Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengharapkan pemerintah ikut mengkampanyekan antirokok tak ubahnya menggantang asap. Inilah setumpuk buktinya. Rancangan undang-undang pembatasan rokok masih teronggok di Senayan. Indonesia juga belum meratifikasi Framework Convention for Tobacco Control, yang salah satu isinya menyangkut pembatasan rokok dengan menaikkan cukai dan harga rokok. Kini Indonesia merupakan satu-satunya negara ASEAN yang belum menandatangani konvensi itu.
Keengganan Indonesia tersebut bisa dipahami jika melihat besaran penerimaan cukai rokok selama ini. Pada 2005 pendapatan dari cukai rokok masih Rp 32,7 triliun. Tapi, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2008, penerimaan cukai ditargetkan Rp 44,5 triliun atau meningkat rata-rata 12 persen setiap tahun. Tahun ini penerimaan cukai rokok merupakan pendapatan terbesar keempat pemerintah setelah pajak pertambahan nilai, pajak penghasilan badan, serta pajak penghasilan minyak dan gas.
Banyak yang menduga pemerintah khawatir jika pajak dan harga rokok dinaikkan, penerimaan negara bakal turun. Selain itu, jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam industri ini sangat besar. Dua alasan tersebut yang boleh jadi membuat pemerintah enggan menyenggol industri rokok. Padahal sejumlah kalangan terus-menerus menyoroti efek rokok terhadap kesehatan. ”Pemerintah harus berani memilih, melindungi industri atau kesehatan masyarakat,” kata Abdillah Ahsan, peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Kesan bahwa pemerintah tak serius membatasi rokok bisa dilihat dari rendahnya tarif cukainya. Bahkan, kata Abdillah, tarif cukai rokok di Indonesia yang hanya 37 persen merupakan yang terendah di Asia Tenggara. Bandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti Vietnam, yang menerapkan cukai 45 persen, sedangkan Filipina 46-49 persen. Tetangga terdekat, yakni Malaysia, bahkan berani mematok cukai 49-57 persen. ”Kalau perlu seperti Thailand, cukainya 63 persen,” tutur Abdillah.
Karena itu, kata dia, jika hendak melindungi kesehatan masyarakat, pilihannya adalah menaikkan tarif cukai. Memang, kenaikan cukai rokok yang tinggi akan membuat harga rokok menjadi mahal. Bukan tidak mungkin jumlah perokok akan menurun, sehingga produksi pun turun. Tapi perhitungan Abdillah menunjukkan penerimaan negara pada akhirnya tidak terganggu kalau opsi menaikkan cukai dipilih. Dia menghitung, penurunan produksi akan ditutup dengan selisih tarif cukai. Selain itu, rokok adalah barang adiktif sehingga penurunan konsumsinya akan berjalan lambat.
Pengalaman pun menunjukkan pasca-1998 pemerintah kerap menaikkan cukai berkali-kali lipat. Toh, penerimaan cukai naik terus. Bahkan, pada tahun-tahun itu, perusahaan rokok masih menikmati laba yang besar kendati sektor lain banyak yang merugi. Itu sebabnya, pemerintah harus didorong menaikkan tarif cukai untuk membatasi penjualan rokok. Tujuannya tentu saja bukan semata-mata untuk menaikkan pendapatan negara, tapi melindungi masyarakat, terutama kaum muda, dari bahaya rokok.
Susahnya, bukan cuma pemerintah yang enggan menyentuh dunia usaha ini. Dewan Perwakilan Rakyat pun ikut-ikutan terkena penyakit yang sama. Lembaga legislatif tersebut ternyata belum juga menempatkan Rancangan Undang-Undang Pengendalian Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan dalam prioritas tinggi. Sejak dua tahun lalu diajukan, badan legislatif tidak pernah meluluskan draf itu masuk dalam Program Legislasi Nasional.
Alhasil, hingga tahun ini, rancangan ketentuan yang akan melindungi masyarakat dari bahaya rokok itu belum akan dibahas, sekalipun 259 dari 550 anggota Dewan sudah menandatangani desakan agar aturan tersebut dibahas. ”RUU ini terganjal oleh pemimpin Dewan,” tutur Hakim Sorimuda Pohan, anggota Komisi Kependudukan dan Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrat.
Anne L. Handayani, Rina Widiastuti
Produksi Rokok (Batang)
- 2005: 220 miliar
- 2006: 218,73 miliar
- 2007: 225 miliar
Penerimaan Cukai Rokok 2005-2007 (Rp Triliun) | |||
---|---|---|---|
2005 | 2006 | 2007 | |
Sigaret Kretek Mesin | 23,7 | 27,1 | 29,9 |
Sigaret Kretek Tangan | 6,7 | 7,6 | 8,9 |
Sigaret Putih Mesin | 2,1 | 2,4 | 2,5 |
Total | 32,7 | 37,1 | 41,3 |
Sumber: Departemen Keuangan |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo