Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Rongseng setelah Pagebluk

Pandemi Covid-19 menyebabkan tingkat stres dan kecemasan meningkat. Pencetus terkuaknya masalah mental yang terjadi sebelumnya.

 

 

20 Juni 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kecemasan saat pandemi adalah reaksi yang wajar dalam kondisi yang tak normal.

  • Ada berbagai macam penyebab kecemasan akibat Covid-19.

  • Sebagian masalah kecemasan tak bisa ditangani sendiri dan membutuhkan bantuan ahli.

SEJAK kantornya memberlakukan kebijakan bekerja dari rumah akibat pandemi Covid-19, Dinda—bukan nama sebenarnya—menjadi lebih rongseng. Dari hari ke hari, perasaannya berganti-ganti antara bosan, kesal, bingung, dan uring-uringan. “Perubahan mood itu makin intens semenjak pandemi,” katanya, Jumat, 19 Juni lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tempat kerja Dinda di bilangan Jakarta Pusat memberlakukan kebijakan tersebut mulai pertengahan Maret lalu dan belum mengakhirinya sampai pertengahan Juni. Dinda, 37 tahun, mau tak mau harus bekerja dari apartemen tak jauh dari kantornya. Di tempat tinggal mungil itu, ia mesti berbagi ruang dengan ibunya, yang datang menengoknya pada Januari lalu dan terjebak di Ibu Kota setelah pemerintah DKI memberlakukan pembatasan sosial berskala besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kedekatan jarak itu menimbulkan masalah karena hubungan mereka sudah tak hangat semenjak Dinda masih bocah. Sebelum pandemi, Dinda masih bisa mengalihkan perhatiannya ke kantor. Tapi, sejak bekerja dari rumah, ia mesti bersama-sama terus dengan ibunya. Mereka berkali-kali berselisih selama tinggal bersama.

Ia terkadang ingin ke luar rumah sejenak untuk memberikan ruang kepada dirinya sendiri, tapi enggan lantaran ibunya akan bertanya macam-macam. “Saya juga takut membawa pulang virus ke rumah,” ujar Dinda.

Hal sebaliknya dialami Azizah. Kecemasannya hadir karena ia tak bisa menjaga kedua orang tuanya secara langsung saat pandemi menyerang. Azizah saat ini ditugasi di Medan, sementara orang tuanya tinggal di Purwokerto, Jawa Tengah. “Rasa khawatir itu membuat saya mual-muntah berhari-hari,” ucap Azizah, 32 tahun.

Ketakutan bahwa orang tuanya bakal tertular virus corona pada awalnya mendorong Azizah memborong masker, berbagai produk disinfektan, serta bermacam makanan yang disebut berkhasiat menjaga daya tahan tubuh untuk ia kirim ke rumah. Ia juga menjadi lebih bawel kepada kakaknya yang tinggal bersama kedua orang tuanya.

Ia terus-menerus mewanti-wanti kakaknya agar langsung mandi dan berganti baju setelah pulang kerja, sering cuci tangan, dan mengingatkan kedua orang tuanya untuk minum suplemen. “Kakak saya juga mengeluh saya jadi sering marah-marah di telepon,” tuturnya. Ketakutannya pelan-pelan mereda setelah ia meliburkan diri membaca berita tentang corona, belajar menerima kondisi, dan mendengarkan musik yang menenangkan.

 


 

Munculnya kecemasan dan stres setelah pandemi datang adalah reaksi yang wajar karena kondisi pandemi merupakan situasi tak normal. “Kalau reaksinya biasa saja justru berbahaya karena ia jadi tak waspada terhadap corona,” ujar Gamayanti.

 


 

Menurut Ketua Ikatan Psikolog Klinis Indonesia Indria Laksmi Gamayanti, munculnya kecemasan dan stres setelah pandemi datang adalah reaksi yang wajar karena kondisi pandemi merupakan situasi tak normal. “Kalau reaksinya biasa saja justru berbahaya karena ia jadi tak waspada terhadap corona,” ujar Gamayanti. Menurut dia, ada yang bisa menangani kecemasan sendiri, tapi banyak yang memerlukan bantuan ahli. Jumlah orang yang berkonsultasi ke psikolog klinis, kata dia, meningkat sampai tiga kali lipat setelah wabah Covid-19 merebak.

Gamayanti mengatakan ada berbagai macam penyebab kecemasan selama pandemi, seperti ketakutan terhadap wabah, kekhawatiran penghasilan berkurang, rencana yang sudah disusun berantakan, merasa terasing karena karantina, dan kesedihan atau kesepian lantaran jauh dari keluarga. Efeknya antara lain sulit tidur, pola makan berubah, susah berkonsentrasi, sulit mengerjakan tugas, muncul gangguan psikosomatis seperti merasa tenggorokan gatal-gatal setelah membaca berita tentang corona, juga kekerasan dalam rumah tangga. “Kalau gangguan ini murni muncul lantaran Covid-19, biasanya akan lebih mudah teratasi,” ucapnya.

Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia membuka layanan swaperiksa di situs www.pdskji.org sejak April lalu. Para dokter menggunakan tiga kuesioner untuk mendiagnosis kecemasan, depresi, dan trauma psikologis secara terpisah. Hingga 14 Mei lalu, ada 2.364 responden yang memeriksakan diri, 69 persen di antaranya memiliki masalah psikologis (lihat infografis).

Menurut dokter spesialis kesehatan jiwa Lahargo Kembaren, ketika terjadi perubahan dalam hidup, seperti munculnya pagebluk Covid-19, manusia mengalami beberapa tahap sampai akhirnya menerima perubahan itu. Tahap pertama adalah syok dan penolakan. Misalnya, saat muncul berita tentang kasus terkonfirmasi positif Covid-19 pertama di Indonesia pada Maret lalu, orang menjadi panik dan buru-buru memborong barang. Ada juga yang menolak kebenaran berita tersebut.

Ketika tahap ini terlewati, fase selanjutnya adalah marah akibat perubahan tersebut. Lahargo mengatakan marah sebenarnya seperti puncak gunung es. Ada emosi lain yang mendasarinya, misalnya rasa frustrasi, cemas, khawatir, atau takut kehilangan. “Harus dicari tahu problem utamanya apa,” ucapnya.

Fase selanjutnya adalah depresi. Gejalanya antara lain menjadi tak bersemangat, malas, dan putus asa. Sebagian orang yang mengalami depresi berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Jika tahap ini sudah dilalui, fase selanjutnya adalah tawar-menawar. “Misalnya di era new normal ini, oke deh, harus kembali bekerja di kantor, tapi mengikuti semua protokol,” tutur Lahargo. Tahap selanjutnya adalah menerima krisis ini menjadi bagian dari hidup. Kalau sudah sampai tahap tersebut, berarti kondisinya baik.

Masalahnya, kata Lahargo, sebagian orang terperangkap dalam salah satu fase sehingga tak kunjung sampai ke tahap penerimaan. Mereka membutuhkan bantuan dari para ahli, yang kini konselingnya dapat diakses secara daring (online).

Menurut Gamayanti, jika kecemasan disebabkan oleh Covid-19, biasanya para psikolog akan meminta kliennya untuk sementara menyetop konsumsi informasi seputar virus corona, baik dari berita maupun media sosial. Klien juga akan disarankan melakukan self-talk, antara lain menyugesti diri dengan hal-hal positif, berinteraksi dengan orang terdekat, dan melakukan pengalihan. “Misalnya menyibukkan diri dengan memasak, beres-beres lemari, berkebun, atau hal lain yang ia sukai,” ujarnya.

Namun, bila cara ini tak berhasil, bisa jadi ada masalah lain. Menurut psikolog Efnie Indrianie, setelah digali, kebanyakan kecemasan muncul bukan murni karena pandemi. Sebagian besar klien ternyata memiliki masalah sebelumnya. Pandemi hanya menjadi pencetus keluarnya problem mental. “Stres kerja, stres relasi pernikahan, stres masalah hidup sudah ada. Ditambah Covid-19, akhirnya stresnya berat,” tuturnya.

Gamayanti juga memiliki banyak klien yang ternyata kondisinya bukan murni akibat Covid-19. Salah satunya mahasiswa yang mengalami depresi semenjak kampusnya menerapkan kebijakan kuliah secara daringIa mengurung diri berhari-hari di kamar. Setelah ditelisik, kata Gamayanti, rupanya pola komunikasi keluarganya yang bermasalah.

Sebelum pandemi datang, setiap anggota keluarga punya pengalihan problem tersebut lewat kesibukan di luar. Ayah-ibunya bekerja di luar rumah, mahasiswa tersebut pun kuliah. Ketika pemerintah memberlakukan pembatasan sosial, semua anggota keluarga “terjebak” di dalam rumah. Bapak-ibu menjadi sering bertengkar sampai terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Sedangkan anak mengurung diri di kamar dan mengalami depresi. “Untuk mereka yang ternyata punya masalah lain, kami gunakan terapi lain, misalnya cognitive behavioral therapy, untuk mengubah pola pikir dan perilaku,” ucap Gamayanti.

NUR ALFIYAH 
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Nur Alfiyah

Nur Alfiyah

Bergabung dengan Tempo sejak Desember 2011. Kini menjadi redaktur untuk Desk Gaya Hidup dan Tokoh majalah Tempo. Lulusan terbaik Health and Nutrition Academy 2018 dan juara kompetisi jurnalistik Kementerian Kesehatan 2019. Alumnus Universitas Jenderal Soedirman.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus