Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Kisah Sang Juara yang 'Sa kaw'

Narkoba sudah dikonsumsi masyarakat umum di negeri ini, termasuk di kalangan atlet.

29 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Musim kompetisi Liga Indonesia baru berjalan setengah putaran. Tapi bagi Dedi Setiawan, 29 tahun, dan Dwi Prasetyo, 23 tahun, musim itu berakhir lebih cepat dari jadwal semestinya. Ya, sebuah pintu baru dikatupkan keras-keras. PSS Yogyakarta telah menjatuhkan vonis yang mengharuskan mereka menjauhi lapangan hijau lima tahun.

Semua berawal dari pesta sabu yang digelar pada pertengahan bulan lalu di Hotel Istana Nelayan, Tangerang. Pada siang bolong, bersama dua orang temannya, Dedi dan Dwi menikmati zat berbentuk kristal, tak berbau, dan kerap dipanggil ice itu. Nahas, pesta yang bukan baru pertama kali digelar ini berakhir tragis. Polisi datang menggerebek. Mereka pun langsung digelandang ke polsek terdekat.

Kini Dedi dan Dwi hanya bisa melongo menyesali nasib. Bubuk haram itu telah menjauhkan impian keduanya untuk mencetak prestasi di lapangan rumput. Karier pun menggantung di ujung tanduk. Sebab, saat sanksi tersebut habis masa berlakunya, usia mereka tak lagi muda untuk kembali bermain. "Gara-gara narkoba, saya nggak mungkin lagi berkarier di sepak bola," ucap Dedi dengan pandangan menerawang (lihat: Ketika Madat Menjerat).

Kita bisa saja menarik kesimpulan instan: itulah karma. Tapi, dari pelbagai penelitian, kita pun bisa mencium daya tarik sabu—dan turunan amfetamin lainnya—terhadap atlet macam Dedi dan Dwi. Obat dari jenis metamfetamin ini menawarkan pelbagai khasiat yang sekonyong-konyong dapat mengurangi kantuk dan kerut wajah karena kelelahan, mengurangi nafsu makan dan periode tidur (insomnia), mempercepat detak jantung, tekanan darah, serta pernapasan. Para atlet, yang selalu hidup di antara menang dan kalah, dari satu kompetisi ke kompetisi lain, cepat tergiur menempuh jalan pintas. Dan sesuatu yang berangkat dari doping itu lantas berlanjut, lalu berlabuh di kebiasaan memakai narkoba.

Dr. Hario Tilarso, salah seorang dokter KONI, menyebut suasana penuh tekanan dan kompetitif yang perlahan mendekatkan si atlet ke dunia narkoba. Jadwal latihan yang berat dan ketat pada akhirnya membutuhkan relaksasi—sesuatu yang tentu ditawarkan narkoba jenis depresan. Tapi penyerang (striker) klub Persija, Bambang Pamungkas, punya pikiran lain. Ia menilai periode setelah latihan berat sebagai saat-saat membosankan, dan di situlah narkoba menawarkan khasiatnya yang instan tapi berbahaya itu.

Obat-obatan dalam kelompok ini memang mampu memperlambat fungsi sistem saraf pusat dan otonom. Pemakai biasanya merasa gembira berlebihan, dapat tidur nyenyak, perasaannya lebih tenang, rasa sakitnya berkurang, tidak tegang ataupun panik, serta memperlambat detak jantung dan pernapasan. Di dalam kelompok ini terdapat opium, morfin, dan heroin. "Mereka tidak sadar bahwa obat-obatan ini menyebabkan ketagihan dan menurunkan kinerja," kata Hario, prihatin terhadap para atlet junkies (pemakai) yang berangsur-angsur meninggalkan tiga hal (ketahanan fisik, taktik, dan inteligensia) sebagai medium buat meraih prestasi.

Tapi inilah dunia yang berubah cepat. Para atlet dengan prestasi terpuji di cabang-cabang tertentu—terutama sepak bola—lekas jadi primadona dan pusat perhatian dari pelbagai pihak. Seiring dengan laju prestasinya, tingkat pendapatan seorang atlet sepak bola terbang, melesat ke peringkat bayaran tertinggi. Untuk satu orang pesepak bola papan atas, misalnya, total jenderal pendapatan dalam setahun bisa menembus angka Rp 1 miliar. Sedangkan mereka yang prestasinya biasa saja rata-rata bergaji Rp 200 juta setahun. "Yang nggak biasa memegang uang banyak jadi kaget dan nggak tahu uangnya mau diapakan," ujar Bambang. Mereka "naik kelas", dan terus terang saja kaget, mentalnya tidak siap menghadapi sukses materi sebesar itu.

Setiap akhir pekan, kala tak ada pelatihan, dan semua kegiatan atlet tak lagi merupakan tanggung jawab pelatih, sebagian atlet memang pulang ke keluarganya. Tapi di luar itu ada sebagian lain yang memilih kelayapan. Seperti umumnya anak muda, kafe, diskotek, dan pub adalah lokasi hiburan yang biasanya dipilih pada setiap hari libur. Di sanalah, dan lewat tempat-tempat inilah, menurut Hario, putaw, kokain, ganja, ekstasi, dan aneka barang haram lainnya dengan mudah berpindah ke tangan sang atlet.

Karena pleasure principle (istilah Freud buat menggambarkan kecenderungan akan kesenangan) didapat di kalangan atlet, akhirnya rekreasi pada akhir pekan berlanjut ke hari-hari lain. Masih cerita dokter yang sudah tiga puluh tahun bergelut dengan dunia olahraga ini, tak jarang atlet yang sedang nagih rela loncat jendela kamar untuk bertransaksi dengan bandar. Di dalam otak, ada dua bahan kimia otak (neurotransmitter) yang disebut anadamide dan 2-AG yang terikat pada bagian-bagian otak yang sama. Ketika sedang aktif, neurotransmitter itu mampu mempengaruhi emosi, rasa sakit, daya ingat, dan keterampilan motorik.

Padahal, selain itu, bahaya yang mengintip di balik narkoba jelas tidak sedikit. Sudirman mengatakan, pecandu sangat potensial mengidap penyakit infeksi seperti hepatitis, TBC, dan bahkan HIV/AIDS. Selain itu, menurut ahli saraf yang juga mantan Kepala Rumah Sakit Ketergantungan Obat Fatmawati itu, tulang jadi cepat rapuh, gairah seksual menurun, organ reproduksi gagal bekerja, dan terganggunya fungsi organ tubuh lainnya.

Sayangnya, kesadaran untuk menjauhi narkoba belum terlalu membumi. Pengawasan di pelatnas dan klub-klub olahraga lainnya juga terkesan kurang ketat. Tes urine untuk membuktikan ada atau tidaknya kandungan narkoba di dalam tubuh jarang dilakukan. Paling banter, hanya saat atlet akan bertanding atau baru masuk ke pelatnas.

Maklum, ongkosnya juga tidak murah. Untuk satu kali tes, misalnya, menurut Hario, bisa dibutuhkan biaya hingga Rp 2,4 juta. Padahal atlet yang diperiksa tak cuma satu orang. Ada puluhan bahkan ratusan olahragawan yang harus menjalani pemeriksaan. Lagi-lagi, menurut Hario, "Tidak ada cukup dana yang tersedia."

Melawan narkoba memang bukan soal mudah. Sosialisasi tentang bahaya narkoba saja belum tentu cukup. Menurut Henry Yosodiningrat, Ketua Granat (Gerakan Anti Narkoba), jangan tinggalkan pecandu di tengah jalan. Sebab, meski sudah sembuh, niat untuk kembali madat biasanya sering kambuh. Selain itu, dukungan dari seluruh anggota keluarga merupakan benteng terbaik untuk membendung hadirnya narkoba di tengah-tengah kita.

Jerat narkoba memang luar biasa, terutama bagi remaja. Menurut Henry, yang juga berprofesi sebagai pengacara, sebagian besar pecandu rata-rata berumur belasan tahun. Sayangnya belum ada angka resmi berapa jumlah pemadat saat ini. Namun, merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan lembaga nonprofit ini, jumlahnya terus meningkat setiap tahun. Pada akhir 1999, misalnya, organisasi ini berhasil mengidentifikasi sekitar 2 juta pecandu di Indonesia. Dan jumlah itu naik dua kali lipat, yaitu mencapai sekitar 4 juta orang, pada akhir tahun lalu.

Tentu susah mendapatkan angka pecandu di kalangan atlet. Yang jelas, sekali saja tersentuh, menurut Sudirman, si pemakai sulit melepaskan diri. Narkoba dan efek buruknya bukan sekadar hubungan karma. Narkoba adalah sebuah sihir mematikan yang dewasa ini juga mempesona kalangan atlet.

Dewi Rina Cahyani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus