Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Juru Cerita, Sebuah Profesi

Juru cerita/tukang dongeng mulai berkembang, bahkan mulai menjadi profesi, sukanta s.a (penulis cerita anak), mengadakan acara mendongeng di teater arena, sebelum th 1970 ada seorang tokoh juru cerita.

10 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KESUSASTRAAN lisan memang salah satu cabang seni tertua. Bahkan dahulu kala ada kalanya mempunyai nilai magis -- seperti kata-kata seorang dukun ketika mengucapkan mantra. "Karena itu kesusastraan lisan dinilai sebagai seni rakyat sejati dan selalu digemari," kata Sukanto S.A., seorang penulis cerita anak-anak. Sukanto membuktikan hal itu ketika 27 April lalu mengadakan acara mendongeng di Teater Arena, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Dengan harga karcis Rp 300 per lembar, ruang pertunjukan hampir penuh oleh pengunjung, terutama anak-anak untuk mendengarkan ceritanya. Setiap ceritera, dibawakannya dalam tempo 10 menit. Sambil berceritera tak lupa Kanto memperagakan gambar-gambar yang ada kaitannya dengan ceriteranya. Sesekali, dia menirukan suara anjing atau burung. Dalam kesempatan lain, dia berjalan gagah bagaikan seorang raja atau melenggok-lenggok menirukan gaya seorang putri. "Supaya pendengar bisa turut menghayati sepenuhnya jalan ceritera," ujar Kanto. Misalnya Kanto bercerita: Ada seorang anak miskin yang bernama Can Syek Bong. Ayahnya telah tiada dan ibunya berjualan kue serabi. Sebelum sang ayah meninggal, dia berpesan agar anaknya jadi sarjana -- jangan jadi kuli di ladang seperti sang ayah atau penjual serabi seperti sang ibu. Ketika Syek Bong berusia 7 tahun, berangkatlah ia ke kota untuk menuntut ilmu. Ibunya berpesan, dia harus kembali dan menjadi pandai setelah 10 tahun. Tetapi baru 5 tahun, Syek Bong kembali. Ibunya mengujinya. Dalam keadaan gelap, kepandaian si anak dicoba. Syek Bong harus menulis dan sang ibu membuat kue serabi. Tulisan Syek Bong ternyata belum bagus, sementara serabi ibunya enak dan harum. Dia disuruh kembali lagi ke kota. Lima tahun kemudian si anak menjadi sarjana. "Tapi dia lalu tidak menjadi sombong, anak-anak," ujar Kanto, "dan setiap ada yang bertanya, selalu dijawab kesarjanaannya berkat serabi ibunya. Pendengar menarik napas lega dan puas. Kanto minta di sambut tepuk tangan setiap kali dia selesai bercerita. Siang itu, dia juga membawakan ceritera-ceritera Kisah Sebelas Angsa Liar karya Hans C. Andersen, Ulang Tahun di Tengah Hutan, dongeng Amerika Utara, Tidur Seratus Tahun, dongeng Prancis dan I Belog, ceritera dari Bali. Untuk dongengannya di TIM siang itu, Kanto mendapat honor Rp 50.000. Dan tampaknya dia cukup gembira. "Bukan karena jumlah honornya," ujarnya, "tapi karena usaha saya menghidupkan kembali kebiasaan mendongen di kalangan orang tua cukup mendapat sambutan." TIM sendiri, baru dua kali mengadakan acara ini. Yang pertama, Oktober tahun kemarin, juga menampilkan Sukanto. Kan Enak Sukanto S.A. yang telah mengarang 26 judul ceritera anak-anak, ternyata tidak saja jadi tukang ceritera di TIM. "Kini saya ditanggap orang juga," ujarnya. Tak lama setelah ia mendongeng di TIM tahun lalu, seorang ibu datang kepadanya untuk mendongeng dalam acara HUT anak ibu tersebut. "Lumayan, saya dapat honor Rp 10.000, untuk 5 ceritera," ujarnya, "dan dapat jemputan." Yang menonton berjubel. Dalam bulan Mei ini, sudah ada 2 tempat yang pesan: Kwarcab Pramuka Jakarta Utara dan Pekan Buku Nasional di Aldiron Plaza. "Saya lalu pikir, mendongeng rupanya bisa jadi profesi," ujar Kanto, "ngomong, lalu dapat duit. Itu 'kan enak." Untuk daerah Jakarta, tukang ceritera bukanlah hal yang baru. Sebelum tahun 1970, ada seorang tokoh terkenal sebagai juru cerita yang bernama Haji Zahid. Oleh orang Betawi, namanya kemudian diubah jadi Pak Jait. Mengenakan sarung, berbaju gunting Cina, berpici, kumis yang terawat rapi seperti jagoan Betawi si Pitung Jait mulai berceritera dari jam 21.00 sampai pagi menjelang subuh. Biasanya dia mendongeng sambil duduk bersila. Memangku sebuah bantal, sesekali ia memukul gendang kecil yang ada di sampingnya untuk memberikan aksentuasi ceritera. Pak Jait juga bisa menyanyi dengan suara cukup bagus. Ia berceritera tanpa mikropon di rumah-rumah orang yang ada hajatan. Pekerjaan Pak Jait siang hari adalah tukang pangkas di sekitar pasar kambing, di bagian belakang Pasar Tanah Abang sekarang. Rumah Jait ada di Kebun Pala. Dan setiap pagi bila dia pulang dari bercerita, para tetangga selalu menyalaminya dengan pertanyaan "Dari mana nih Pak Jait." Jawabnya selalu: "Biase, abis ngeberakin orang." Ia meninggal pada 1970. Dari 16 orang anak Zahid (dan yang hidup tinggal 7 orang), hanya 2 orang yang mempunyai kepandaian seperti ayahnya. Sofyan MZ yang telah 10 tahun jadi tukang ceritera di Radio Agustina Yunior dan Ade Wahyuddin MZ 26 tahun, anak bungsu Haji Zahid yang jadi tukang dongeng di Radio Ramako Jaya Raya. Acara yang dibawakan Ade bernama Sahibulhikayat, yang biasanya berasal dari dongeng-dongeng 1001 Malam. Kawasan penggemar Ade ternyata cukup luas. Sering sebulan penuh dia harus memenuhi panggilan dari Bogor, Jasinga, Tangerang, Bekasi sampai Karawang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus