Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANDAI Nyak Ina Raseuki tak pergi ke Amerika awal 2008, ceritanya bakal lain. Tentu dia tak perlu menyanyikan delapan lagu lawas di Teater Salihara, Jakarta Selatan, Sabtu dua pekan lalu. Sangat mungkin, lebih dari lima lagu baru bakal didendangkan Ubiet, panggilan Nyak Ina Raseuki. Pastilah konser keroncong itu tak didominasi nostalgia album pertama Kroncong Tenggara yang diluncurkan akhir 2007.
Tapi sudahlah. Ubiet toh kembali dengan gelar doktor etnomusikologi dari University of Wisconsin-Madison. Bersama pendiri Simak Dialog, Riza Arshad, dan Dian Hadipranowo, keduanya memegang akordeon, Ubiet akhirnya menghidupkan kembali roh Kroncong Tenggara.
Selama sekitar dua bulan, 13 lagu disiapkan grup yang juga berpersonel Dony Koeswinarno (flute dan saksofon), Adi Darmawan (bas elektrik), Dimawan Krisnowo Adji (selo), Jalu Pratidina (kendang Sunda), Maryono (ukulele cuk), dan Arief Suseno (ukulele cak) yang menggantikan Hadi Mulyono. Lima lagu untuk album berikutnya, yaitu Stambul Jauh di Mata, Penghujung Musim Penghujan, Di Bawah Sinar Bulan Purnama, Langgam Merah-Biru, dan Papaya Cha-cha atau lazim dikenal Pepaya Mangga Pisang Jambu.
Masa vakum dua tahun pun kontan terkompensasi. Sekitar 170 penonton di Salihara, seperlimanya keturunan asing, dibuat terpukau dalam konser 90 menit itu. ”Penampilan mereka mengejutkan,” kata Addie M.S., konduktor Twilight Orchestra.
Dengan improvisasi tinggi dan memasukkan berbagai jenis musik lain—pop, Melayu, klasik, tango, jazz, reggae, bahkan koplo—grup ini terlihat kian matang. Musik peninggalan Portugis pada abad ke-17 ini tak lagi hanya layak didengar orang tua. Lagu Kroncong Pasar Gambir, contohnya. Riza Arshad mengaransemen lagu ini hingga tak lagi mendayu-dayu. Dengan tempo sedikit cepat dan saksofon sebagai pengiring, jadilah buah karya Ismail Marzuki ini bernapaskan jazz.
Lima lagu baru pun menjadi makin kaya akan warna. Misalnya, Papaya Cha-cha karya Adikarso yang diaransemen Dony Koeswinarno. Dibuka dengan jazz hasil duet flute dan bas, lagu ini menjadi tambah ramai dengan perpaduan keroncong, koplo, dan swing yang rapi dan tak mubazir. Irama cha-cha ditambah teriakan ”hei, hei” personel Kroncong Tenggara menjadi penutup lagu nan manis-meriah menggairahkan penonton.
Adapun unsur reggae terlihat dalam lagu Di Bawah Sinar Bulan Purnama. Halus dan tidak asal tempel. Warna langgam pun terkesan hilang dalam aransemen Dian HP ini. ”Saya memang tidak menggunakan pola-pola keroncong asli,” kata Dian.
Ubiet pun mengakui Kroncong Tenggara terkesan mengacak-acak keroncong asli. Atmosfer keroncong seperti hilang pada beberapa lagu. Kalaupun ada, lebih disebabkan penggunaan ukulele dan petikan selo yang menampilkan suara seperti kendang. Tapi Ubiet menolak disebut merusak keroncong. ”Kami justru memperluas budaya ini,” ujarnya.
Selain faktor ukulele, vokal Ubiet mampu meng-keroncong-kan penampilan malam itu. Tapi, berbeda dengan vokalis keroncong yang sering menampilkan vibrasi di sepanjang lagu, Ubiet mampu menyesuaikan getaran itu dengan sangat pas. Kadang suaranya melengking tanpa vibrasi. Ia pun kerap memainkan nada-nada interval tinggi, sampai lebih dari tujuh nada, seperti dalam Cinta Pertama. Suara bas pun cepat berganti dengan suara kepala.
Ubiet juga menunjukkan kemampuan vokal yang mumpuni dengan melahap partitur yang mengemas nada-nada disonan, seperti dalam lagu Keroncong Kemayoran. Dalam lagu ini, dosen Institut Kesenian Jakarta ini pun mampu meladeni modulasi yang terjadi tiga kali dengan jarak masing-masing dua nada.
Lebih hebat lagi, semuanya dilakukan perempuan 45 tahun berdarah Aceh-Padang ini dalam kondisi badan tak fit. ”Seumur hidup, baru kali ini saya pentas dalam kondisi sakit,” ujar Ubiet yang hampir selalu minum air mineral setelah menyanyikan satu lagu.
Sayangnya, Kroncong Tenggara tak mampu menjaga antusiasme penonton terus-menerus malam itu. Penurunan antusiasme ini terjadi setelah lagu keempat, Gambang Semarang. Puncaknya pada Senja di Pelabuhan Kecil, sejumlah penonton malah berbincang pelan. Penonton juga terganggu oleh kesibukan Dian HP memotret penampilan rekannya dengan kamera digital SLR di tengah pertunjukan—penonton dilarang memotret dengan kamera jenis apa pun.
Tapi, sekali lagi, sudahlah. Tetap saja, saat era Waldjinah, Hetty Koes Endang, dan Sundari Soekotjo redup di kalangan muda, Kroncong Tenggara mampu tampil penuh gairah. Genre baru keroncong muncul lagi. Setidaknya Addie M.S. mengakuinya. ”Kroncong Tenggara sangat membumi, natural. Saya kira mereka bisa menjadi genre baru keroncong.”
Pramono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo