Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wajah kucel, rambut model punk, baju penuh tambalan. Melihat penampilannya, cocoknya dia perokok. Tapi tunggu dulu. Dia adalah anak jalanan rel kereta api asal Kampung Lio, Depok, yang berontak melawan kecanduan merokok di kalangannya. ”Kami mencoba pada diri sendiri, kelompok dan kawan-kawan sebaya di jalanan, agar tak lagi merokok, minimal mengurangi,” kata Andi, 28 tahun.
Berdasarkan survei Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia pada 2008, sekitar 61 persen anak jalanan sepanjang rel Jakarta-Bogor mengkonsumsi rokok. Masih menurut survei, iklan rokok di berbagai media menjadi faktor penentu seorang anak mulai merokok. ”Hampir enggak ada anak jalanan yang tidak merokok,” ujar Ahmad Fauzi, 17 tahun, kepada Reh Atemalem Susanti dari Tempo News Room.
Tak mudah bagi Andi dan Ahmad melawan kepungan lingkungan dan iklan rokok yang menggoda. ”Kami berusaha. Awalnya kami cuma bertiga, sekarang sudah 20 orang. Mudah-mudahan ke depan bertambah,” kata Ahmad, remaja yang sehari-hari mengamen di kereta listrik ekonomi Jakarta-Bogor.
Di kalangan terpelajar ada Klub Jantung Remaja. Mereka bukan kumpulan anak muda berpenyakit jantung, tapi kelompok di bawah Yayasan Jantung Sehat Indonesia, yang menerapkan gaya hidup sehat, termasuk tak merokok. Belum besar memang. Di Jakarta, kelompok ini beranggotakan seribu orang. Di Cianjur, dalam dua bulan, terkumpul 500 orang. Anggota klub ini paling tua berusia 21 tahun. Sasaran kampanyenya siswa-siswi sekolah. ”Kami bikin ikon kegiatan remaja panutan, yang tentunya tidak merokok,” kata ketuanya, Anugrah Sukma Agung, 18 tahun.
Klub Jantung Remaja dibentuk dua tahun lalu, ketika diadakan acara berkemah di kampung remaja di Cibubur, Jakarta Timur. Sekitar 800 siswa sekolah menengah dari 33 provinsi berkumpul, membicarakan kegiatan yang lepas dari kebiasaan merokok. Mereka juga menciptakan senam funky dengan musik hip-hop untuk menarik minat anak muda, hip heart namanya. ”Tahun ini kami mengumpulkan 3.000 tanda tangan, yang diserahkan ke Presiden, agar pemerintah menerapkan kebijakan pengendalian tembakau,” kata Agung.
Yang juga punya perhatian besar melakukan penyuluhan tentang bahaya rokok kepada anak-anak dan orang tuanya adalah kelompok perempuan Wanita Indonesia Tanpa Tembakau. Kelompok ini bergerak ke sekolah-sekolah dasar, mengingatkan ibu-ibu yang sedang menunggu anak sekolah agar tak merokok, supaya anak-anaknya tak menirunya. ”Kami mencoba melawan dari diri sendiri. Sebab, kalau melawan perusahaan rokok, terlalu berat. Mereka punya dana besar,” kata Febrina, salah seorang aktivis kelompok ini.
Ya, kelompok-kelompok antitembakau itu memang masih kecil meskipun sudah membangun jaringan menjadi Komisi Nasional Pengendalian Tembakau. Dana mereka juga sangat terbatas. Namun lambat-laun ada pihak lain yang bersimpati mendukung mereka. Agung dan teman-temannya, misalnya, mendapat kesempatan menggunakan lapangan futsal gratis untuk menjalankan kegiatan olahraga tanpa sponsor perusahaan rokok.
Perlawanan dari bawah memang penting. Namun tetap diperlukan payung hukum. ”Perlu ada political will,” kata Prof Dr F.A. Moeloek, yang aktif di Yayasan Jantung. Menurut anggota Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat, Hakim Sorimuda Pohan, caranya adalah segera menuntaskan pembahasan rancangan undang-undang pembatasan rokok. Menurut Hakim, sudah ada 259 anggota Dewan yang memberikan tanda tangan agar rancangan tersebut segera dibahas kembali. ”Sampai kini, usul kami masih ditahan badan legislasi. Namun kami memperjuangkannya untuk segera dibahas lagi,” ujarnya.
Ahmad Taufik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo