AMRUS Natalsja muncul kembali. Hampir 25 tahun yang lalu dia
adalah siswa Jurusan Seni Patung di Akademi Seni Rupa Indonesia
Yogya yang dibanggakan. Guru-gurunya waktu itu (antara lain
Hendra Gunawan) menilai karya patung kayunya otentik dan penuh
kekuatan.
Tapi kini, 29 April - 7 Mei di Balai Budaya, Jakarta, pematung
ini tak menyuguhkan arca. 25 karya yang disebutnya 'lukisan
kayu' tergantung di gedung itu. 'Bidang gambar'nya merupakan
jejeran (horisontal dan atau vertikal) potongan lempeng kayu
berukuran sekitar 60 x 40 x 4 cm, membentuk segi empat.
Permukaan lempeng kayu itu dicongkel-congkel membentuk gambar --
ada yang jelas bentuknya, ada yang tidak. Dia menyebut kerjanya
ini sebagai "perpaduan kerja melukis dan mematung".
Amrus, lahir di Medan 1933, memang juga pelukis -- meski karya
lukisnya tak semenonjol, bahkan boleh dibilang tak dianggap
orang, dibanding karya patungnya.
Perihal 'lukisan kayu'nya ini, ada ceritanya sendiri. Orang yang
yakin bahwa "seniman bisa hidup dengan karya seninya" ini,
ternyata harus menghadapi kenyataan harga jual patungnya tak
cukup bisa menghidupi keluarganya (dua istri dan tujuh anak).
Bukan karena patungnya murah, tapi karena selama dua tahun
(1978 - 1980) dia hanya menghasilkan 5 patung dengan harga total
Rp 1,5 juta.
Memang pahit bagi Amrus. Apalagi dia pernah jaya. Sebagai salah
seorang pimpinan Sanggar Bumi Tarung yang bernaung di bawah
LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) akhir 50-an sampai pertengahan
60-an, hidupnya memang terjamin. Hanya setelah G30S PKI roda
nasib berputar. Ia sempat mendekam dalam tahanan di Jakarta, 5
tahun (1968-1973).
Orang Terganyang
Dalam tahanan ia dilarang berkarya -- karena harus menggunakan
benda tajam. Baru menjelang dibebaskan ia diberi kesempatan
mematung lagi. Menurutnya, meski orang membencinya karena dia
tapol (atau karena ulahnya dulu), mereka menggumi keseniannya.
"Sebagai bekas orang terganyang saya masih ingin karya saya
dihargai," katanya. Tapi ia tak melihat dengan cara bagaimana
harus tampil. Mencari sponsor untuk pameran, patung ia merasa
masih kikuk. Maka, ketika Taman Impian Jaya Ancol 1975 membuka
Pasar Seni, muncul harapannya. Benar: 1978 Amrus telah tetcatat
sebagai penghuni salah satu kiosnya.
Dan cerita klasik pun berulang. Kenyataan ternyata tak sesuai
dengan harapan. Amrus memang dikenal kembali -- terutama oleh
kalangan seniman. Bahkan di-Pasar Seni Ancol dia termasuk aktif
memberi ide ini-itu demi hidupnya kegiatan pasar, termasuk
perencanaan diskusi terbuka. Tapi soal rezeki, tetap seret.
Seperti telah disebutkan, sampai tahun ini harya 5 patung
dibeli orang.
Orang yang kepepet memang sering menemukan jalan. Ketika Pasar
Seni diperluas, akhir tahun lalu, banyak sisa potongan kayu.
Semula Amrus- mengumpulkannya untuk membuat tempat duduk
(dingklik). Tapi akhirnya muncul ide: mengapa tak dijejer-jejer,
dicongkel-congkel menjadi satu karya? Mengapa orang melukis
harus di kanvas? Kalau kanvas itu kayu, dan catnya adalah kapak
yang dicongkel-congkelkan pada kayu, bagaimana, coba?
Singkat kata, dia berhasil membuat 'lukisan kayu'. Dan yang
penting ternyata ada juga yang mau beli. Bahkan separuh yang
dipamerkannya kini pinjaman dari para pembelinya.
Baik motif, ide maupun materialnya, sesungguhnya tak baru sama
sekali. Lebih kurang karya Amrus ini dekat dengan ukir-ukiran
Jepara atau daerah lain. Yang milik Amrus, barangkali cerita
penemuan itu.
Orang Tertindas
Dibanding karya patungnya memang masih jauh. Ia yang selalu
mencari lebih dari sekedar bentuk pada karya senirupa orang
lain, ternyata hanya menyuguhkan barang yang relatif hanya
bentuk. Kesan pertama, ini hanya karya-karya yang cocok untuk
hiasan dinding rak ada yang muncul dari permukaan kayu selain
gambar kuda atau orang atau burung. Apalagi kalau bidang
gambarnya sempit -- menarik perhatian pun tidak.
Dua yang besar, sekitar 10 - 12 susunan potongan kayu, bermotif
kucing dan burung-burung serta seekor macan. Memang lebih
menarik dari yang lain-terutama Macan, yang terasa memperoleh
kegarangan dari permukaan yang dicacah kapak. Ini mengingatkan
pada patung Amrus yang biasanya kasar permukaannya, yang
menambah kadar ekspresi.
Secara tak langsung Amrus sendiri mengakui kekurangannya:
"Pengalaman mematung 15 tahun tentulah berbeda dengan pengalaman
mencongkel kayu 4 bulan," katanya.
Tentang pandangan keseniannya, Amrus seperti masih yang dulu.
Rupanya ia memang memisahkan antara hidup kesenian dan yang
lain. "Dulu itu semangat kesenimanan ditantang berpihak pada
orang tertindas. Secara moral, itu benar. Tapi perkembangannya
akhirnya ditentukan oleh politik. Itu bukan urusan seni lagi,"
katanya bersemangat. Tapi mengapa dia berpihak? Karena "waktu
itu hanya itu wadah yang ada dan yang paling banyak ngomong,"
katanya.
Menarik perihal sikapnya soal harga. Rata-rata harga karyanya
memang tak begitu berbeda dengan harga karya senirupawan
lainnya. Termahal, Macan, Rp 1,4 juta. Lho? "Itu saya jual sama
orang yang punya duit. Yang tak berduit tentunya malah senang,
kalau saudaranya bisa menjual karyanya dengan mahal," katanya
yakin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini