Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka seperti Tom dan Jerry, kucing dan tikus yang selalu berkejaran di film kartun klasik yang pertama kali diproduksi pada 1940-an.
Tim antidoping selalu mengubek tiap-tiap celah yang memungkinkan para atlet mengkonsumsi narkotik, psikotropik, dan zat adiktif lainnya (napza). Sedangkan para atlet pengguna obat-obat itu berusaha menyembunyikannya. Dan apa boleh buat, pemeriksaan urine pun jadi ajang adu pintar, adu gesit, dan adu lihai antara tim antidoping dan para atlet pengguna.
Ada banyak cara untuk meloloskan diri dari jerat tes urine. Dr. Carmen Jahja dari Komite Medis Federasi Badminton Asia, misalnya, menjumpai satu metode yang cukup populer. Mereka menyelipkan kantong kecil berisi urine di balik pakaiannya. Di peturasan, si atlet memasukkan urine orang lain yang telah disiapkannya itu ke dalam tempat yang disodorkan tim pemeriksa.
Tapi, beberapa waktu berselang, cara ini terbukti mulai ketinggalan zaman. Kini tim antidoping tak percaya begitu saja terhadap keaslian urine yang diserahkan atlet. Pemantauan diperketat dan mereka merasa perlu melihat sendiri bahwa urine memang keluar dari kelamin sang atlet. Tim terus memantau "obyek buruannya" sekalipun ia tengah berganti—melepas dan memakai—pakaian. Namun atlet-atlet yang kecanduan obat-obatan itu terus memutar otak. Hasilnya cukup mencengangkan.
Begitu atlet itu diminta menjalani tes, ia menyempatkan diri masuk ke kamar kecil sebelum masuk ke pos pemeriksaan. Di sanalah "perselingkuhan" dengan dokter atau pelatihnya terjadi. Kali ini orang kepercayaan itu membantu atlet memasukkan air kencing orang lain ke kantong kencingnya dengan kateter atau selang kecil. Walhasil, para petugas melihat sang urine keluar dari kelamin, tapi tak menyadari bahwa sang urine bukan milik si atlet. Urine itu milik orang lain yang sekadar numpang lewat sesaat.
Itu ide yang brilian, tapi tak bisa dipertahankan begitu petugas berhasil mengendusnya sekali. Tak mau bolak-balik dikelabui, sekarang tim antidoping menerapkan aturan superketat. Setelah atlet mencetak prestasi atau dinyatakan harus menjalani tes, satu jam sebelum sang atlet masuk pos tes doping, petugas menjadi bayangan sejatinya. Tanpa ampun atlet itu dikuntit, ditempel terus. Menurut Carmen, peluang yang terbuka untuk menyiasati cara ini sangat kecil.
Setelah tes dilakukan, kalau atlet itu memang tak beres, pasti ketahuan. Apalagi, "Kini ada alat tes dengan resolusi sangat tinggi yang bisa menemukan keberadaan zat-zat lain dalam urine," kata Kepala Petugas Medis Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) ini.
Di luar strategi jitu dan adanya alat dengan presisi tinggi, kini sejumlah komite olahraga global (seperti Komite Olimpiade Internasional) telah menerapkan dua pola pemeriksaan untuk mencari atlet bermasalah. Pemeriksaan mendadak dilakukan baik pada saat kompetisi berlangsung maupun di luar itu. Dan pengawasan model ini tak mudah.
Saat TEMPO berkunjung ke Pengurus Besar PBSI pekan lalu, tim dari Federasi Badminton Internasional akan melakukan pemeriksaan mendadak. Tes mesti dilakukan saat itu juga. Jika rencana itu ditolak atau diminta diundurkan, "Kita dianggap positif (memakai zat-zat terlarang)," Carmen menjelaskan. Yang jadi sasaran pemeriksaan kali ini bukan hanya narkotik dan obat berbahaya (narkoba), tapi juga zat-zat yang masuk kategori anabolic steroid, hormon, stimulan, dan diuretik. Sekadar keterangan, diuretik adalah zat yang membuat orang banyak kencing—dengan cara ini, atlet menguras kandungan kemihnya.
Pelbagai cara ditempuh dan titik lemah pengawasan telah banyak ditutup rapat, tapi mengapa tetap ada atlet yang nekat menggunakan narkotik dan psikotropik? Di sinilah Carmen melihat belum adanya keseriusan semua kalangan, termasuk penggiat olahraga, untuk menjadikan barang-barang berbahaya itu sebagai musuh bersama. Hal itu dibenarkan sesepuh dokter olahraga Indonesia, Prof. Chehab Rukni Hilmy. Malah ia pernah menemukan seorang dokter cabang sepak bola yang memilih tutup mulut ketimbang mengungkap. Dokter itu mafhum bahwa ada pemainnya yang mengkonsumsi narkoba saat berlaga di negeri tetangga, tapi tak melakukan apa-apa saat itu.
Mengkonsumsi narkoba mungkin pilihan pribadi, tapi memerangi wabah itu di kalangan atlet perlu tindakan kolektif. Dan dokter olahraga, petugas laboratorium, pelatih, atau rekan-rekan atlet adalah para saksi. Mereka bisa berkata benar atau sebaliknya.
Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo