Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Anak tangsi, setelah & sebelum ...

Sudah tersohor keadaan asrama abri rawan. setelah dikunjungi menhankam yusuf, banyak asrama abri diperbaiki. tapi masih ada beberapa asrama yang rawan.

6 Oktober 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK dulu sudah tersohor keadaan asrama ABRI rawan. Penghuninya menyedihkan. Jenderal Yusuf pun turun tanah, melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana sebenarnya keadaan keluarga para prajuritnya. Orang bilang setelah itu timbul perbaikan. Di hari-hari peringatan Hari Angkatan Bersenjata RI sekarang (5 Oktober), bagaimana keadaan asrama-asrama itu? Tiga ribu penghuni Asrama Polisi di Lingkungan Mamajang Luar (Ujungpandang), lama hidup tanpa listrik. Lima tahun lamanya mereka memelihara lampu stromking atau lentera, karena listrik terputus. Begitu Menhankam Jenderal TNI M. Yusuf mampir di tahun 1978 Kodak XVIII Sulselra turun tangan membayar rekemng, sehingga asrama itu bercahaya lagi. Meski pun belakangan Ketua Asrama, seorang Peltu berkata: "Saya dengar tak lama kemudian tiap penghuni kamar asrama dipersilakan membayar rekening masing-masing langsung ke PLN." Bukan hanya berkah listrik yang dibawa Menhankam ke Mamajang Luar. Juga dua bak air minum yang berkapasitas 10 kubik ikut terisi kembali. Juga 2 buah WC umum yang lama menganggur segera diaktifkan. Suasana lingkungan pun tidak pengap lagi. Hanya kamar-kamar reyot yang masih belum kena sentuh. Di dalamnya tinggal penghuni-penghuni yang masih bujangan. Banyak di antaranya yang sudah punya pesawat televisi. "Kami ini sebenarnya sisa-sisa peluru. Sekarang sudah agak lumayan karena sudah tidak di front lagi, meskipun masih sering dipusingi kalau menguber penjahat," kata Max F. Selanno, sang ketua asrama. Asrama tentara di Ganting, Padang, juga kini tampak parlente. Bangunan peninggalan serdadu Belanda yang terletak di sebelah RST Reksodiwiryo itu : 1 km dari jantung kota, tadinya sudah ompong. Tembok luarnya banyak mengelupas, sehingga kelihatan dinding bata yang berlumut. Kurang lebih 2 tahun silam puluhan keluarga TNI-AD masih berteduh di perut bangunan itu secara menyedihkan. Belum lagi sekitarnya yang semrawut. Air tergenang bekas hujan tanpa ada got penyalur. Jemuran bergelantungan tidak keruan. Nyonya Jufri isteri seorang sersan tinggal di situ menempati ruangan 7 x 4 meter. Ada 4 orang anaknya yang maih di SD. Dulu, apabila hujan turun hatinya sudah ketar-ketir. Takut loteng hangunan ambruk. Takut anak sakit karena bocoran air dari atas atap. Belum lagi rebutan mandi dan buang air. "Pokoknya sangat jijik, tapi apa boleh buat," katanya kepada TEMPO. Ia sendiri sudah merencanakan untuk menyewa rumah di luar. Tapi mengingat gaji suami hanya sekitar Rp 40 ribu, itu tidak mungkin. Kalau ada tamu, persoalan bertambah sulit. "Masak tamu disuruh berebut mandi," katanya. Kini asrama Ganting sudah ganteng. Panglima-lah yang memerintahkan perbaikan. Dua tiga fase bangunan sudah selesai. Tiap fase dihuni oleh 16 KK. Umumnya para penghuni sudah menarik nafas lega. Nyonya Jufri sendiri amat bangga sebab ruangan yang meniadi haknya sekarang jadi 5 x 13 meter. Ada 2 kamar tidur, ruang tamu, kamar tamll serta kamar mandi sendiri. Padahal dulu anak-anaknya pakai tempat tidur susun dan ruangan hanya dipisah gorden. "Alhamdulillah, kami bersyukur," kata isteri TNI-AD itu. Di Banda Aceh ada asrama yang dinamakan "Asrama Dipo" milik Kodam I. Letaknya di Jalan Sriratusafiatuddin, mnghadap ke Markas Kodam. Sejak puluhan tahun bangunan itu menjadi bulan-bulanan banjir. Bukan hanya waktu hujan gede, gerimis pun air sudah mulai merayap ke dekatnya. Untung bangunan itu tinggi. Hanya bila penghuninya mau menyeberang jalan, sepatu harus dijinjing dan celana dilipat. "Itu pengalaman rutin. Tapi ada asrama yang lebih parah lagi," kata Kapten Adam yang sudah belasan tahun berkubang di situ. "Ketika pak Yusuf datang beliau banyak bertanya sekitar kesulitan yang kami hadapi," kata Ati, 34 tahun, juga salah seorang penghuni. Ia memberi penjelasan kepada Menhankam bahwa air minum juga sulit. Hanya ada sebuah sumur tua yang dirubung pagi dan sore. Bansan yang antri cukup panjang. Situasi WC pun gawat, nyaris roboh, sebagian gentengnya sudah sirna. Baunya pun tidak ketulungan. Atap bangunan di barak tengah sudah banyak yang jebol. Sanusi, 48 tahun, yang tinggal di sana harus menggeser perabotannya setiap kali hujan. "Bukan air yang di bawah saja merepotkan kami, air dari langit juga membikin sibuk," kata perwira pertama yang mendekati masa pensiunnya itu. Sebagai penghuni asrama ia mengaku modalnya harus sabar. Mau memperbaiki sendiri--jelas tak sanggup karena gaji kerdil. Seringkali kalau bertugas jauh, hati jadi tidak enak, pulang balik khayalan ke dalam asrama. "Sebagai seorang tentara itu cobaan ringan," ujar ayah dari 4 anak itu. Atas perintah Jenderal Yusuf asrama Dipo yang hampir bangkrut itu segera akan dipindahkan. "Kami akan dapat hangunan baru di kawasan Lambaro Skeep," kata Sanusi. Letnan ini menilai tindakan tersebut tepat. "Cukup lama karni harus menderita dengan berbagai kekurangan di sini," katanya lebih lanjut. Apalagi di samping perintah itu, asrama juga mendapat sebuah pesawat televisi ukuran 24 inci yang dipajang di halaman depan asrama. Ini sangat menggembirakan, terutama anak-anak. Asrama Polisi di Punge--arah Jalan Ulee Lhueue -- masih di Banda Aceh juga sudah pulih dari sakit. Semula bangunan yang berdinding papan itu di luar persyaratan kesehatan. M. Din (36 tahun) Serda Polisi yang bertugas di Kores 101/Banda Aceh sudah khawatir. Ia tak betah. "Anak saya sering sakit karena lingkungan di sini menyedihkan," katanya. Penghuninya pernah berhasrat mengadakan perbaikan secara gotong-royong. Tapi penghasilan mereka kecil, dana dari Kores atau Kodak tak ada. Tak Mengambang Sejak dikunjungi Menhankam, Maret yang lalu, asrama di Punge jadi mendingan. Barak-barak sudah rapih. Sumur dan WC diganti. Listrik menerangi setiap sudut kamar. Tak lama lagi akan menjulur pipa air bersih. "Kami senang apa yang dijanjikan pak Yusuf. Soalnya tak mengambang seperti janji pejabat-pejabat lain," kata seorang penghuni yang segan disebut namanya. "Tempat tinggal dulu yang semrawut dan bocor bisa mendatangkan godaan dalam menjalankan tugas. Sekarang kita tidak risau lagi tentang anak-anak," kata M. Din menambahkan. Di Riau keadaan asrama ABRI dari dulu agak lumayan. Tampaknya terawat, sehingga cukup layak untuk ditempati. Tetapi penghuni asrama TNI-AL di Sungai Jang -- 3 km dari pusat kota. Tanjungpinang --juga mengalami kesulitan dalam soal air dan listrik. Ada sumur, tapi karena digali ala kadarnya, seminggu saja musim kemarau air sudah Sat (kering). Setelah kunjungan Menhankam, asrama-asrama TNI-AL kebagian biaya perbaikan sekitar Rp 20 juta untuk 3 kompleks. "Sesudah Lebaran lalu sumurnya siap," kata pembantu letnan satu yang kebetulan bernama Yusuf juga. Hanya listrik yang sampai sekarang helum dinikmati oleh Peltu itu. Sudah beberapa kali diusulkan, tapi jaringannya memang belum sampai "Biaya untuk kabelnya yang sekitar 2.000 meter belum ada," kata Yusuf yang juga jadi ketua tangsi. Ia sendiri kebetulan ada rezeki, lalu beli sebuah mesin Honda kecil untuk menerangi sekitarnya. Marinor Sllaiman, 38 tahun, di kompleks tangsi TNI-AL di Tanjung Unggat (Riau) juga sudah mulai senang. Ia menunjuk ke seng baru yang menyelip di antara seng-seng tua asrama. "Meskipun sedikit, tapi bukti sudah nampak," kata lelaki kelahiran Bogor itu. Tapi karena tempat tinggalnya hanya 5 meter dari gudang tempat penampungan pengungsi Vietnam, ia tetap punya keluhan. "Mereka itu (para pengungsi) jorok, sekarang parit-parit tumpat, bau di mana-mana. Lalat dan nyamuk yang dulu tak seberapa, sekarang sudah bukan main banyak," keluhnya. Isterinya cepat menambahkan, "setengah jam saja terlambat ke kedai, sayur pun habis!" Itulah semua berita baik buat asrama ABRI. Berita yang belum baik ada juga Iho. Di asrama Polisi Kramat Jati, Jakarta misalnya. Asrama ini padahal sudah dikunjungi oleh Menhankam. "Tetapi sampai saat ini ternyata janji untuk memperbaikinya belum ada kenyataan," kata seorang penghuni yang sudah mendiaminya lebih dari seperempat abad. Asrama ini sudah berusia 27 tahun. Atapnya bocor dan air sering mampet. "Yah lebih banyak dukanya," katanya. Dulu kesibukan dapur dan tamu jadi satu. Maklum hanya 3 x 4 meter. Kini ada 390 KK dengan anggota total sebanyak 1900 orang. Setiap ganti kesatuan, penghuni tadi pindah dari satu barak ke barak yang lain. Maksudnya agar setiap kesatuan bisa dikomandokan denan mudah oleh Komandan. Terutama sekali yang ingin dikeluhkan penghuni yang minta agar namanya tak ditulis itu, adalah soal air. Dempet-dempetan dengan tetangga yang memungkinkan percekcokan dibenarkannya juga. "Tapi bisa selalu diatasi tanpa menimbulkan konflik. Biasa kan hidup di asrama," katanya. Sementara itu asrama-asrama ABRI yang ada di wilayah Yogya, belum sempat dikunjungi oleh Menhankam. Keadaannya sangat rawan. Terutama asrama Polri Pingit. Bahkan sudah membahayakan. Dinding gedek sudah rusak, kerangkanya sudah rapuh. Apalagi letaknya lebih rendah dari jalan raya. "Kalau hujan air masuk ke dalam rumah," kata Lettu Pol. Suradiman (54 tahun) yang jadi kepala asrama. Asrama di kompleks Polri ini dibangun tahun 1951, secara darurat. Semula hanya diperkirakan akan dipergunakan selama 4 tahun. Nyatanya sampai besok pagi. 6 WC Asrama Pingit tidak memiliki ruang pertemuan. Tidak ada tempat untuk olahraga. Untuk 301 jiwa hanya punya 6 buah WC dan 4 bak mandi. "Ya terpaksa antri, tapi untung tidak pernah terjadi perselisihan karena sadar akan keadaan, " kata Suradiman. Untunglah air dan penerangan lumayan, meskipun sinar matahari tidak bisa masuk rumah. Seluruh penghuni asrama sudah lama merindukan dijenguk Menhankam. "Saya senang punya bapak seperti pak Yusuf yang mau mengunjungi anak buahnya di pelosok-pelosok, tahu bagaimana keluh kesahnya, " kata Sudariman yang sudah MPP itu. Harapan penghuni asrama itu tampaknya tertumpu pada pak Yusuf. Padahal tidak semua asrama ABRI dibangun oleh Pemerintah atau Hankam. Di Kecamatan Bungku Tengah, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, masyarakat membangun sendiri asrama ABRI. Mereka merasa perlu didampingi tentara untuk menjamin keamanan wilayahnya. Camat Bungku Tengah A.H. Pandaleke BA tengah mengerahkan rakyat untuk membuat asrama untuk para anggota Koramil. Bahkan jauh lebih baik dari rumah penduduk yang mengerjakannya. "Akan menelan biaya Rp 3.106.000 dengan besar bangunan 147 mÿFD," kata Pandeleke. Semua ini dimaksudkan agar para anggota ABRI betah. "Malu kalau ABRl di sini tak punya asrama. Padahal kejaksaan yang menaruh kantor pembantu di sini dibuatkan rumah dengan proyek nasional," kata Pandeleke lebih lanjut. Setelah asrama Koramil 1307-09 Bungku itu selesai nanti boleh dicatat, asrama buat warga Polri akan segera dibangun. Tanpa bantuan Pemerintah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus