Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

NU di Simpang Jalan

5 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

H.M. Yusuf Hasyim *) *) Pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang NASIB tragis menimpa mantan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama dan pendekar demokrasi Abdurrahman Wahid. Upaya Gus Dur untuk mempertahankan kekuasaannya melalui maklumat, yang lebih populer disebut dekrit, gagal total. Bahkan, dekrit itu menjadi bumerang yang mempercepat kejatuhannya dari kursi presiden. Kendati dukungan mengalir deras dari sejumlah LSM, partai gurem, ribuan aktivis prodemokrasi, dan bahkan para kiai, tanpa dukungan TNI/Polri, dekrit presiden hanya dianggap angin lalu. Pada hari yang sama, Senin, 23 Juli, Sidang Istimewa MPR yang dipercepat mencabut mandat Gus Dur dan mengalihkannya kepada Wakil Presiden Megawati. Peristiwa itu mengakhiri drama pertikaian politik setahun belakangan antara Gus Dur dan parlemen. Selain diwarnai heroisme pasukan berani mati pendukung Gus Dur, drama itu diramaikan beragam manuver yang dilakukan elite partai, baik pro maupun kontra. Dan yang terlihat cukup mencolok adalah keterlibatan sejumlah tokoh NU dalam membela Gus Dur. Tragedi jatuhnya Gus Dur tidak hanya menyebabkan pecahnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)—partai pendukung utama Gus Dur—tapi juga membuat institusi NU berada di simpang jalan dan gamang melangkah ke depan. Pengalaman pahit ini memaksa NU secepatnya mengambil salah satu dari tiga pilihan. Pertama, menerjuni politik praktis secara total dengan mendeklarasikan NU sebagai partai politik. Kendati ini berarti kemunduran, dengan cara ini diharapkan konstituen NU yang tersebar di banyak partai kembali menyatu dan mendongkrak suara NU. Dalam Pemilu 1955 dan 1971, Partai NU mendulang hampir 20 persen suara, sementara PKB cuma menangguk kurang dari 11 persen pada Pemilu 1999. Padahal, dengan pesatnya perkembangan NU saat dipimpin Gus Dur, mestinya PKB bisa memperoleh sedikitnya 20 persen suara. Sebab, jika dihitung secara detail, anggota DPR dari warga nahdliyin mencapai lebih dari 100 orang. Gagasan di atas sempat mengemuka sebelum dibentuknya partai-partai di lingkungan NU, tapi mayoritas kiai dan elite NU menolak dan memilih mendeklarasikan PKB. Alasannya, komitmen kembali ke khitah 1926 harus dipertahankan—seolah khitah merupakan sesuatu yang sakral—dan arena politik praktis yang kotor "haram" diterjuni NU. Terbukti kemudian, meski didukung penuh oleh suprastruktur NU, PKB gagal merebut posisi runner-up atau tiga besar, yang dulu pernah diraih NU. Padahal, seandainya NU menjadi partai, tak mustahil posisi terhormat itu bisa direbut kembali. Kedua, mempertahankan khitah NU 1926 secara murni, dengan kembali menjadi jam'iyah diniyah ijtima'iyah (ormas keagamaan) yang menangani pendidikan, dakwah, dan sosial ekonomi guna memberdayakan umat. Konsekuensinya, institusi NU harus steril dari politik praktis dan hanya berkutat pada tataran moral. Pilihan elegan yang sudah dijalankan selama tiga periode kepemimpinan Gus Dur ini sebenarnya hampir berhasil. Gerakan kultural dan pencerahan intelektual yang dilakukan telah menumbuhkan daya kritis elite dan warga NU, terutama kaum muda. Tak aneh bila banyak pengamat berharap NU bakal menjadi motor penggerak masyarakat madani di Indonesia. Cuma, sejak dicanangkan dalam Muktamar Ke-27 NU di Situbondo, pemaknaan khitah dan konsep operasionalnya belum jelas. Yang ada cuma jargon "NU tidak ke mana-mana, tapi ada di mana-mana." Akibatnya, implementasi di lapangan bergantung pada siapa yang menafsirkan. Malah, ada yang memahami secara simplistis bahwa khitah berarti keluar dari PPP dan bebas masuk Golkar. Memang, dalam muktamar selanjutnya di Yogyakarta, sudah dirumuskan pedoman berpolitik bagi warga NU. Namun, pedoman yang bersifat umum itu masih membuka celah terjadinya perbedaan penafsiran. Maka, kontroversi pemakmaan khitah pun tak kunjung berakhir. Padahal, dengan kembali ke khitah, banyak keuntungan yang bisa dipetik. Lewat gerakan kultural, NU dapat bergerak lincah mengatasi sekat-sekat golongan, partai, ideologi, dan agama, serta mampu memimpin di tengah masyarakat. Ketiga, bersikukuh dengan ambivalensi yang kini dijalani. Diakui atau tidak, keterlibatan NU dalam pergulatan kekuasaan sudah amat jauh. Walau tidak mengatasnamakan NU, serangkaian aksi massa yang diprakarsai elite NU untuk mendukung Gus Dur adalah indikasi yang jelas. Termasuk beberapa forum yang digelar—terakhir di Batuceper, yang bermuara pada lahirnya dekrit presiden, yang justru mempercepat kejatuhan Gus Dur. Ketua Umum PBNU, Hasyim Muzadi, berkilah bahwa itu terpaksa dilakukan karena PKB ternyata tak mampu membentengi Gus Dur. Akibat salah langkah ini, bukan saja NU terkesan lebih politis ketimbang PKB, pamor NU dan kredibilitas ulama ikut jatuh mengiringi lengsernya Gus Dur. Kalau mau jujur, upaya mempertahankan Gus Dur yang dimotori beberapa gelintir oknum dengan mengatasnamakan NU itu lebih disebabkan oleh kepentingan mereka yang terancam bila Gus Dur jatuh, bukan demi kepentingan umat. Faktanya, Gus Dur lengser dan umat tetap tenang. Kini, giliran oknum-oknum itu yang takut bakal "digedungbundarkan" oleh rezim baru. Dari ketiga alternatif di atas, elite dan warga NU yang telah belajar dari banyak pengalaman pahit tentunya dapat memilih mana yang terbaik. Rais Am PBNU, Kiai Sahal Mahfudz, yang selama ini konsisten berkhitah, mungkin perlu memberikan arahan atau bahkan memprakarsai muktamar luar biasa guna menyelamatkan dan menata masa depan NU.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus