Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Baby Sitter Atau Papa Sitter ?

Kini di jakarta ada sekitar 10 yayasan yang mengkoordinir baby sitter, mereka terdiri dari kaum wanita dengan usia 20-30 tahun. ada beberapa baby sitter yang beruntung.

10 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELALU berpakaian putih-putih. Tapi bukan jururawat dan tak mau disebut pembantu rumah tangga. Itulah perawat bayi yang sering juga disebut dengan istilah baby sitter. Belum ada penyelidikan sejak kapan profesi pengangon bayi ini muncul pertama kali di Indonesia. Tapi semakin banyak ibu rumah tangga yang harus sibuk di luar rumah, profesi ini tampaknya juga semakin berkembang. Di Jakarta ada 10 buah yayasan yang mengkoordinir tenaga perawat bayi itu. Setiap yayasan sedikitnya punya 50 orang anggota. Semuanya terdiri dari kaum wanita yang berusia antara 20-30 tahun. Ada yang sudah berkeluarga, ada juga yang masih berstatus gadis. Tak sedikit pula yang berwajah cantik. Dan jangan khawatir, di antara mereka tak ada yang menyeramkan seperti perawat bayi dalam film The Omen. Sulikatun biasa disebut Zuster Suli kini bekerja di daerah Pluit Selatan Jakarta Utara. Ia mengasuh seorang anak bernama Nikolas yang kini berusia 2 tahun -- sejak anak itu masih berusia 4 hari. Dari pagi sampai malam, tanggung jawabnya hanya di sekitar Nikolas kecuali bila anak itu sedang tidur. Suli (34 tahun) harus melayani dan memenuhi kebutuhan anak itu -- sampai yang kecil-kecil sekalipun. Ke Amerika Malam hari, sementara orang tua Nikolas tidur, ia harus loncat bangun kalau mendengar anak itu menangis. Tanpa ada komando, ia langsung mengambil botol susu. Pekerjaan ini menjadi bertambah rumit, kalau Nikolas sakit. Ia ikut berusaha untuk menyembuhkan sakit Nikolas. Termasuk mendampinginya ke dokter bersama majikannya. "Tapi paling sedih kalau momongan saya dimarahi orang tuanya," kata pengasuh yang bekerja pada seorang pengusaha kopi dalam sebuah rumah mewah itu. "Entah mengapa, saya merasa orang tuanya seperti memarahi saya juga." Kalau ada waktu longgar yaitu bila anak asuhannya tidur, kadangkala Suli menyulam. Hiburan lain, nonton bioskop bersama nyonya majikan, sementara majikan lelaki menggantikan tugas merawat Nikolas. Ia juga pernah diajak majikannya nonton film serem The Omen, yang mengisahkan seorang baby sitter yang merupakan penjelmaan setan. Suli termasuk beruntung. Kalau majikannya makan di luar rumah, ia selalu dapat oleh-oleh. Di hari Minggu ia ngintil week end ke Puncak mendampingi Nikolas. Dan akhir tahun ini ia akan dibawa majikannya ke Amerika Serikat untuk 4 bulan lamanya. Sebelum Suli dapat tempat nyaman seperti sekarang, ia pernah pindah kerja 5 kali. Satu kali ia sempat menelan getah pahit. Waktu itu ia merawat putra seorang pejabat di Jakarta yang masih berusia 2 bulan. Ia cuma bisa bertahan beberapa bulan dan berhenti secara tiba-tiba. "Saya benci karena tuan rumah genit sekali," kata Suli. Rupa-rupanya ia sempat dirayu untuk memainkan adegan ranjang. "Saya baby sitter, bukan papa sitter, " tambah Suli. Setiap bulan Suli mendapat gaji Rp 45 ribu -- 20% dari gaji itu diserahkannya pada Yayasan Ampera di Jalan Kali Pasir Jakarta, tempat ia dulu dididik selama sebulan. Kalau rezeki nomplok, tak jarang nyonya rumah memberinya persen sekitar Rp 15 ribu. Belum terhitung hadiah-hadiah lainnya seperti baju, sepatu, dompet, 6 stel pakaian putih setiap tahun dan perhiasan sekedarnya. Suwartini, yang mengasuh bayi di sebuah keluarga di daerah Grogol, Jakarta Barat, juga bangga pada pekerjaannya. Wanita yang pernah berkuliah sampai tingkat II jurusan ekonomi di IKIP Ngawi (Jawa Timur) ini, menceritakan ketika ia mulai bekerja. Bayi asuhannya yang berusia 9 bulan waktu itu sakit-sakitan. Sempat dirawat selama 3 bulan di rumah sakit. "Sekarang coba lihat, kan segar," katanya menunjukkan momongannya dengan bangga. Rahasianya apa? "Yah, kalau bayinya tidak mau makan dibujuk," ujarnya. Suwartini (27 tahun) sudah berkeluarga, punya seorang anak. Suaminya tinggal di Jakarta juga, numpang pada seorang saudaranya. Sedangkan anak mereka yang berusia 6 tahun dititipkan pada orang tua suaminya di Madiun. "Habis kami orang susah, suami saya pegawai negeri bergaji kecil," kata wanita itu. Ia sendiri sebelum jadi pengasuh bayi sudah melamar pekerjaan di berbagai perusahaan tapi tanpa hasil. Kini ia merasa sudah dapat hidup lumayan dengan gaji Rp 50 ribu sebulan. Ia juga harus menyerahkan 20% dari penghasilannya setiap bulan kepada yayasan yang pernah mendidiknya menjadi perawat bayi. Sisanya ia tabung di Tabanas. "Untuk beli kambing dan kerbau nanti," katanya menjelaskan cita-citanya. Ke Kamar Mandi Di samping merawat bayi, hari Minggu Suwartini juga dapat tugas memasak bersama majikannya. "Saya senang di sini karena sudah saya anggap sebagai saudara sendiri," katanya. "Tapi kalau saya terbangun tengah malam, saya suka menangis sendirian -- karena sedih memikirkan bahwa saya terpisah dari suami dan anak saya." Untunglah sekali dalam 2 minggu ia dapat libur untuk menjumpai keluarganya. Tapi bila suatu ketika ia menjadi orang kaya, menurut Suwartini ia tak akan menyerahkan bayinya pada babystter. Karena, "buat apa, lebih baik dirawat sendiri," jawabnya. Sumiati sudah 2 tahun bekerja pada sebuah keluarga di Ancol Jakarta Utara, mengaku ada beberapa hal yang mendorongnya menjadi pengasuh bayi. Tiga bulan ia digodok di kursus perwat bayi di Jalan Teuku Umar Jakarta Pusat. Di situ ia mendapat pelajaran ilmu kesehatan, ilmu gizi dan tentu saja cara-cara merawat bayi. "Kalau saya sudah menikah tidak perlu belajar mengurus anak lagi," ujarnya. Di samping itu tentu juga karena gajinya menarik. "Saya kumpulkan untuk bisa bertemu dengan orang tua saya yang sekarang ada di Medan," tambah Sumiati (20 tahun). Tentu saja tidak semua pengasuh bayi punya pengalaman manis. Apalagi kalau kebetulan ia seorang wanita yang tergolong cantik. Ini dialami oleh Mimin (30 tahun) dari Bandung. Ia sebetulnya tidak ingin menjadi pengasuh bayi. Tapi karena sekolah bidannya putus, ia terpaksa menerima pekerjaan yang ditawarkan oleh orang tua angkatnya. Sampai sekarang lebih dari 10 buah keluarga yang sudah mempergunakan jasa Mimin. Satu kali, waktu masih bekerja di rumah seorang pejabat di Jakarta, tengah malam pintu kamarnya diketuk. Majikan lelaki muncul dengan senyum dikulum. Lama-lama timbul gerak-gerik yang mencurigakan. Mimin yang bahenol terpaksa lari ke kamar mandi. Waktu itu nyonya rumah bangun. Mimin selamat. Tapi kemudian peristiwa yang sama berulang. Setelah pintu terbuka, Mimin langsung dipeluk. Kebetulan nyonya rumah juga cepat bangun. Dan tanpa tanya lagi besoknya Mimin angkat kaki pulang ke Bandung, tanpa menerima bayaran sepeserpun. Padahal sudah kerja 3 minggu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus