Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Walau masa liburan datang, Azmil tidak mudik ke Johor, Malaysia. Pemuda 21 tahun ini tetap mengurung diri di tempat kos di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Dia terus belajar karena ingin segera lulus dari Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.
Azmil sungguh bangga bisa kuliah di Jakarta. Menurut mahasiswa semester tiga ini, kualitas pengajaran di UI cukup bagus, tidak kalah dengan kampus di negaranya. Fasilitas praktek di sini malah lebih lengkap. Saat praktek forensik, misalnya, satu mahasiswa menghadapi satu mayat. "Bandingkan dengan di Malaysia, satu mayat dikeroyok lima sampai enam mahasiswa," ujarnya sambil tersenyum.
Semula dia berangan-angan bisa kuliah di negara-negara Eropa atau Australia, tapi biayanya terlalu mahal. Akhirnya, Azmil memutuskan belajar di UI. Beasiswa dari pemerintahnya sebesar US$ 7.000 (sekitar Rp 70 juta) setahun cukup untuk biaya kuliah di sini. Dia juga masih mendapat tambahan Rp 2 juta sebulan untuk uang buku. Lagi pula, katanya, "Fakultas Kedokteran UI sudah cukup terkenal di Malaysia."
Azmil hanya satu dari 19 mahasiswa asal Malaysia yang belajar di Fakultas Kedokteran UI. Sebagiannya (tujuh orang) kuliah di kelas internasional. Yang lain, seperti Azmil, belajar di kelas reguler, bergabung dengan para mahasiswa Indonesia.
Bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran Melbourne University, UI memang telah membuka kelas internasional sejak 2000. Biayanya lebih mahal dan bahasa pengantarnya Inggris. Selain dari Malaysia, ada juga mahasiswa dari Amerika Serikat, Jepang, Prancis, dan India yang belajar di kelas ini. "Para mahasiswa asing memilih kuliah di sini karena mereka percaya kualitas pengajarannya lebih baik,'' kata Siti Aisah, Wakil Dekan Fakultas Kedokteran UI.
Tak hanya di Universitas Indonesia, fakultas kedokteran di kampus lain juga menjadi incaran mahasiswa dari Malaysia. Ambil contoh Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung. Setiap tahun, mahasiswa asal Malaysia yang datang ke sana terus bertambah. Pada 2001, ada delapan orang, lalu meningkat menjadi 45 orang pada 2002. Kini angkanya telah melonjak menjadi dua kali lipat. Tahun ini, 90 mahasiswa dari Malaysia diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.
Karena cukup banyak mahasiswa asing yang berminat belajar ilmu kedokteran, sejak 2001 Unpad membuka kelas internasional. Seperti yang diselenggarakan di UI, kurikulumnya sama dengan kelas reguler, tapi kuliah disampaikan dalam bahasa Inggris. Walau demikian, kata Firman F. Wirakusumah, Dekan FK Unpad, "Saat menjalani praktek sebagai calon dokter, mereka harus bisa berbahasa Indonesia, dan kalau perlu bahasa Sunda."
Menurut Firman, mutu pendidikan kedokteran di Unpad setara dengan di negara lain seperti India dan Australia. Itu sebabnya, dokter lulusan Unpad sangat dihargai. Biaya kuliah pun murah. Untuk belajar di kelas internasional dipungut ongkos sekitar Rp 50 juta setahun ditambah uang administrasi sekitar Rp 100 juta. "Dengan mutu pendidikan sebagus Unpad, biaya seharusnya minimal Rp 20 juta sebulan,'' ujar Firman.
Jangan heran jika mahasiswa asal Malaysia umumnya puas belajar di Unpad. Begitu pula Jassriwati yang sudah empat tahun belajar di Fakultas Kedokteran Unpad. Mahasiswa asal Selangor yang masuk lewat program pertukaran pelajar ini mengaku beruntung bisa kuliah di Bandung. "Ilmu yang dipelajari di Indonesia sangat dibutuhkan di Malaysia karena penyakit yang dipelajari sama, penyakit tropis," katanya.
Jassriwati juga mengungkapkan, fasilitas kuliah di kampusnya lumayan lengkap. Dia pun tidak mengalami kesulitan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. "Yang agak sulit belajar bahasa Sunda," ujarnya.
Serbuan mahasiswa dari negeri jiran juga terjadi di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Kini ada 75 mahasiswa Malaysia yang belajar di sana. Soalnya, kata H. Bambang Subagjo, Dekan III FK Unair, "Pengajaran di fakultas kami telah memenuhi standar yang ditetapkan pemerintah Malaysia."
Hal itu pun diakui oleh Intan Syageerah, mahasiswa asal Kuala Lumpur, yang sedang belajar di FK Unair. Sebagaimana rekan-rekannya yang belajar di Jakarta dan Bandung, dia mengaku tidak akan mengalami kesulitan bekerja sebagai dokter di Malaysia setelah menyelesaikan kuliahnya di Surabaya. "Tidak ada ujian persamaan lagi. Gelar dokter yang saya diperoleh di sini akan diakui pemerintah Malaysia," ujarnya.
Jalil Hakim, Rinny Srihartini (Bandung), Adi Mawardi (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo