SELALU berpakaian putih-putih. Tapi bukan jururawat dan tak mau
disebut pembantu rumah tangga. Itulah perawat bayi yang sering
juga disebut dengan istilah baby sitter.
Belum ada penyelidikan sejak kapan profesi pengangon bayi ini
muncul pertama kali di Indonesia. Tapi semakin banyak ibu rumah
tangga yang harus sibuk di luar rumah, profesi ini tampaknya
juga semakin berkembang.
Di Jakarta ada 10 buah yayasan yang mengkoordinir tenaga perawat
bayi itu. Setiap yayasan sedikitnya punya 50 orang anggota.
Semuanya terdiri dari kaum wanita yang berusia antara 20-30
tahun. Ada yang sudah berkeluarga, ada juga yang masih berstatus
gadis. Tak sedikit pula yang berwajah cantik. Dan jangan
khawatir, di antara mereka tak ada yang menyeramkan seperti
perawat bayi dalam film The Omen.
Sulikatun biasa disebut Zuster Suli kini bekerja di daerah Pluit
Selatan Jakarta Utara. Ia mengasuh seorang anak bernama Nikolas
yang kini berusia 2 tahun -- sejak anak itu masih berusia 4
hari. Dari pagi sampai malam, tanggung jawabnya hanya di sekitar
Nikolas kecuali bila anak itu sedang tidur. Suli (34 tahun)
harus melayani dan memenuhi kebutuhan anak itu -- sampai yang
kecil-kecil sekalipun.
Ke Amerika
Malam hari, sementara orang tua Nikolas tidur, ia harus loncat
bangun kalau mendengar anak itu menangis. Tanpa ada komando, ia
langsung mengambil botol susu. Pekerjaan ini menjadi bertambah
rumit, kalau Nikolas sakit. Ia ikut berusaha untuk menyembuhkan
sakit Nikolas. Termasuk mendampinginya ke dokter bersama
majikannya. "Tapi paling sedih kalau momongan saya dimarahi
orang tuanya," kata pengasuh yang bekerja pada seorang pengusaha
kopi dalam sebuah rumah mewah itu. "Entah mengapa, saya merasa
orang tuanya seperti memarahi saya juga."
Kalau ada waktu longgar yaitu bila anak asuhannya tidur,
kadangkala Suli menyulam. Hiburan lain, nonton bioskop bersama
nyonya majikan, sementara majikan lelaki menggantikan tugas
merawat Nikolas. Ia juga pernah diajak majikannya nonton film
serem The Omen, yang mengisahkan seorang baby sitter yang
merupakan penjelmaan setan.
Suli termasuk beruntung. Kalau majikannya makan di luar rumah,
ia selalu dapat oleh-oleh. Di hari Minggu ia ngintil week end ke
Puncak mendampingi Nikolas. Dan akhir tahun ini ia akan dibawa
majikannya ke Amerika Serikat untuk 4 bulan lamanya.
Sebelum Suli dapat tempat nyaman seperti sekarang, ia pernah
pindah kerja 5 kali. Satu kali ia sempat menelan getah pahit.
Waktu itu ia merawat putra seorang pejabat di Jakarta yang masih
berusia 2 bulan. Ia cuma bisa bertahan beberapa bulan dan
berhenti secara tiba-tiba. "Saya benci karena tuan rumah genit
sekali," kata Suli. Rupa-rupanya ia sempat dirayu untuk
memainkan adegan ranjang. "Saya baby sitter, bukan papa sitter,
" tambah Suli.
Setiap bulan Suli mendapat gaji Rp 45 ribu -- 20% dari gaji itu
diserahkannya pada Yayasan Ampera di Jalan Kali Pasir Jakarta,
tempat ia dulu dididik selama sebulan. Kalau rezeki nomplok, tak
jarang nyonya rumah memberinya persen sekitar Rp 15 ribu. Belum
terhitung hadiah-hadiah lainnya seperti baju, sepatu, dompet, 6
stel pakaian putih setiap tahun dan perhiasan sekedarnya.
Suwartini, yang mengasuh bayi di sebuah keluarga di daerah
Grogol, Jakarta Barat, juga bangga pada pekerjaannya. Wanita
yang pernah berkuliah sampai tingkat II jurusan ekonomi di IKIP
Ngawi (Jawa Timur) ini, menceritakan ketika ia mulai bekerja.
Bayi asuhannya yang berusia 9 bulan waktu itu sakit-sakitan.
Sempat dirawat selama 3 bulan di rumah sakit. "Sekarang coba
lihat, kan segar," katanya menunjukkan momongannya dengan
bangga. Rahasianya apa? "Yah, kalau bayinya tidak mau makan
dibujuk," ujarnya.
Suwartini (27 tahun) sudah berkeluarga, punya seorang anak.
Suaminya tinggal di Jakarta juga, numpang pada seorang
saudaranya. Sedangkan anak mereka yang berusia 6 tahun
dititipkan pada orang tua suaminya di Madiun. "Habis kami orang
susah, suami saya pegawai negeri bergaji kecil," kata wanita
itu. Ia sendiri sebelum jadi pengasuh bayi sudah melamar
pekerjaan di berbagai perusahaan tapi tanpa hasil. Kini ia
merasa sudah dapat hidup lumayan dengan gaji Rp 50 ribu sebulan.
Ia juga harus menyerahkan 20% dari penghasilannya setiap bulan
kepada yayasan yang pernah mendidiknya menjadi perawat bayi.
Sisanya ia tabung di Tabanas. "Untuk beli kambing dan kerbau
nanti," katanya menjelaskan cita-citanya.
Ke Kamar Mandi
Di samping merawat bayi, hari Minggu Suwartini juga dapat tugas
memasak bersama majikannya. "Saya senang di sini karena sudah
saya anggap sebagai saudara sendiri," katanya. "Tapi kalau saya
terbangun tengah malam, saya suka menangis sendirian -- karena
sedih memikirkan bahwa saya terpisah dari suami dan anak saya."
Untunglah sekali dalam 2 minggu ia dapat libur untuk menjumpai
keluarganya.
Tapi bila suatu ketika ia menjadi orang kaya, menurut Suwartini
ia tak akan menyerahkan bayinya pada babystter. Karena, "buat
apa, lebih baik dirawat sendiri," jawabnya.
Sumiati sudah 2 tahun bekerja pada sebuah keluarga di Ancol
Jakarta Utara, mengaku ada beberapa hal yang mendorongnya
menjadi pengasuh bayi. Tiga bulan ia digodok di kursus perwat
bayi di Jalan Teuku Umar Jakarta Pusat. Di situ ia mendapat
pelajaran ilmu kesehatan, ilmu gizi dan tentu saja cara-cara
merawat bayi. "Kalau saya sudah menikah tidak perlu belajar
mengurus anak lagi," ujarnya. Di samping itu tentu juga karena
gajinya menarik. "Saya kumpulkan untuk bisa bertemu dengan orang
tua saya yang sekarang ada di Medan," tambah Sumiati (20 tahun).
Tentu saja tidak semua pengasuh bayi punya pengalaman manis.
Apalagi kalau kebetulan ia seorang wanita yang tergolong cantik.
Ini dialami oleh Mimin (30 tahun) dari Bandung. Ia sebetulnya
tidak ingin menjadi pengasuh bayi. Tapi karena sekolah bidannya
putus, ia terpaksa menerima pekerjaan yang ditawarkan oleh orang
tua angkatnya. Sampai sekarang lebih dari 10 buah keluarga yang
sudah mempergunakan jasa Mimin.
Satu kali, waktu masih bekerja di rumah seorang pejabat di
Jakarta, tengah malam pintu kamarnya diketuk. Majikan lelaki
muncul dengan senyum dikulum. Lama-lama timbul gerak-gerik yang
mencurigakan. Mimin yang bahenol terpaksa lari ke kamar mandi.
Waktu itu nyonya rumah bangun. Mimin selamat.
Tapi kemudian peristiwa yang sama berulang. Setelah pintu
terbuka, Mimin langsung dipeluk. Kebetulan nyonya rumah juga
cepat bangun. Dan tanpa tanya lagi besoknya Mimin angkat kaki
pulang ke Bandung, tanpa menerima bayaran sepeserpun. Padahal
sudah kerja 3 minggu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini