itu sudah
dinyatakan bangkrut, sejumlah karyawannya seminggu sekali masih
suka bertandang di kantornya di Jalan Wahidin No. 1, Denpasar.
"Supaya hubungan persaudaraan tidak putus," ujar Gde Jensen,
salah satu dari bekas) 47 karyawannya di situ. Di kantor
berlantai tiga itu, dengan meja dan kursi berselimut debu,
mereka seperti tak habisnya membicarakan kesialan perusahaan.
Sebuah sumber TEMPO di Denpasar menyebutkan Zamrud berutang
pada Bank Bumi Daya sebesar Rp 360 juta. Ini belum dihitung
bunga. Padahal kekayaan perusahaan itu--berupa kantor tua,
sebuah hanggar yang belum jadi dan rongsokan tiga Dakota itu --
tak lebih dari Rp 200 juta. Sebuah mobil jip Nissan tua yang
dulu sering tampak di Ngurah Rai, sejak pertengahan tahun lalu
sudah "diuangkan": laku Rp 400 ribu, dan konon digunakan untuk
mengongkosi delegasi karyawan menghadap direksi di Jakarta
memprotes keputusan pernyataan likuidasi.
Ketika dihubungi TEMPO, Omar Abdalla, Direktur Utama BBD tak
bersedia menerangkan besarnya pinjaman tadi. "Itu rahasia bank,"
jawabnya. Tapi ia membenarkan BBD pernah (1968-1975) membiayai
Zamrud. Uluran tangan itu kemudian distop karena perusahaan
tersebut dianggap tak menunjukkan perkembangan yang baik.
Sanggupkah Zamrud mencicil utang-utangnya? "Yah itulah yang
kami sebut sebagai piutang ragu-ragu," kata Omar Abdalla. Dan
mengingat sampai kini perusahaan penerbangan yang tinggal nama
itu belum lagi bisa mencicil pin jamannya, bisa diduga BBD
sendiri menganggap piutang tersebut sebagal sesuatu yang tak
bisa ditagih lagi (writeoff). Kenapa? Menurut Omar Abdalla,
assets (kekayaan) perusahaan itu kini bisa dibilang tak ada
artinya. "Yang masih punya nilai tinggal izin usahanya sendiri,"
katanya.
Dengan kata lain perusahaan itu nilainya kini menyerupai sebuah
koran (majalah) yang sudah lama tidak beredar tapi masih
memegang SIT (Surat Izin Terbit). Jadi jika ada peminat, izin
usaha Zamrud itu bisa saja diambil-alih (dibeli). Namun
mengingat menurunnya kegiatan eksplorasi minyak, dan lesunya
bisnis perkayuan, Zamrud, yang dulu merupakan salah satu usaha
PT Tri Usaha Bakti (Jakarta), tampak akan sulit mencari pembeli.
Usaha menolong tiga Dakota Zamrud itu, tampaknya sulit
dilakukan. Untuk mendapatkan suku-cadang ke pabrik pembuatnya,
McDonnell Douglas di AS. memerlukan waktu lama. Sedangkan
suku-cadang eks lokal kabarnya hanya bertahan selama 200 jam
terbang. Si Dakota tadi agaknya memang harus dijual secara
kiloan. Tapi siapa yang berhak menjual? Kabarnya Badan Urusan
tiutang Negara (BUPN) sudah mengambil-alih sisa kekayaan
Zamrud. "Kalau barang-barang itu dilelang, kami minta sebagian
hasilnya diberikan kepada karyawan sebagai pesangon," kata Gde
Jensen. Maklum, menurut dia, ketika direksi Zamrud April tahun
lalu memutuskan hubungan kerja, karyawan yang berjumlah lebih
100 orang itu, belum diberi pesangon.
Sementara itu, Merpati Nusanrara Airlines kini tampil sebagai
juara penerbangan di kawasan Indonesia Timur itu. Di wilayah
tersebut MNA mengoperasikan tujuh pesawat--sebelumnya hanya dua
buah. "Tingkat pengisian kursi di MNA rata-rata mencapai 90%,"
kata John Soeratno, pimpinan MNA di Denpasar. Praktis Merpati
terbang tanpa saingan di sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini