KESUSASTRAAN lisan memang salah satu cabang seni tertua. Bahkan
dahulu kala ada kalanya mempunyai nilai magis -- seperti
kata-kata seorang dukun ketika mengucapkan mantra. "Karena itu
kesusastraan lisan dinilai sebagai seni rakyat sejati dan selalu
digemari," kata Sukanto S.A., seorang penulis cerita anak-anak.
Sukanto membuktikan hal itu ketika 27 April lalu mengadakan
acara mendongeng di Teater Arena, Taman Ismail Marzuki (TIM)
Jakarta. Dengan harga karcis Rp 300 per lembar, ruang
pertunjukan hampir penuh oleh pengunjung, terutama anak-anak
untuk mendengarkan ceritanya.
Setiap ceritera, dibawakannya dalam tempo 10 menit. Sambil
berceritera tak lupa Kanto memperagakan gambar-gambar yang ada
kaitannya dengan ceriteranya. Sesekali, dia menirukan suara
anjing atau burung. Dalam kesempatan lain, dia berjalan gagah
bagaikan seorang raja atau melenggok-lenggok menirukan gaya
seorang putri. "Supaya pendengar bisa turut menghayati
sepenuhnya jalan ceritera," ujar Kanto.
Misalnya Kanto bercerita: Ada seorang anak miskin yang bernama
Can Syek Bong. Ayahnya telah tiada dan ibunya berjualan kue
serabi. Sebelum sang ayah meninggal, dia berpesan agar anaknya
jadi sarjana -- jangan jadi kuli di ladang seperti sang ayah
atau penjual serabi seperti sang ibu. Ketika Syek Bong berusia 7
tahun, berangkatlah ia ke kota untuk menuntut ilmu. Ibunya
berpesan, dia harus kembali dan menjadi pandai setelah 10 tahun.
Tetapi baru 5 tahun, Syek Bong kembali. Ibunya mengujinya.
Dalam keadaan gelap, kepandaian si anak dicoba. Syek Bong harus
menulis dan sang ibu membuat kue serabi. Tulisan Syek Bong
ternyata belum bagus, sementara serabi ibunya enak dan harum.
Dia disuruh kembali lagi ke kota. Lima tahun kemudian si anak
menjadi sarjana. "Tapi dia lalu tidak menjadi sombong,
anak-anak," ujar Kanto, "dan setiap ada yang bertanya, selalu
dijawab kesarjanaannya berkat serabi ibunya.
Pendengar menarik napas lega dan puas. Kanto minta di sambut
tepuk tangan setiap kali dia selesai bercerita. Siang itu, dia
juga membawakan ceritera-ceritera Kisah Sebelas Angsa Liar karya
Hans C. Andersen, Ulang Tahun di Tengah Hutan, dongeng Amerika
Utara, Tidur Seratus Tahun, dongeng Prancis dan I Belog,
ceritera dari Bali.
Untuk dongengannya di TIM siang itu, Kanto mendapat honor Rp
50.000. Dan tampaknya dia cukup gembira. "Bukan karena jumlah
honornya," ujarnya, "tapi karena usaha saya menghidupkan kembali
kebiasaan mendongen di kalangan orang tua cukup mendapat
sambutan." TIM sendiri, baru dua kali mengadakan acara ini. Yang
pertama, Oktober tahun kemarin, juga menampilkan Sukanto.
Kan Enak
Sukanto S.A. yang telah mengarang 26 judul ceritera anak-anak,
ternyata tidak saja jadi tukang ceritera di TIM. "Kini saya
ditanggap orang juga," ujarnya. Tak lama setelah ia mendongeng
di TIM tahun lalu, seorang ibu datang kepadanya untuk mendongeng
dalam acara HUT anak ibu tersebut. "Lumayan, saya dapat honor Rp
10.000, untuk 5 ceritera," ujarnya, "dan dapat jemputan." Yang
menonton berjubel. Dalam bulan Mei ini, sudah ada 2 tempat yang
pesan: Kwarcab Pramuka Jakarta Utara dan Pekan Buku Nasional di
Aldiron Plaza. "Saya lalu pikir, mendongeng rupanya bisa jadi
profesi," ujar Kanto, "ngomong, lalu dapat duit. Itu 'kan enak."
Untuk daerah Jakarta, tukang ceritera bukanlah hal yang baru.
Sebelum tahun 1970, ada seorang tokoh terkenal sebagai juru
cerita yang bernama Haji Zahid. Oleh orang Betawi, namanya
kemudian diubah jadi Pak Jait. Mengenakan sarung, berbaju
gunting Cina, berpici, kumis yang terawat rapi seperti jagoan
Betawi si Pitung Jait mulai berceritera dari jam 21.00 sampai
pagi menjelang subuh.
Biasanya dia mendongeng sambil duduk bersila. Memangku sebuah
bantal, sesekali ia memukul gendang kecil yang ada di sampingnya
untuk memberikan aksentuasi ceritera. Pak Jait juga bisa
menyanyi dengan suara cukup bagus. Ia berceritera tanpa mikropon
di rumah-rumah orang yang ada hajatan.
Pekerjaan Pak Jait siang hari adalah tukang pangkas di sekitar
pasar kambing, di bagian belakang Pasar Tanah Abang sekarang.
Rumah Jait ada di Kebun Pala. Dan setiap pagi bila dia pulang
dari bercerita, para tetangga selalu menyalaminya dengan
pertanyaan "Dari mana nih Pak Jait." Jawabnya selalu: "Biase,
abis ngeberakin orang." Ia meninggal pada 1970.
Dari 16 orang anak Zahid (dan yang hidup tinggal 7 orang), hanya
2 orang yang mempunyai kepandaian seperti ayahnya. Sofyan MZ
yang telah 10 tahun jadi tukang ceritera di Radio Agustina
Yunior dan Ade Wahyuddin MZ 26 tahun, anak bungsu Haji Zahid
yang jadi tukang dongeng di Radio Ramako Jaya Raya. Acara yang
dibawakan Ade bernama Sahibulhikayat, yang biasanya berasal dari
dongeng-dongeng 1001 Malam.
Kawasan penggemar Ade ternyata cukup luas. Sering sebulan penuh
dia harus memenuhi panggilan dari Bogor, Jasinga, Tangerang,
Bekasi sampai Karawang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini