Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Third Person
Sutradara: Paul Haggis
Skenario: Paul Haggis
Pemain: Liam Neeson, Kim Basinger, Adrien Broody, James Franco, Mila Kunis
Durasi: 137 menit
Produksi: D Films
White—the color of trust, and belief, and lies. Kalimat itu diketik Michael (Liam Neeson) sebagai bagian dari tulisan untuk novel terbarunya. Penulis paruh baya yang meraih Penghargaan Pulitzer lewat novel pertamanya itu terbang ke Paris, Prancis, hanya untuk merampungkan novelnya tersebut. Kalimat itu juga menjadi semacam kata kunci yang diberikan Paul Haggis kepada penonton untuk memecahkan teka-teki yang dia sodorkan dalam film terbarunya, Third Person.
Sebagai sineas, kemampuan Haggis mengaduk-aduk rasa penasaran penonton memang sudah tidak diragukan. Salah satu ciri khasnya adalah membuat alur cerita laksana kepingan puzzle yang kemudian disusun menjadi satu rangkaian cerita dengan akhir yang menyentuh. Formula ini pula yang dia gunakan dalam film Crash, yang sukses memboyong Piala Oscar pada 2006 dan membuat namanya semakin diperhitungkan di jagat perfilman Hollywood.
Dalam Third Person, yang didukung jajaran aktor dan aktris berakting cemerlang, kepingan puzzle itu hadir lewat tiga rangkaian kisah cinta penuh konflik yang silih berganti tersaji di layar. Cerita pertama berkutat pada kehidupan Michael yang berjuang keras menulis novel yang bisa sesukses karya pertamanya. Maklum, setelah karya pertamanya meledak, kreativitas Michael seperti mengendur. Novel-novel selanjutnya tak mampu berbicara sehebat karya pertamanya itu.
Demi mencapai ambisinya itu, Michael, yang baru kehilangan putranya, memilih terbang ke Paris, meninggalkan Elaine (Kim Basinger), istrinya, dan tinggal di sebuah hotel mewah tak jauh dari Menara Eiffel. Tapi, rupanya, Paris terlalu romatis untuk ditinggali sendirian. Tanpa setahu sang istri, ia ternyata juga mengundang Anna, jurnalis muda yang dua tahun terakhir menjadi kekasihnya. Dengan Anna (Olivia Wilde) yang berambisi menelurkan karya fiksi, Michael menjalani kehidupan cinta penuh gelora dan emosi.
Dari Paris, cerita berpindah ke Roma, Italia. Di kota itu, Sean (Adrien Brodi), lelaki asal Amerika yang punya misi mencuri desain pakaian sejumlah perancang tenar di negara tersebut, jatuh cinta kepada Monika (Moran Atias), wanita bertubuh seksi yang dikenalnya di sebuah kafe. Ia bahkan bersedia menggelontorkan duit ribuan dolar demi membantu perempuan itu membebaskan putrinya dari tangan mafia.
Cerita terakhir berlatar Kota New York yang padat. Di sana seorang perempuan bernama Julia (Mila Kunis) tengah berjuang merebut hak asuh anak dari mantan suaminya, Rick, seorang pelukis muda kaya raya. Rick (James Franco) berkeras supaya anaknya, Jesse, tidak bertemu lagi dengan ibu kandungnya. Alasannya, Julia secara hukum terbukti telah membahayakan nyawa Jesse.
Third Person memang bukan sekadar drama romantis biasa yang gampang dicerna. Film berdurasi lebih dari dua jam itu tak hanya mengulik persoalan rumah tangga yang di ambang kehancuran karena suami atau istri yang berselingkuh. Haggis, yang sebelumnya dikenal sebagai penulis skenario sederet film berkualitas seperti Million Dollar Baby, The Last Kiss, Flags of Our Fathers, Casino Royale, Quantum of Solace, berbicara tentang cinta sejati tanpa syarat. Cinta yang tak mempersoalkan apakah di antara hubungan dua kekasih terselip pengkhianatan dan kebohongan. Cinta yang penuh pengorbanan.
Mungkin bukan persoalan mudah merangkai tiga cerita di tiga lokasi dalam satu film. Apalagi setiap karakter menyimpan persoalan dan kepentingan masing-masing. Anna, misalnya. Di balik sikapnya yang riang dan menggoda, ia menyimpan rahasia kelam yang sering membuatnya mendadak rapuh dan bertindak semaunya. Tapi yang lebih menarik dari film ini adalah bahwa sesungguhnya tiga rangkaian cerita itu memiliki kaitan yang erat. Dengan cerdik Haggis mengajak penonton masuk ke sebuah teka-teki yang membuat penasaran.
Sayangnya, meski sudah menyebar sejumlah petunjuk di sepanjang film, Haggis sepertinya tak cukup berhasil menggiring penonton memahami pesan yang disampaikannya itu. Sulit mencari keterkaitan antara satu cerita dan cerita yang lain. Film ini seperti sebuah omnibus yang ceritanya masing-masing berdiri sendiri. Bahkan, pada menit-menit sebelum film berakhir, mungkin tak sedikit penonton yang garuk-garuk kepala lantaran kebingungan dengan akhir ceritanya.
Tapi, sekali lagi, ini memang gaya Haggis. Seperti permainan menyusun puzzle, ia memaksa penonton lebih cermat memperhatikan adegan demi adegan serta dialog yang disampaikan setiap karakternya sejak awal hingga akhir film.
Nunuy Nurhayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo