BARANGKALI inilah pengabdian total yang dipersembahkan Ellen M. Roche kepada lembaga tempat ia bekerja. Di laboratorium pusat asma dan alergi di Universitas John Hopkins, Amerika Serikat, ia selama ini menyumbangkan tenaganya. Itu tidak cukup. Nyawanya ia berikan pula bagi penelitian yang dikerjakan di laboratorium itu. Wanita sehat berusia 24 tahun itu menemui ajalnya—menjadi tumbal—demi ilmu pengetahuan di bidang kedokteran.
Ellen Roche bukanlah penderita penyakit asma. Tetapi ia bersedia menjadi kelinci percobaan—dengan "upah" US$ 365 atau hanya sekitar Rp 3,5 juta—sebuah penelitian tentang penyakit asma yang ternyata sungguh mahal akibatnya. Ia meninggal bagi penelitian tim yang dipimpin Dr. Alkis Togias. Penelitian itu dilakukan untuk menjawab pertanyaan mendasar: bagaimana paru-paru yang normal bereaksi terhadap rangsangan yang bisa memunculkan serangan asma pada penderita asma.
Eksperimen tim Togias melibatkan pula beberapa relawan lain yang sudah dinyatakan sehat. Seperti diberitakan Newsweek, pada 6 Mei 2001 Roche diberi methacoline, yang merangsang timbulnya penyempitan saluran pernapasan seperti dikeluhkan penderita asma. Ia juga diberi obat hirup hexamethonium untuk melihat reaksi paru-parunya. Hasilnya sungguh dramatis. Segera setelah menghirup obat itu, Roche mulai batuk-batuk dan sesak napas. Kemudian, selama seminggu paru-paru dan ginjalnya gagal berfungsi. Perawatan di rumah sakit tak lagi mampu menolongnya. Pada 2 Juni lalu ia mengembuskan napas terakhirnya.
"Itu penelitian agak gila yang dilakukan kepada manusia," komentar Prof. Iwan Darmansjah, ahli farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Menurut dia, hexamethonium seharusnya diujikan kepada hewan percobaan. Obat itu berbahaya bila digunakan untuk manusia, karena bisa mempengaruhi hampir seluruh jaringan tubuh manusia, seperti otak, jantung, ginjal, otot, kelenjar, maupun saraf.
Methacoline juga tidak kalah bahayanya: bisa menyebabkan penyempitan paru-paru, jantung melemah, dan tekanan darah turun. "Bila kedua zat itu diberikan, orang akan langsung drop," kata Utomo Dewanto, dosen toksikologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Karena efek yang ditimbulkan banyak, kedua obat itu tidak pernah dipakai lagi. Bahkan, di Amerika sendiri, penggunaan hexamethonium sudah dilarang sejak 1974. Zat itu hanya diperbolehkan untuk dipergunakan di laboratorium.
Penelitian yang membahayakan para relawannya itu ternyata bukan hanya kali ini terjadi. Beberapa penelitian dilaporkan juga menelan korban. Hanya bedanya, korbannya bukan orang sehat seperti Roche, tetapi penderita yang karena penyakitnya rela menjajal obat-obatan tertentu. Pengalaman Ny. Gretchen Stewart, misalnya. Anaknya yang berusia tiga bulan selalu muntah saat makan atau sesudahnya. Oleh dokternya, Susan Orenstein dari rumah sakit anak di Pittsburgh, Amerika Serikat, si bayi diikutsertakan dalam penelitiannya. Setiap hari, seperti 100 bayi lainnya, ia diberi prepulsid—obat pencegah muntah—dan tagamet untuk mengurangi kadar asam lambung. Kedua obat itu diberikan selama enam bulan. Pada 27 Mei 1999, bayi itu tidur dalam pelukan neneknya dan tidak pernah bangun lagi.
Kisah duka lainnya dialami oleh Nicole Wan. Pelajar berusia 19 tahun itu adalah salah satu relawan dalam eksperimen tim dari Universitas Rochester, AS, yang dilakukan untuk mengetahui efek rokok dan polusi udara. Setelah menjalani pemeriksaan bronkoskopi, ia meninggal dunia. Gara-garanya, ketika ia merasakan sakit, sejumlah obat bius lidocaine salah disemprotkan ke dalam tenggorokannya.
Menurut data kantor federal di AS yang memberi perlindungan terhadap manusia yang dilibatkan dalam penelitian (OHRP, Office for Human Research Protections), terdapat 878 kasus uji klinis yang merugikan relawan dalam sepuluh tahun terakhir. Tercatat, delapan relawan meninggal akibat penelitian.
Bagaimana di Indonesia? Menurut Iwan, kematian relawan selama penelitian juga tak sedikit. Tapi, "Khususnya bagi pasien yang sudah sekarat dan diberi obat untuk uji klinis," katanya. Sedangkan eksperimen seperti yang dilakukan Togias itu, Iwan mengaku belum pernah mendengarnya.
Lalu, siapakah yang harus bertanggung jawab bila sudah jatuh korban? Lembaganya, kata Prof. A.A. Loedin dari komisi etika di lembaga penelitian Eijkman, Jakarta. Menurut dia, pihak universitaslah yang memberi izin penelitian lewat komisi penelitian dan komisi etika. Komisi penelitian bertugas melihat layak- tidaknya sebuah penelitian secara ilmu pengetahuan. Sementara itu, komisi etika melihat apakah penelitian itu sudah sesuai dengan etika, terlebih karena mempergunakan manusia sebagai subyek.
Karena itu, John Hopkins juga tak bisa lepas dari tanggung jawab atas kasus yang menimpa Roche. Menurut penyelidikan OHRP, sistem perlindungan terhadap manusia sebagai subyek penelitian yang diberlakukan di Hopkins dinyatakan cacat. Penelitian Togias sendiri, dan juga 10 penelitiannya yang lain, harus ditunda. OHRP hanya memberi lampu hijau bila pengujian memang benar-benar dibutuhkan. Penelitian lainnya bisa berjalan lagi bila Hopkins memperbaiki sistem perlindungannya terhadap subyek yang diteliti. Agaknya, "vonis" itu cukup memukul Hopkins. Maklum, institusi kedokteran ternama di dunia itu telah 100 tahun melakukan uji klinis dan baru kali itulah jatuh satu korban.
Agus S. Riyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini