Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KURNIAWAN DWI JULIANTO, atlet sepak bola PSPS Pekanbaru
Satu dekade silam, atlet sepak bola Kurniawan Dwi Julianto adalah bintang lapangan hijau. Permainan cemerlang mantan atlet Primavera yang "disekolahkan" di tim sepak bola Sampdoria, Italia, pada 1994 ini bahkan sempat membuat tim-tim Eropa meliriknya untuk diajak bergabung.
Tapi kini prestasi Kurniawan, 26 tahun, meredup. Tidak hanya itu, performa dan semangatnya di lapangan kini selalu dikaitkan dengan dugaan kebiasaannya mengkonsumsi narkoba jenis sabu.
Dugaan ini bukannya tanpa latar belakang. Tes urine Kurniawan pada 1999 terbukti positif mengandung amfetamin, zat yang biasa terkandung dalam sabu-sabu atau ekstasi. Efeknya meniadakan rasa lapar dan lelah. Tes yang dilakukan menjelang SEA Games 1999 di Brunei Darussalam itu membuat namanya dicoret dari daftar kontingen sepak bola.
Setahun berselang, pada tahun 2000, Kurniawan—saat itu masih memperkuat PSM Makassar—kembali menggemparkan dunia olahraga Indonesia. Ia diberitakan mengadakan pesta sabu di sebuah hotel di Surabaya. Pengakuan ini dikeluarkan oleh rekan sesama atlet yang juga terlibat dalam pesta itu, Kuncoro dari PSM Makassar dan Mursyid Effendi dari Petrokimia Gresik. Pesta sabu itu dilakukan sehari sebelum mereka bertanding di Surabaya.
Kurniawan, yang kini memperkuat tim PSPS (Pekanbaru), membantah semua itu. Katanya, saat itu, Mursyidlah yang mengajak mereka mengisap sabu, meskipun peristiwanya terjadi di kamar Kurniawan. Sedangkan Mursyid sendiri matian-matian membela bahwa dirinya dijebak saat sudah berada di kamar dan Kurniawan mengeluarkan bong (alat untuk mengisap sabu) dari tasnya. Kasus itu langsung diselidiki Komisi Disiplin PSSI. Hasilnya, Mursyid dan Kuncoro terkena hukuman skors, sedangkan Kurniawan lolos, bebas dari sanksi apa pun.
Kini Kurniawan hidup dengan catatan masa lalu yang tak serta-merta hapus dari ingatan masyarakat. Dan kini, keretakan rumah tangganya dihubung-hubungkan dengan ihwal kecanduan narkoba. Kepada TEMPO, Kurniawan membantah itu semua: mustahil seorang atlet yang penyabu tetap dipercaya bermain di lapangan hijau. "Saya tidak munafik, saya pernah mengkonsumsi sabu pada masa remaja saya, tapi itu masa lalu saya yang sudah lama saya tinggalkan," ujarnya kepada TEMPO minggu lalu.
TEMMY KUSUMA (alm), atlet loncat indah
Dua tahun lalu, atlet Temmy Kusuma meninggal dunia. Dan kematian atlet nasional cabang loncat indah ini, tak terbantahkan lagi, karena narkoba. Ibunda Temmy sendiri mengakui hal tersebut kepada majalah ini. Lebih jauh lagi, "Temmy memang pengguna narkoba jenis putaw," ungkap Yulita Herawaty, 44 tahun, lewat pembicaraan telepon.
Menurut Yulita, kematian Temmy dalam usia 25 tahun itu karena komplikasi jantung dan paru-paru yang dipicu oleh narkoba, dan itu membuat daya tahan tubuhnya turun drastis. Penyakitnya sendiri baru diketahui sekitar tiga bulan sebelum Temmy meninggal. Saat itu semuanya sudah terlambat, keluarganya tak sanggup menyelamatkan Temmy, atlet berbakat yang sempat menyumbangkan tiga emas dari arena Sea Games (berturut-turut pada 1991, 1993, dan 1995).
Ada sedikit silang-pendapat tentang asal-muasal kecanduan itu. Kebiasaan Temmy mengkonsumsi narkoba, menurut Yulita, diawali sejak tahun 1996-an. Saat itu Temmy mulai menempati rumah sendiri. Tapi, menurut Harly Ramayani, pelatihnya, Temmy baru mulai aktif mengkonsumsi setelah masuk pelatihan nasional Sea Games 1997. "Karena dia lolos tes obat dan doping saat masuk pelatihan," ujar Harly Ramayani, yang kini masih aktif melatih loncat indah di Senayan, kepada TEMPO.
Lepas dari pelatihan itulah Temmy menjadi pecandu berat. Hal ini, menurut Harly, lagi-lagi karena beban stres yang meningkat setelah melewati jadwal pertandingan dan latihan yang ketat. "Dalam loncat indah, beban ini lebih tinggi karena persaingannya lebih ketat," ujar Harly. Biasanya, usai pertandingan dan latihan, atlet akan mengalami masa-masa idle tanpa kegiatan olahraga. Saat itulah semangat atlet drop dan gampang terseret ke jurang narkoba.
Pada awal tahun 2000-an konsumsi narkoba Temmy makin parah. Rumah tangganya berantakan. Meskipun demikian Temmy sempat lolos mengikuti PON 2000, mewakili Provinsi DKI dan menggondol perunggu.
Namun, setelah sukses di PON itu, menurut Yulita, kecanduan Temmy semakin parah. Dan itu membuatnya keluar-masuk klinik rehabilitasi narkoba, termasuk Pesantren Abah Anom di Tasikmalaya, Jawa Barat, selama enam bulan. Sempat insyaf, kondisi tubuh Temmy makin limbung hingga ajal menjemputnya pada dini hari 1 November 2001. Meskipun hatinya hancur, kini ibunya merasa itu adalah jalan terbaik bagi Temmy: pembebasan dari narkoba.
DEDDY SETIAWAN DAN DWI PRASETYO, atlet sepak bola PSS Sleman, Yogyakarta
Maksud hati meningkatkan daya tahan tubuh, Deddy Setiawan dan Dwi Prasetyo malah ditangkap polisi. Nasib kedua atlet ini sungguh nahas. Ketika timnya bertandang ke Tangerang, Banten, untuk bertanding awal Juni lalu, mereka tertangkap basah bersama seorang suporter PSS Sleman. Mereka sedang nyabu di sebuah hotel di Tangerang kala itu.
Memang polisi saat itu hanya menemukan bong, tanpa barang bukti sabu-sabu. Tapi, dari tes urine, ketahuanlah keduanya positif mengkonsumsi sabu-sabu. Mereka dinonaktifkan dari keanggotaan PSSI dan terancam skorsing cukup berat: lima tahun tidak boleh mengikuti turnamen sepak bola.
"Niatnya sih mau meningkatkan daya tahan tubuh, tapi efeknya malah ditangkap polisi," ujar Deddy Setiawan, 28 tahun. Kepada TEMPO, ia mengaku itulah pengalaman pertamanya memakai narkoba. Ia menyesal, sebuah kejadian telah menghancurkan kariernya di dunia sepak bola. Sebab, begitu skors dicabut lima tahun mendatang, umurnya sudah 33 tahun, dan usia itu sudah tergolong tua bagi seorang pemain sepak bola.
Dwi Prasetyo sendiri, 23 tahun, mengaku hanya iseng mengkonsumsi sabu saat itu. Meskipun sangat menyesal, Ambon—demikian Dwi biasa disapa—mengatakan semuanya telah menjadi bubur. Hingga kini PSS Sleman belum memberinya keputusan mutlak apakah dirinya masih diberi kesempatan bertanding kembali. Tapi ia merasa kariernya di lapangan sepak bola tamat sudah. Untuk menyambung hidup di masa depan, Ambon kini mulai merintis bisnis kecil: sebuah kios stiker di Yogyakarta.
DOBRAK ARTER, atlet tinju profesional
Petinju juga tidak bebas dari jeratan narkoba. Pada 2001, Dobrak Arter, petinju profesional ini, tertangkap basah sedang pesta sabu di rumah mantan seorang atlet tinju tahun 80-an, Suwarsono Hadi, di kawasan Ploso Bagen, Surabaya. Mereka berlima, termasuk Dobrak, digiring ke tahanan polisi.
Namun, atas jaminan pelatihnya dari Sasana Sawunggaling, Karina Vivi Laksono, Dobrak, 29 tahun, hanya menginap di sana dua hari. Padahal mereka telah ditetapkan sebagai tersangka. Menurut pelatihnya, Dobrak saat itu cukup menjadi tahanan kota saja, karena ia harus berkonsentrasi untuk pertandingan di Bangkok. Dobrak sendiri mengakui saat itu dirinya tidak punya niat nyabu. Tapi, begitu melihat teman-temannya sedang berpesta, ia tergoda mencoba.
Kini Dobrak, yang telah naik ring 70 kali dengan 48 kali menang lewat TKO/KO, telah bertinju kembali. Selain mengikuti salah satu acara tinju di televisi swasta, petinju WBF kelas bantam ini juga masih menantang sejumlah petinju, antara lain Alexander Iskaner dari Filipina, beberapa bulan lalu.
Endah W.S., Heru C. Nugroho
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo