Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUT saja namanya Ida. Perempuan ini dipecat dari tempatnya bekerja-sebuah bank swasta-setelah kedapatan mengidap HIV, virus yang menyerang kekebalan tubuh. Namun, menurut Ida, alasan pemberhentiannya bukanlah karena penyakit yang dia derita, melainkan alasan produktivitas dan prestasi yang buruk. "Pokoknya mengada-ada," katanya.
Semula Ida berupaya merahasiakan bahwa dirinya mengidap HIV. Kabar tentang kondisi kesehatannya mulai tersebar karena ada yang meniupkannya. Pilihan menutup-nutupi keadaan menjadi satu-satunya jalan bila tetap ingin bekerja di tempat yang "normal". Dan itu tak mudah. "Bahkan ada partai yang menyebut syarat agar kadernya bebas HIV/AIDS," kata Abdullah Denovan, Koordinator Nasional Jaringan Orang Terinfeksi HIV Indonesia.
Masih sangat kuat memang, diskriminasi terhadap pengidap HIV/AIDS di negeri ini. Faktor itulah yang menjadi penghambat keberhasilan penanganan epidemi HIV. Akibat stigma dari masyarakat yang kuat, orang pun takut melakukan tes. Sebab, kalau ternyata mereka diketahui mengidap virus tersebut, pihak keluarga atau lingkungan pada umumnya tidak mau menerimanya. Bahkan rumah sakit juga antipati menerima pasien pengidap HIV.
Masih rendahnya toleransi publik terhadap pengidap HIV, ditambah kurangnya pemahaman akan penyebab dan fakta lain tentang HIV/AIDS, membuat keadaan semakin mencemaskan. "Yang tertular virus makin muda," tutur Dyah Mustikawati, mantan Kepala Subdirektorat AIDS dan Penyakit Menular Seksual Departemen Kesehatan, kepada Tempo, Rabu pekan lalu. "Sekitar 60 persen dari populasi yang baru tertular adalah dari kelompok muda, yaitu 15-24 tahun."
Fakta ini sangat mengkhawatirkan. Perkembangan virus, dari tertular sampai menunjukkan gejala sakit, punya masa yang panjang, yaitu 5-10 tahun. Jadi, bila seseorang terinfeksi HIV di usia semuda itu, bisa dibayangkan umur berapa dia tertular virus. Artinya, menurut Dyah, penularan HIV tidak hanya terjadi di kelompok berisiko-yaitu pekerja seks, pengguna narkoba dengan jarum suntik dan homoseksual-tapi juga remaja pada umumnya. "Perhatian kita selama ini terpusat pada kelompok berisiko itu," katanya.
Memang, seandainya si pengidap bisa diterima secara lebih terbuka, informasi tentang HIV/AIDS akan lebih mudah diterima kalangan luas, termasuk anak-anak remaja. Sebab, mereka masih buta risiko. "Setelah positif diketahui mengidap HIV, anak-anak itu selalu mengucapkan, 'Seandainya tahu, saya akan berpikir seribu kali,'" kata Dyah.
Menurut beberapa riset terbaru, perilaku kelompok remaja memang berisiko tinggi tertular virus tersebut. Misalnya, menurut survei demografi 2009, sebanyak 32 persen responden perempuan berhubungan seks pertama kali ketika masih di bawah 18 tahun. Sedangkan untuk laki-laki 12 persen. Mereka juga melakukan seks secara tidak aman.
Itulah mengapa, menurut Dyah, pemerintah mulai tahun ini memperluas fokus penanganan HIV ke arah kelompok muda. Rencana strategisnya sedang disusun, termasuk dengan membentuk ikatan manajer kasus yang melibatkan pengidap HIV. "Manajer kasus itu akan langsung menangani persoalan HIV dari hulu ke hilir," tutur Dyah.
Epidemi ini tidak main-main. Target Millennium Development Goals (MDGs), yang berakhir pada 2015, untuk penanganan berbagai penyakit menular paling berbahaya, terutama HIV/AIDS di Indonesia, terancam gagal. Hal ini terutama disebabkan oleh pengendalian faktor risiko, seperti penyakit kelamin akibat hubungan seks tak aman, tidak optimal.
Berdasarkan data akhir 2009, angka prevalensi penyakit menular seksual seperti sifilis dan gonore di Indonesia menduduki posisi tertinggi di dunia, yaitu 17 persen. Angka tersebut jauh di atas rata-rata tingkat prevalensi dunia yang dipatok Badan Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 5 persen. Indonesia jauh melampaui Thailand dan India, yang pada tahun-tahun sebelumnya menduduki tingkat tertinggi penyakit menular seksual.
Peningkatan jumlah penderita penyakit menular seksual ini terutama disebabkan oleh perilaku sebagian masyarakat yang kini lebih menyukai gaya seksual berisiko tinggi seperti seks anal. Kebiasaan seperti ini ternyata bukan saja dilakukan pada hubungan sesama jenis seperti homoseksual atau waria tapi juga melanda kaum heteroseksual, terutama di kota-kota besar. Berdasarkan data terakhir WHO, Desember lalu, Bali dan Daerah Istimewa Yogyakarta menduduki posisi tertinggi. "Yang memperparah juga soal rendahnya kesadaran penggunaan kondom," kata Inang Winarso, Asisten Deputi Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, Bagian Koordinasi Program.
Penularan di usia yang lebih muda ini juga menjadi fakta yang diakui Jaringan Orang Terinfeksi HIV Indonesia, yang sudah memiliki jaringan di 28 provinsi. Dengan model keanggotaan hanya bagi penyandang HIV saja, organisasi ini lebih mudah mendapat akses ke "pendatang baru" yang masih belia itu. "Kami menemukan teman-teman yang mengidap HIV di bawah usia 20 tahun," kata Denovan.
Menurut Dyah, pemahaman untuk pencegahan sudah harus diberikan pada kelompok usia di bawah 15 tahun. Jika tidak, akibatnya akan mengkhawatirkan. Angka pengidap HIV/AIDS diperkirakan mencapai 500 ribu pada 2014-sekarang hampir 300 ribu. "Strateginya, ya, intervensi perubahan perilaku," ujar Dyah.
Bina Bektiati
Jumlah Kumulatif Kasus AIDS Jumlah Kumulatif Kasus AIDS
Menurut Golongan Umur (hingga akhir 2009)Golongan umur AIDS AIDS/IDU
(injecting drug user)< 1 184 0 1-4 228 0 5-14 116 8 15-19 609 135 20-29 9801 5106 30-39 6020 2159 40-49 1762 279 50-59 498 48 >60 102 8 Tak diketahui 653 223
Menurut Faktor Risiko (Desember 2009)
SUMBER: DEPARTEMEN KESEHATAN & SPIRITIA.ORG. Heteroseksual 10.036 Homo-biseksual 659 Pengguna jarum suntik 8.020 Transfusi darah 20 Transmisi perinatal 519 Tak diketahui 719
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo