HARI Anak Indonesia, 23 Juli lalu, diperingati secara cukup meriah. Namun, sebagian anak masih bernasib memprihatinkan. Status gizi anak-anak Indonesia, berdasarkan data Survei Kesehatan Nasional (Susenas), pada 1998-2000, yang diungkapkan Departemen Kesehatan pekan lalu, terus merosot.
Kemerosotan status gizi, menurut Dini Latief, Direktur Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan, tampak pada berbagai hal. Kasus busung lapar (kwashiorkor), misalnya, tersebar merata di semua provinsi. Padahal, sebelum krisis ekonomi, busung lapar sudah sangat jarang dijumpai.
Selain itu, jumlah pengidap gejala rabun senja (xerophthalmia), yang menandakan kekurangan vitamin A, meningkat di berbagai daerah. Sebelum krisis, tren rabun senja menunjukkan penurunan seiring dengan program pemberian pil vitamin A di setiap puskesmas. Apa daya, pengadaan suplemen vitamin A tidak selalu lancar karena pemerintah mengalami kesulitan keuangan. Tahun lalu, di Lombok Timur, sebagai contoh, 9 dari 1.000 anak yang diperiksa petugas Departemen Kesehatan ternyata mengidap rabun senja. "Bahkan, tiga di antaranya sudah buta," kata Dini.
Berhubung krisis ekonomi belum akan berakhir dalam waktu dekat, Departemen Kesehatan menyerukan agar masyarakat lebih serius menyelamatkan gizi anak-anak. Salah satu caranya adalah dengan kampanye pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif untuk meningkatkan daya tahan anak-anak. Sejauh ini, pencapaian program ASI eksklusif di Indonesia sangat rendah, yakni hanya 52 persen, dengan waktu menyusui rata-rata 1,8 bulan. Padahal, untuk mencapai pertumbuhan plus daya tahan yang optimal, sesuai dengan patokan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebaiknya ASI eksklusif diberikan sedikitnya sampai bayi berumur empat bulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini