PENDERITA penyakit hepatitis (infeksi hati, penyakit kuning, kata orang awam), meningkat belakangn ini. Gambaran itu terlihat di berbagai rumah sakit. Demikian pula di ruangan praktek pribadi para dokter. Sebuah bangsal khusus yang biasanya menampung penderita penyakit menular di RS Angkatan Laut dr. Mintohardjo, Jakarta, sejak September tahun lalu penuh dengan penderita penyakit kuning. "Meningkatnya jumlah penderita itu mungkin ada hubungannya dengan kemarau yang panjang," kata Ahmad Nurman, ahli penyakit dalam yang dinas di rumah sakit itu. Menurut spesialis penyakit hati, dr. Sjaifoellah Noer dari RS Cipto Mangunkusumo, peningkatan jumlah penderita itu karena bertambah baiknya kesadaran kesehatan masyarakat. "Kalau menderita sesuatu gejala penyakit mereka langsung berobat," ulasnya. Sebelumnya banyak yang berobat sendiri, sehingga sulit diterka jumlahnya. Penyebaran penyakit ini menurut taksiran Departemen Kesehatan tahun 1977 sekitar 8 permil. Atau sekitar 1 1/4 juta penduduk Indonesia terserang penyakit infeksi yang merusak organ hati itu. Tidak diperoleh angka berapa besar dari jumlah itu yang masuk dalam golongan hepatitis A, hepatitis B maupun yang non-A dan non-B. Tetapi yang terang, berdasarkan penelitian Sjaifoellah Noer dan teman-teman sejawatnya tahun 1981, boleh dikatakan mereka yang berusia 20 tahun ke atas pernah menderita hepatitis A. Semua jenis hepatitis disebabkan oleh virus. Gejala awal dari tipe A dimulai dengan sakit seperti flu selama 2 atau 3 hari. Merasa mual dan sering muntah-muntah. Kira-kira seminggu kemudian gejala penyakit itu muncul pada air seni yang berwarna kuning kental seperti teh. Kulit dan putih mata juga menjadi kuning. Serangan kuning ini terjadi karena kerusakan pada hati itu mengakibatkan cairan empedu bukannya masuk ke alat pencernaan tapi mengalir ke dalam peredaran darah. Sehingga tubuh berwarna kuning. Sementara kotoran hilang warna dan menjadi lebih busuk. Virus penyakit hepatitis A terdapat di tinja si penderita. Dari sinilah virus itu terbang dibawa lalat atau agen penyakit yang lain, dan mengambil korban baru. "Pengobatannya bersifat membantu saja. Artinya si pasien disuruh istirahat. Kalau mual dan muntah makanan yang mengandung lemak supaya dikurangi," kata Ahmad Nurman. Sejak penyakit ini dikenal masyarakat luas, dan dokter menganjurkan penderita supaya lebih banyak diberi makanan mengandung karbohidrat, maka penderita sering menyantap berbotol-botol sirup. "Sebenarnya tidak ada bukti orang yang menderita hepatitis A harus minum sirup," jawab Sjaifoellah Noer. Pemberian sirup, menurut Sjaifoellah hanya sebagai alternatif saja, karena si pasien tak bisa menerima lemak. Untuk menanggulangi hepatitis A, banyak dokter menyodorkan macam-macam obat. Tetapi menurut Nurman "tak usah diobati penyakit ini akan sembuh juga. Cuma sekarang masyarakat kelihatannya sudah pobi," katanya. Kalangan sarjana Barat sendiri menganggap pemberian obat-obatan untuk penyakit kuning tipe A ini hanya "membuang-buang uang saja." Organ hati yang rusak karena virus tipe A itu akan sembuh sendiri. Namun lain halnya dengan hepatitis tipe B. Gejalanya memang sama dengan hepatitis A. Tetapi penularannya kelihatan lebih rumit. Virus penyakit ini terdapat dalam darah. Tetapi ada pula yang menyebutkan penyebab penyakit itu bisa berada di semua cairan tubuh manusia. Selain darah, juga air ludah, keringat, cairan vagina dan cairan tempat sperma berenang. Malahan bisa ditemukan di air susu ibu. Suatu hal yang menurut Sjaifoellah Noer masih diragukan para ahli. Penularannya bisa terjadi melalui alat suntik yang tercemar virus. Termasuk aIat tusuk jarum akupuntur yang tidak steril. Transfusi darah juga bisa menyebabkannya. Menurut Ahmad Nurman yang juga turut berbicara dalam "Malam Klinik" mengenai penyakit hepatitis di RS Mintohardjo, menggigit jari juga dicurigai sebagai kebiasaan yang bisa membawa penyakit. Demikian pun berenang di kolam umum. Maklum banyak yang seenaknya buang air sambil berendam atau berenang. Hepatitis non-A dan non-B menular melalui transfusi darah dan pencemaran air. Jumlah penderita hepatitis yang tak termasuk tipe A dan B di Indonesia ini menurut Sjaifoellah "sedikit sekali". Usaha para ahli lebih banyak ditujukan pada hepatitis B. Terutama karena penyakit ini kronis. Penderita masih saja membawa-bawa virus dalam tubuhnya sekalipun dia sudah sembuh dari gejala penyakit. Ahli di Barat sudah menemukan vaksin hepatitis B. Ke Indonesia vaksin ini sudah masuk, dibawa orang dari luar negeri. Di Singapura harganya sekitar S$ 80 (lebih kurang Rp 26.400). Untuk mencegah penyakit, vaksin itu disuntikkan secara berkala.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini