Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK lama setelah menjabat pastor kepala di Paroki Santo Herkulanus, Depok, Jawa Barat, pada awal Februari lalu, Yosep Sirilus Natet menghadapi kasus kekerasan seksual yang menimpa para putra altar di gereja itu. Awalnya ada dua korban, belakangan meningkat menjadi 21 orang. Natet juga menghadapi perbedaan sikap umat dalam soal kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh Syahril Parlindungan Marbun. “Proses hukum harus berjalan,” katanya kepada Stefanus Pramono dan Mustafa Silalahi di lantai dua gedung pastoral pada Kamis, 18 Juni lalu.
Kapan Anda mengetahui kasus kekerasan seksual itu?
Saat Ramadan, ada orang tua yang bercerita anaknya mengalami kekerasan seksual. Saya marah. Saya bilang, kalau secara hukum ini merupakan tanggung jawab dia sebagai pribadi. Waktu itu belum ada kehendak mereka untuk menuntut. Ternyata mereka berani melaporkan.
Bagaimana dengan tanggung jawab gereja?
Gereja harus mengajarkan dan memberikan keadilan untuk umat. Korban harus mendapat keadilan. Kalau kami salah, kami harus mengakui kesalahan itu. Uskup Bogor (Monsinyur Paskalis Bruno Syukur, OFM) juga meminta kami mendampingi korban dan orang tuanya. Beliau berpesan, jangan sampai mereka merasa ditinggalkan oleh gereja.
Anda sempat berbicara dengan pelaku?
Waktu itu saya mengundang orang tua misdinar untuk mensosialisasi program paroki ramah anak. Undangan itu dikirimkan tanpa melalui dia. Belakangan, dia tahu dan marah-marah di grup WhatsApp misdinar karena tidak ada koordinasi. Lalu dia minta ketemu saya pada 4 Juni lalu.
Anda menanyakan soal dugaan kejahatan seksual?
Dia sendiri yang bertanya, “Katanya saya mau dilaporkan, ya? Siapa yang melaporkan?” Saya bilang dia nanti akan tahu sendiri. Dia bilang, tidak perlulah. Kasihan anak-anak misdinar. Belum lagi uang untuk kasus ini tidak sedikit. Dia juga sempat bilang bahwa dia suka memeluk, mencium, dan ngelitikin mereka. Dia lalu bertanya, “Apa itu pelecehan?” Saya menangkap kesan dia seperti mau berlindung di balik institusi gereja dengan menyampaikan hal-hal seperti itu.
Apa yang Anda lakukan setelah mengetahui ada kekerasan seksual?
Yang jelas ini harus diselesaikan secara organisasi dan hukum. Memang awalnya semua dilakukan serba senyap. Ada penelusuran dari misdinar dan mantan misdinar untuk menemukan korban lain. Ini juga dikonsultasikan dengan Konferensi Waligereja Indonesia, di bawah Komisi Keadilan dan Perdamaian. Ada juga psikolog yang terlibat untuk mendampingi.
Kenapa gereja akhirnya membuka kasus perundungan seksual ini?
Ini adalah aib. Tapi mau tidak mau harus dibuka. Kami ingin gereja bisa lebih terbuka, dipercaya, menjadi tempat yang aman dan nyaman. Prosesnya memang menyakitkan. Tapi ini harus kami hadapi. Kami tidak mau nantinya ada korban yang menjadi pelaku kejahatan seksual.
Benarkah ada penolakan dari Dewan Paroki untuk membawa kasus ini ke polisi?
Memang ada umat yang meminta supaya persoalan ini diselesaikan dengan jalan damai. Saya bilang, semua umat saya memang harus damai. Memaafkan dan bertobat harus dilakukan. Tapi hukum juga harus berjalan. Sebagai pengacara, pelaku pasti tahu konsekuensi logis itu.
Kami mendapat informasi bahwa beberapa tahun lalu perbuatan itu terungkap, tapi penyelesaiannya secara kekeluargaan.
Saya tidak tahu. Ada selentingan begitu. Tapi saya tidak menemukan catatan khusus itu dari para pendahulu saya.
Lalu kenapa dia masih menempati posisi sebagai pembina misdinar?
Saya tidak mengerti. Kalau memang perdamaian itu pernah terjadi, ini adalah kesalahan besar. Seperti membiarkan predator berkeliaran dan memangsa anak-anak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo