PERALATAN modern, yang kini menyerbu banyak rumah sakit dan klinik kesehatan, ternyata tak selalu menguntungkan. Dampak peralatan canggih itu terungkap ketika berlangsung promosi Doktor Suharyono Sastromihardjo di Universitas Indonesia, awal bulan ini. Dalam kesempatan itu, Prof. Dr. Sudjono Djuned Pusponegoro, promotor, guru besar ilmu kesehatan anak dari UI, menjelaskan banyaknya peralatan modern di masa kini yang justru menimbulkan penyebaran penyakit. Sebenarnya tesis Suharyono, yang dipertahankannya, lebih banyak menyangkut ikhtiar mengatasi dehidrasi dengan sistem ROSE pada kasus diare di kalangan anak-anak metode yang didesainnya sendiri dan telah mendapat pengakuan WHO beberapa waktu lalu (TEMPO, 8 Juni 1985). Sekalipun di luar persoalan tesisnya, atas pernyataan Sudjono, Suharyono turut pula memberi penjelasan tentang efek peralatan modern itu. Ia membenarkan, penggunaan berbagai peralatan mutakhir, sangat mungkin menimbulkan penyebaran bakteri. Kemudian, masih dalam kesempatan itu, Sudjono melanjutkan penjelasannya. Ia menyatakan, penggunaan teknologi modern itu meningkatkan bakteri apatogen, yang mulanya tidak berbahaya, menjadi berbahaya dan merupakan sumber penyakit. "Dokter diperalat oleh alat dan memperalat pasien secara berlebihan," ujar guru besar itu. Ia menandaskan, sering kali untuk mengejar angsuran peralatan yang mahal itu, para dokter memperbanyak penggunaannya secara tak perlu. Menjelaskan lebih jauh apa yang dikemukakan Sudjono Djuned Pusponegoro, staf pengajar Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI, dr. M. Hardjono Abdoerrachman, di kesempatan lain mengutarakan, selama ini dikenal adanya bakteri patogen dan bakteri apatogen. Nah, bakteri apatogen sebenarnya senantiasa ada pada tubuh, tapi tidak menimbulkan penyakit. "Tubuh manusia tidak steril, artinya tidak bebas kuman," ujar Hardjono, "terdapat banyak kuman baik di permukaan tubuh, misalnya kulit, maupun di dalam tubuh, misalnya di rongga mulut dan tenggorokan." Dalam keadaan tertentu, misalnya salah makan atau defisiensi sel-sel darah putih, bakteri-bakteri apatogen ini bisa berkembang biak, hingga populasinya melebihi keadaan wajar. Dalam keadaan ini, bila tubuh menurun kondisinya, bakteri apatogen akan menimbulkan gangguan pencernaan kemudian diare. Namun, Hardjono menjelaskan, dalam keadaan biasa, bakteri apatogen tidak mengganggu dan tidak menimbulkan penyakit. "Berbeda dengan bakteri patogen yang secara potensial dapat menyebabkan penyakit bila menyerang tubuh kita," ujar Hardjono. Akan tetapi, menurut Hardjono lagi, memang benar penggunaan alat-alat modern kedokteran bisa membuat bakteri-bakteri apatogen menjadi potensial mengganggu kesehatan tubuh. Bakteri itu dibawa ujung-ujung peralatan modern untuk memeriksa, ke darah dan saluran pernapasan. Bakteri yang berasal dari kulit, misalnya, berpindah masuk ke dalam darah. Akibatnya, terjadi infeksi pada pembuluh darah. "Keadaan ini sering dijumpai pada anak-anak yang dirawat di RSCM," ujar Hardjono, "dan saya kira banyak juga dijumpai di rumah sakit di seluruh Indonesia. Terutama di rumah sakit umum yang tingkat kebersihannya tidak terjaga." Tentang insidensi akibat peralatan modern ini, Hardjono tak bisa memberikannya. "Belum pernah dilakukan penelitian," katanya. Namun, bahayanya sudah tak bisa disangkal lagi. Karena itu, banyak dokter memperhatikan hal ini dengan serius. Cara mengatasinya, menurut Hardjono, sebaiknya tidak lantas meninggalkan peralatan modern. "Kita nantinya akan ketinggalan," katanya. Caranya adalah mengontrol penggunaan alat modern, dan membiarkan ahli yang sesungguhnyalah yang menggunakannya. Misalnya endoskop untuk memeriksa saluran pernapasan, yang dimasukkan lewat mulut. "Memasukkan alat ini harus langsung masuk, tidak boleh keluar masuk, keluar masuk," kata Hardjono lagi. Pasalnya, di dalam mulut terdapat banyak sekali bakteri apatogen. Bila bakteri-bakteri ini terbawa alat pemeriksa masuk ke dalam saluran pernapasan, penyakit pun akan bertambah. JS Laporan biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini