SUASANA menjadi panik setelah wabah kolera merenggut nyawa
puluhan korban di Jakarta. Ribuan orang antri untuk memperoleh
perlindungan pada suntikan kotipa di daerah Pasar Minggu, dari
daerah mana wabah ini mulai menjalar. Sekalipun pihak Departemen
Kesehatan sudah mengeluarkan pernyataan tentang kurang
bermanfaatnya vaksin kotipa tadi sebagai usaha pencegahan namun
beberapa instalasi pemerintah sendiri masih menyodorkan
permintaan untuk memperoleh vaksin ala kadarnya. Kabarnya 150
wisatawan Jepang mendadak menangguhkan kedatangannya ke
Indonesia begitu mereka mendengar serangan kolera di sini. PM
Fukuda beserta rombongannya tak urung membawa air sendiri dan
berhati-hati dengan menunya selama perjalanan.
Sikap berhati-hati itu bisa dimaklumi karena serangan penyakit
yang begitu cepat. Jika pertolongan terlambat dalam tiga hari
seseorang bisa 'lewat'. Sedangkan 48 korban yang jatuh selama
sepuluh hari pada permulaan Agustus itu, merupakan angka
kematian yang melonjak tinggi dari tahun sebelumnya.
Sepanjang tahun 1976 hanya seorang meninggal dari 430 penderita
yang terserang. Tahun ini bakteri kolera itu nampaknya membuat
pukulan balasan setelah kekalahannya yang besar pada tahun 1976.
Pada tahun 1974 korbannya 197 tapi tahun 1975 jumlah itu turun
jadi 114.
Berlipatgandanya pertambahan angka kematian tersebut - dan yang
terkena adalah kota pusat pemerintahan membuat orang sampai
lupa, bahwa di Ciamis. Palembang dan Ambon wabah serupa juga
mengambil korban. Untunglah tidak lebih banyak dari masa
sebelumnya.
Lingkungan hidup yang kotor membuat penyakit ini muncul saban
tahun. Usaha penangulangan yang dilakukan pemerintah ada juga
hasilnya. SEjak 1969 dari tahun ke tahun angka kematian
karena serangan kolera turun perlahan-lahan. "Karena penyakit
ini endemis. Jika terjadi ledakan maka satu-satunya pekerjaan
yang bisa dilakukan adalah menekan jumlah korban," kata Direkur
Jenderal Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular Depkes dr
Bahrawi Wongsokoesoemo. Jika tahun 1969 angka kematian mencapai
35,8 persen maka sampai 1976 angka itu sudah bisa ditekan
menjadi 6,2 persen. Tahun lalu misalnya dari 44.000 kasus
penyakit, 2700 yang meninggal. Meskipun masih menyangkut begitu
banyak korban manusia, sudah ada kemajuan yang berarti. Sebab
tahun 1974 dari 51.000 penderita 4500 yang meninggal.
Penurunan angka kematian ini agaknya erat hubungannya dengan
penyediaan sumber air minum bersih dan jamban keluarga yang
dimasukkan dalam paket Inpres Samijaga (sarana air minum dan
jamban keluarga). Untuk tahun ini saja uang yang disediakan
untuk proyek ini meliputi Rp 8 milyar. Sarana air minum sehat
ini terutama dibuatkan di daerah-daerah yang rawan kolera.
Sampai sekarang sudah disediakan 63.594 buah sarana air minum
sehat. Meliputi sumur pompa, perlindungan mata-air maupun
tempat penampungan air hujan. Sedangkan jamban sudah mencapai
800.000 buah. "Penyediaan sarana air minum dan jamban keluarga
ini bukanlah tujuan akhir. Dia adalah alat pencegah penyakit
kolera. Kalau saja ada vaksin yang ampuh pemerintah tidak akan
menempuh jalan yang cukup mahal ini," urai Bahrawi. Di samping
itu, katanya penyediaan peralatan hidup primer itu bertujuan:
Mendidik masyarakat bagaimana hidup sehat.
Penyediaan sumber air bersih nampaknya mendapat sambutan dari
penduduk terutama di daerah yang sulit sumber airnya selama ini.
Seperti Gunung Kidul di Jawa Tengan dan Leles di Jawa Barat.
Tapi penyediaan jamban keluarga mengalami sedikit hambatan.
Maklumlah penduduk desa kadang sulit untuk meninggalkan
kebiasaan lama. Lagi pula bentu dan harga yang baku (Rp 5000
per unit) untuk jamban ini membuat dia menjadi tempat kotoran
yang terlalu mewah begitu sampai ke desa terpencil. Seringkali
pejabat Departemen Kesehatan yang melakukan peninjauan ke
daerah menemukan jamban itu masih dalam keadaan baru terus.
Sudah hampir tiga tahun proyek sarana air minum dan jamban
keluarga ini berjalan. Tapi pihak Departemen Kesehatan belum
bisa memberikan gambaran yang tepat mengenai pengaruh fasilitas
tersebut terhadap penyakit yang bersumber penularan pada air.
Dalam sebuah survai yang diadakan Kantor Wilayah Kesehatan Jatim
di Kalipenggung, Lumajang pada tujuh desa yang memperoleh
penyediaan air bersih ternyata angka penderita penyakit pada
saluran pencernaan turun dengan pasti. "Sesudah penyediaan air
minum bersih dilaksanakan dalam dua atau tiga tahun kemudian
akan terlihat penurunan pada penyakit diare. Tapi penyediaan
makanan bersih perlu pula dipertahankan," kata Sanchez,
seorang konsultan air minum WHO yang bekerja untuk Depkes.
Keselamatan masyarakat dari serangan wabah nampaknya masih terus
terancam. Sampai sekarang ini dalam catatan Wahyu Widodo, Kepala
Direktorat Hygiene dan Sanitasi P3M, baru 8« juta penduduk
pedesaan yang bisa dicapai oleh instalasi air bersih. Dan
kotoran sebagai sumber penularan penyakit, masih saja bertebaran
di mana-mana. Karena baru 12% dari penduduk desa yang memiliki
WC sendiri.
"Kita terlambat dalam penyediaan air bersih dan jamban ini.
Beberapa negara di Amerika Latin pun yang sudah melaksanakannya
sejak tahun 1948 masih belum bisa bebas dari kolera," kata
Bahrawi. Dengan kata lain Inpres Samijaga yang dimulai sejak
tahun 1974 tak bisa diharapkan dalam sebentar melenyapkan sumber
kolera. Apalagi kalau dilihat di kota-kota yang padat
penduduknya, sarana air minum maupun jamban tidak bisa dikatakan
sudah cukup memenuhi syarat. Di kota-kota diperkirakan hanya
30% penduduk yang dapat menikmati air bersih. Sedangkan tempat
pembuangan sampah dan kotoran belum terurus. "Kalau saya boleh
mengkritik, para perencana kota kita yang banyak melawat ke
luarnegeri hanya melihat kota-kota besar di sana dari luarnya
saja. Mereka tidak melihat dalamnya. Bagaimana riol dan
pembuangan sampah dibangun," ujar Bahrawi.
Tragis juga melihat Jakarta yang bangun mendandani diri ternyata
di perutnya masih berkecamuk kuman penyakit. Pasar Minggu dan
Cilandak yang masih terbilang daerah Jakarta Raya masih sangat
menyedihkan fasilitas penyediaan air bersih maupun pembuangan
kotorannya. Melihat kenyataan ini dirjen Bahrawi gampang
mengelak. "Samijaga tidak untuk kota. Di sini 'kan ada
Perusahaan Air Minum," tangkisnya. Di beberapa tempat ditemukan
kakus yang hampir bersatu dengan sumur. Orang-orang buang hajat
di tanah landai yang airnya sudah timpas. Lalat mengerubungdi
situ.
Apakah bakteri yang membawa kematian itu semua bersarang di
kotoran yang bertebaran atau di sumur yang hampir kering tak
bisa dijelaskan. Cuma yang jelas korban-korban pertama dari
wabah sekali ini termasuk tiga anak kecil yang meninggal dengan
selisih waktu yang sangat berdekatam Seorang dari anak itu
adalah pecandu es plastik yang di daerah itu juga disebut es
Apollo. Dia dengan mudah memperolehnya dari orang tuanya yang
menjual minuman tersebut.
Orang-orang sekampung mulai curiga terhadap es. Sehari kemudian
8 orang anak menyusul meninggal. Dugaan orang semakin kuat
terhadap es plastik, karena tiga dari anak yang meninggal itu
adalah penggemar es yang mereka beli di pekarangan Sekolah Dasar
Kebagusan, Jatipadang. Keesokan harinya warung yang berjejer di
sepanjang jalan yang membelah Jatipadang kontan berhenti
menerima jatah es itu dalam termos yang dipasarkan oleh pedagang
yang datang dari Pasar Minggu.
Tim yang segera dikirimkan oleh Ditjen Pencegahan dan
Pemberantasan Penyakit Menular berkesimpulan bahwa wabah itu
ditularkan lewat es. Beberapa pedagang pengecer minuman itu ikut
pula diperiksa isi kotorannya. Dan ternyata di situ ditemukan
bakteri kolera meskipun dia tak sampai jatuh sakit. Dari 48
korban 67,4% adalah anak-anak di bawah 15 tahun. Anak-anak
ternyata paling rentan terhadap wabah penyakit ini.
Setelah ditemukannya es sebagai sumber perantara, maka
penyediaan air untuk masyarakat lapisan bawah mutlak dalam
pencegahan penyakit kolera. Industri es plastik terutama
ditemukan pada perumahan-perumahan rakyat yang belum mendapat
bagian air bersih dari Perusahaan Air Minum. Industri perumahan
itu tentu tak perlu dimatikan, asal air bersih sampai kepada
mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini