Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengalaman yang kurang nyaman pernah dirasakan Poppy Fransisca, 43 tahun. Kepala SMU Don Bosco Padang itu beberapa waktu lalu merasakan nyeri pada kakinya. Pergilah ia berobat ke salah satu rumah sakit di kotanya. Dokter mendiagnosis ia menderita rematik. "Tapi dokternya nggak yakin rematik jenis apa, karena katanya ada ratusan jenis rematik," ujarnya.
Tak adanya kejelasan membuat Poppy berpaling ke Mahkota Medical Center di Melaka, Malaysia. Pilihannya pada rumah sakit di negeri jiran itu bukan tanpa alasan. Di sana keluarganya punya pengalaman mengesankan. Suatu hari keponakannya mengeluh sakit dada. Namun, sewaktu berobat di Padang, dokter tak menemukan penyakit yang diderita sang keponakan.
Ajaib, ketika berubat di Mahkota, dokter langsung menemukan sumber penyakit: kelenjar tymus di dada lebih besar dari ukuran normal. Lalu dokter memberikan obat yang harus diminum seumur hidup. Suatu ketika keluarga sempat menghentikan pemberian obat selama seminggu. Akibatnya fatal, sang keponakan langsung kolaps.
Dalam situasi panik, si keponakan dibawa ke rumah sakit di Padang. Lagi-lagi dokter tak bisa mengatasi. Keluarganya kemudian menelepon Mahkota. Pihak rumah sakit langsung mengirim dua perawat untuk menjemput pasien di Bandar Udara Tabing, Padang. Setiba di Kuala Lumpur, ambulans sudah menanti. Mereka langsung meluncur ke Mahkota. Di sana dokter sudah siap mengoperasi. Tak lama setelah operasi, si keponakan langsung bisa berdiri. Sejak itu, Poppy lebih percaya berobat ke Melaka.
Ihwal nyeri di kakinya pun, Poppy langsung mendapat penanganan dan ronsen. Hasilnya cepat diketahui. "Ternyata tulang kaki saya kurang pelumas karena proses penuaan, jadi sendinya bergeser," katanya. Dokter kemudian memberikan suntikan dan obat. Kini ia sudah sembuh.
Poppy merasa mendapat pelayanan yang cepat dan akurat di Mahkota. Dokter di sana banyak bercerita dan memberikan semangat. Tepukan tangan di bahunya juga menimbulkan ketenteraman di hati. "Mereka betul-betul memberikan servis yang memuaskan kita," ujarnya. Beda dengan di Padang, yang harus antre lama menunggu dokter. Dan di ruang praktek, dokter hanya memeriksa sebentar lalu cepat menulis resep obat.
Padahal, biaya yang dikeluarkan tak jauh berbeda. Poppy membandingkan, biaya pemeriksaan oleh dokter spesialis di Padang Rp 60 ribu. Di Mahkota biayanya 30 ringgit atau setara dengan Rp 75 ribu. Untuk ongkos operasi kakinya, Poppy mesti membayar 3.000 ringgit atau sama dengan Rp 7,5 juta. "Di Padang tarifnya sekitar itu juga," katanya.
Tak hanya Melaka, Penang di Malaysia pun menjadi sasaran berobat warga Indonesia. Contohnya Zulkarnaen, warga Aceh yang sejak bencana tsunami mengajak istri dan anaknya pindah ke Medan. Beberapa waktu lalu ia pergi ke Island Hospital, di Penang, hanya untuk general check up.
Di sana ia langsung dilayani dengan baik, tidak dimintai biaya apa pun lebih dulu. Penanganannya juga cepat. "Satu hari selesai," katanya. Saat itu, ditemukan kolesterol tinggi pada dirinya. Lalu ia diberi dua macam obat.
Fasilitas di rumah sakit itu, menurut Zulkarnaen, lebih bagus ketimbang di Indonesia. "Kita merasa nyaman dan yakin akan sembuh," ujarnya. Biayanya pun tak beda jauh dengan ongkos rumah sakit di Indonesia. Waktu itu, general check up-nya hanya menghabiskan Rp 700 ribu.
Petrus Hendra, Direktur Pantara Tours di Padang, menyebut dalam sebulan rata-rata sekitar 15 orang membeli tiket di tempatnya untuk berobat ke Mahkota Melaka. Mereka yang pernah berobat ke sana, menurut dia, merasa puas. Dokternya ramah, lebih familiar dan mau menjawab pertanyaan-pertanyaan pasien. Seperti pengalamannya, saat orang tuanya dioperasi kanker rongga otak. Dokter menjelaskan berulang-ulang kepada keluarganya. "Ini barangkali yang perlu disadari dokter-dokter kita," katanya.
Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Pirngadi Medan, Syarial Anas, mengakui tiga tahun belakangan setiap bulan sekitar seribu pasien dari Medan berobat ke Malaysia. Penyebabnya, rumah sakit di Medan banyak yang belum profesional dalam memberikan pelayanan kesehatan. RS Pirngadi sendiri tak pernah kekurangan pasien. Hanya, yang terjaring masih dari kalangan menengah ke bawah. Katanya, "Kalangan atas belum mengenal pola pelayanan baru kami."
Lis Yuliawati, Febrianti (Padang), Hambali Batubara (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo