Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kepepet, Dibuatlah Lukisan Kayu

Amrus natalsja di balai budaya, jakarta memamerkan 25 karyanya yang disebut "lukisan kayu". ia menyebut karyanya ini sebagai perpaduan kerja melukis dan mematung.

10 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AMRUS Natalsja muncul kembali. Hampir 25 tahun yang lalu dia adalah siswa Jurusan Seni Patung di Akademi Seni Rupa Indonesia Yogya yang dibanggakan. Guru-gurunya waktu itu (antara lain Hendra Gunawan) menilai karya patung kayunya otentik dan penuh kekuatan. Tapi kini, 29 April - 7 Mei di Balai Budaya, Jakarta, pematung ini tak menyuguhkan arca. 25 karya yang disebutnya 'lukisan kayu' tergantung di gedung itu. 'Bidang gambar'nya merupakan jejeran (horisontal dan atau vertikal) potongan lempeng kayu berukuran sekitar 60 x 40 x 4 cm, membentuk segi empat. Permukaan lempeng kayu itu dicongkel-congkel membentuk gambar -- ada yang jelas bentuknya, ada yang tidak. Dia menyebut kerjanya ini sebagai "perpaduan kerja melukis dan mematung". Amrus, lahir di Medan 1933, memang juga pelukis -- meski karya lukisnya tak semenonjol, bahkan boleh dibilang tak dianggap orang, dibanding karya patungnya. Perihal 'lukisan kayu'nya ini, ada ceritanya sendiri. Orang yang yakin bahwa "seniman bisa hidup dengan karya seninya" ini, ternyata harus menghadapi kenyataan harga jual patungnya tak cukup bisa menghidupi keluarganya (dua istri dan tujuh anak). Bukan karena patungnya murah, tapi karena selama dua tahun (1978 - 1980) dia hanya menghasilkan 5 patung dengan harga total Rp 1,5 juta. Memang pahit bagi Amrus. Apalagi dia pernah jaya. Sebagai salah seorang pimpinan Sanggar Bumi Tarung yang bernaung di bawah LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) akhir 50-an sampai pertengahan 60-an, hidupnya memang terjamin. Hanya setelah G30S PKI roda nasib berputar. Ia sempat mendekam dalam tahanan di Jakarta, 5 tahun (1968-1973). Orang Terganyang Dalam tahanan ia dilarang berkarya -- karena harus menggunakan benda tajam. Baru menjelang dibebaskan ia diberi kesempatan mematung lagi. Menurutnya, meski orang membencinya karena dia tapol (atau karena ulahnya dulu), mereka menggumi keseniannya. "Sebagai bekas orang terganyang saya masih ingin karya saya dihargai," katanya. Tapi ia tak melihat dengan cara bagaimana harus tampil. Mencari sponsor untuk pameran, patung ia merasa masih kikuk. Maka, ketika Taman Impian Jaya Ancol 1975 membuka Pasar Seni, muncul harapannya. Benar: 1978 Amrus telah tetcatat sebagai penghuni salah satu kiosnya. Dan cerita klasik pun berulang. Kenyataan ternyata tak sesuai dengan harapan. Amrus memang dikenal kembali -- terutama oleh kalangan seniman. Bahkan di-Pasar Seni Ancol dia termasuk aktif memberi ide ini-itu demi hidupnya kegiatan pasar, termasuk perencanaan diskusi terbuka. Tapi soal rezeki, tetap seret. Seperti telah disebutkan, sampai tahun ini harya 5 patung dibeli orang. Orang yang kepepet memang sering menemukan jalan. Ketika Pasar Seni diperluas, akhir tahun lalu, banyak sisa potongan kayu. Semula Amrus- mengumpulkannya untuk membuat tempat duduk (dingklik). Tapi akhirnya muncul ide: mengapa tak dijejer-jejer, dicongkel-congkel menjadi satu karya? Mengapa orang melukis harus di kanvas? Kalau kanvas itu kayu, dan catnya adalah kapak yang dicongkel-congkelkan pada kayu, bagaimana, coba? Singkat kata, dia berhasil membuat 'lukisan kayu'. Dan yang penting ternyata ada juga yang mau beli. Bahkan separuh yang dipamerkannya kini pinjaman dari para pembelinya. Baik motif, ide maupun materialnya, sesungguhnya tak baru sama sekali. Lebih kurang karya Amrus ini dekat dengan ukir-ukiran Jepara atau daerah lain. Yang milik Amrus, barangkali cerita penemuan itu. Orang Tertindas Dibanding karya patungnya memang masih jauh. Ia yang selalu mencari lebih dari sekedar bentuk pada karya senirupa orang lain, ternyata hanya menyuguhkan barang yang relatif hanya bentuk. Kesan pertama, ini hanya karya-karya yang cocok untuk hiasan dinding rak ada yang muncul dari permukaan kayu selain gambar kuda atau orang atau burung. Apalagi kalau bidang gambarnya sempit -- menarik perhatian pun tidak. Dua yang besar, sekitar 10 - 12 susunan potongan kayu, bermotif kucing dan burung-burung serta seekor macan. Memang lebih menarik dari yang lain-terutama Macan, yang terasa memperoleh kegarangan dari permukaan yang dicacah kapak. Ini mengingatkan pada patung Amrus yang biasanya kasar permukaannya, yang menambah kadar ekspresi. Secara tak langsung Amrus sendiri mengakui kekurangannya: "Pengalaman mematung 15 tahun tentulah berbeda dengan pengalaman mencongkel kayu 4 bulan," katanya. Tentang pandangan keseniannya, Amrus seperti masih yang dulu. Rupanya ia memang memisahkan antara hidup kesenian dan yang lain. "Dulu itu semangat kesenimanan ditantang berpihak pada orang tertindas. Secara moral, itu benar. Tapi perkembangannya akhirnya ditentukan oleh politik. Itu bukan urusan seni lagi," katanya bersemangat. Tapi mengapa dia berpihak? Karena "waktu itu hanya itu wadah yang ada dan yang paling banyak ngomong," katanya. Menarik perihal sikapnya soal harga. Rata-rata harga karyanya memang tak begitu berbeda dengan harga karya senirupawan lainnya. Termahal, Macan, Rp 1,4 juta. Lho? "Itu saya jual sama orang yang punya duit. Yang tak berduit tentunya malah senang, kalau saudaranya bisa menjual karyanya dengan mahal," katanya yakin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus