Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Angsana, si pelindung

Dr. hadiman, dosen unpad bandung, menemukan senyawa antikanker dari kulit kayu pohon angsana. perusahaan farmasi eisei, jepang, akan memproduksinya. penemuan itu sudah dipatenkan di jepang.

7 November 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

POHON angsana, di Bandung, berderet melindungi pejalan kaki dari sengatan matahari, ternyata bisa jadi pelindung lain. Kulit tanaman keras berdaun rimbun itu kini diketahui bisa mencegah merambatnya sel kanker yang ganas. Diam-diam, kenyataan yang cukup mengejutkan ini ditemukan Dr. Hadiman, seorang dosen kimia analitik pada Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung beberapa waktu lalu. Prestasi ini baru menjadi berita setelah belum lama ini penemuannya masuk ke deretan registrasi paten di Jepang. Sudah lama Hadiman tertarik pada pohon angsana. Pada khazanah obat-obatan tradisional, kulit kayu pohon ini dikenal sebagai obat mencret. Maka, ketika Hadiman ditunjuk menjadi anggota tim kerja sama Unpad dengan The Institute for Physical and Chemical Research (IPCR), sebuah lembaga penelitian kimia Jepang, angsana ia ajukan untuk diteliti. Prof. Sasongko S. Adisewoyo, ketua tim ahli dari pihak Unpad, setuju, dan angsana pun masuk ke dalam program penelitian dalam kerja sama itu. Pohon angsana, (Iterocarpus indicus), segera terungkap kaya akan zat aktif. Salah satunya adalah bahan pewarna kulit. Namun, di laboratorium IPCR, Hadiman khusus memburu zat aktif pada kulit kayu angsana, mencari kandungannya yang diperkirakan bisa digunakan untuk obat penyakit pada perut. Bertahun-tahun sarjana kimia analitik itu mencoba mengisolasi berbagai zat dengan bermacam-macam proses kimiawi. Akhirnya, ia berhasil menemukan senyawa polifenolik. Dan itu tak lain adalah zat penghambat pertumbuhan sel-sel kanker. Penghambatan terjadi karena zat ini mampu mempengaruhi reaksi kimia pada plasma sel-sel yang terkena kanker. Untuk mendapatkan senyawa itu, Hadiman mengambil kulit kayu dari cabang yang belum terlalu tua dan masih segar. Setelah dirajang, kulit kayu itu dijemur di terik matahari hingga kering. Selanjutnya, kulit kering itu ditumbuk halus. Serbuk yang didapat dimaserasi (direndam) dalam metanol 70 persen selama semalam, sambil diaduk-aduk. Setelah disaring, ampasnya sekali lagi menjalani proses maserasi. Akhirnya, ekstrak kulit kayu angsana itu dimasukkan ke ruang vakum, untuk menghilangkan metanolnya. Dengan proses kimia yang rumit, diperoleh zat padat aktif berwarna kecokelatan, senyawa polifenolik. Untuk melengkapi penemuannya, Hadiman juga mengukur keampuhan polifenolik yang didapat dari angsana. Hadiman mencobakannya pada tikus yang beberapa jaringan tubuhnya sudah ditulari sel-sel kanker. Terbukti, aktivitas plasmin, yaitu enzim yang erat hubungannya dengan karsinogenesis (reaksi pada pertumbuhan sel kanker), bisa dihambat. Derajat ketahanan hidup tiga ekor tikus yang sengaja dijangkiti sel-sel kanker tadi meningkat setelah masing-masing disuntik dengan 2 mg dan 50 mg senyawa polifenolik. Dari penelitian itu, disimpulkan bahwa senyawa polifenolik dapat digunakan sebagai ramuan obat penghambat kanker. Dosis efeknya bervariasi, tergantung kondisi penderita. Sel-sel kanker yang dihambat terutama sel kanker yang berkembang pada alat-alat pencernaan. Yang menggembirakan, tak ada efek negatif, misalnya pengaruh pada pertumbuhan sel-sel tubuh yang lain. Percobaan klinis terhadap manusia tentu saja masih perlu dilakukan apabila polifenolik angsana sudah diramu menjadi obat. Penelitian ini akan menjadi tanggung jawab Eisei, perusahaan kimia terkemuka di Jepang yang berminat membeli paten Hadiman untuk membuat obat dalam bentuk tablet. "Yang penting, biar kita patenkan dulu," kata Hadiman, menghindar mempermasalahkan pembelian paten itu. Prof. Sasongko menilai penemuan ini sangat membanggakan di antara penemuan lain. Kepala Pusat Penelitian Sains dan Teknologi Unpad yang jadi team leader dalam kerja sama dengan IPCR itu mengungkapkan, selama kerja sama -- sejak 1980 -- Unpad telah mempatenkan tiga hasil penelitian. Selain polifenolik, ditemukan pula zat antibiotik dari tanah untuk pembasmi jamur tanaman. Juga, zat insektisida dari daun sirsak. Sebelum diajukan ke lembaga paten Jepang, penemuan Hadiman diuji dulu oleh sebuah dewan ilmu pengetahuan. "Penemuan ini dianggap orisinil dan belum pernah ditemukan peneliti lain sebelumnya," kata Sasongko -- suatu bukti bahwa Indonesia tak cuma punya pohon angsana, tapi juga peneliti yang menekuni rahasianya. Hasan Syukur (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus