Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH ibunya yang mengalami obesitas didiagnosis menderita diabetes tipe 2, Rachelle Bourg buru-buru mencari cara agar berat badannya yang juga berlebih bisa dipangkas. Bourg cemas jika penyakit yang diderita sang ibu juga menyerangnya. "Saya khawatir akan kesehatan saya," katanya seperti dikutip majalah kesehatan Prevention, beberapa waktu lalu.
Beragam cara dilakukan Bourg untuk menurunkan berat badannya, yang waktu itu mencapai 88 kilogram. Dengan tinggi 157 sentimeter, tubuh Bourg tergolong mengalami obesitas. Indeks massa tubuhnya mencapai 35-kelebihan 27 kilogram dari batas sehat.
Ibu dua anak ini sebenarnya sudah bertahun-tahun mencoba mengurangi bobot tubuhnya. Ia pernah mencoba diet, mengikuti program pengaturan pola makan, sampai mengkonsumsi pil pelangsing. Usahanya memang pernah berhasil. Berat badannya bisa turun 6-9 kilogram. Tapi saat-saat itu tak berlangsung lama. Setelah berhasil sedikit langsing, badannya kembali melar, naik sampai 11 kilogram. "Berat saya terus naik-turun, seperti yoyo," ucapnya.
Karena tak kunjung berhasil mencapai berat badan ideal, Bourg mencoba cara intervensi. Akhir tahun lalu, ia menjajal metode pemasangan balon di lambung. Sebuah balon silikon dimasukkan ke lambung sehingga mengurangi kapasitas makanan yang bisa masuk. Cara ini jamak dilakukan di Amerika Serikat. Banyak klinik penurunan berat badan menawarkan metode tersebut.
Tiga hari pertama setelah pemasangan, Bourg merasa mual luar biasa. Hari keempat dan kelima, ia mulai bisa bekerja paruh waktu. Hari berikutnya, ia sudah merasa normal seperti sediakala. Hanya, porsi makannya yang jadi berbeda. Ia tak lagi bisa makan banyak sekaligus karena balon yang mengisi lambungnya membuat perutnya terasa penuh. "Saya makan dalam porsi kecil tiga-empat kali sehari," ujarnya. Dalam empat bulan itu, Bourg sudah kehilangan 15 kilogram berat badannya.
Balon lambung menjadi salah satu metode penurunan berat badan terbaru bagi para penderita obesitas. Hasil penelitian yang dipublikasikan bulan lalu menunjukkan cara ini dianggap dua kali lebih ampuh menurunkan berat badan dibandingkan dengan hanya mengubah gaya hidup. "Ini penting karena banyak orang yang tak berhasil menurunkan berat badan dengan diet dan berolahraga," kata kepala penelitian sekaligus Direktur Endoskopi Bariatric Washington University School of Medicine St. Louis, Shelby Sullivan, seperti dilansir Daily Mail.
Metode ini sebenarnya sudah dikenalkan pada 1990-an, tapi baru populer dua tahun belakangan. Sampai sekarang, prosedur pelangsingan ini terus dikembangkan, dari pemasangan satu balon menjadi dua balon dan yang terbaru dengan mengemasnya lebih ringkas seperti pil sehingga pemasangannya lebih mudah.
Cara terakhir ini sedang diuji dan belum mendapatkan persetujuan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA). Namun semua prinsipnya sama: balon dimasukkan ke lambung sehingga penggunanya merasa perutnya penuh. Walhasil, konsumsi makanan pun berkurang dari biasanya.
Satu atau dua balon kecil berbahan silikon dengan volume 400-700 sentimeter kubik (cc) dimasukkan ke perut dengan prosedur kamera endoskopi, tanpa operasi. Balon yang masih dalam posisi kempis dimasukkan melalui mulut, melewati tenggorokan, sampai ke lambung. Di lambung, balon tersebut diisi dengan larutan garam steril berwarna biru hingga mengembang dan ditinggalkan di sana maksimal selama enam bulan. Pemasangan ini membutuhkan waktu 20-30 menit.
Keberadaan balon akan membuat pasien merasa kenyang sehingga bisa mengontrol nafsu makannya yang berlebihan. Inilah yang membuat berat badan lama-lama akan menyusut. Dengan berat badan menuju ideal, potensi risiko terkena penyakit seperti diabetes tipe 2, tekanan darah tinggi, penyakit jantung, dan stroke pun menurun.
Metode ini juga pernah diterapkan di Indonesia. Dokter spesialis penyakit dalam konsultan gastroenterologi dan hepatologi Rumah Sakit Siloam, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Epistel Simatupang, mengatakan ia mempraktekkan prosedur tersebut sejak 2007. Tapi, tiga tahun belakangan, belum ada pasien yang meminta pemasangan balon ini. "Kurang populer. Dulu juga hanya satu-dua pasien tiap tahun," ujarnya.
Menurut Epistel, tak sembarang orang bisa mengikuti prosedur ini. Hanya pasien yang mengalami obesitas dengan indeks massa tubuh 30-40 yang bisa melakukan metode ini. Lambung pasien yang akan menjadi tempat penampung balon tersebut juga mesti sehat, tak boleh berpenyakit, apalagi menderita luka. Kalau ada luka, kata dia, malah akan menyebabkannya makin parah dan bisa mengakibatkan kebocoran lambung.
Syarat lain: pasien juga harus sudah mencoba berbagai cara untuk menurunkan berat badan tapi tak berhasil. "Yang terpenting, pasien bertekad menurunkan berat badannya," tuturnya.
Keinginan besar untuk menurunkan bobot ini, kata Epistel, penting lantaran pasien akan mengalami begah dan ekstra-mual setelah balon dipasang. Rasa mual ini datang lantaran keberadaan balon tersebut memicu peningkatan produksi asam lambung. Kalau tak kuat, baru beberapa hari atau minggu balon dipasang, pasien bisa meminta balonnya dilepas. Proses pemasangan dan biaya yang dikeluarkan pun jadi sia-sia.
Lantaran rasa mual tersebut, dalam tiga hari pertama setelah balon ditempatkan, dokter akan menganjurkan pasien beristirahat di rumah sakit. Mereka akan melihat respons tubuh pasien dan mengendalikan rasa mual tersebut dengan cara memberikan obat antimual. Konsumsi obat antimual ini akan terus berlanjut selama balon masih terpasang di lambung. Selain untuk mengurangi rasa enek, racikan kimia ini berguna memangkas risiko terjadinya tukak lambung akibat meningkatnya produksi asam.
Karena rasa mual ini juga pasien tak akan bisa langsung mengkonsumsi makanan padat pada hari-hari pertama. Sebagai latihan, mereka akan diberi makanan dalam bentuk cair. Jika pasien sudah bisa mengatasi rasa enek tersebut, barulah bisa beralih ke makanan padat.
Selain mengakibatkan meningkatnya asam lambung, menurut Epistel, balon lambung tersebut berisiko pecah di dalam perut. Jika tak segera diangkat, balon bisa menyumbat usus sehingga untuk mengeluarkannya perut mesti dibedah.
Tapi bahaya tersebut sejauh itu bisa dicegah. Cairan biru yang dimasukkan ke balon akan menjadi penanda jika balon bocor. Cairan tersebut akan diserap oleh darah dan membuat air kencing berwarna hijau kebiruan. Kalau pasien melihat tanda-tanda seperti ini, mereka harus buru-buru mendatangi dokter untuk meminta balonnya diangkat dari lambung.
Dokter akan melakukan endoskopi lagi untuk mengangkat balon tersebut. Balon yang bocor itu akan ditusuk dan cairannya disedot sampai habis sehingga benar-benar mengempis. Jika sudah mengecil, barulah ditarik kembali lewat mulut.
Epistel Simatupang mengatakan, jika pasien berhasil mempertahankan balonnya selama enam bulan, bobot tubuhnya bisa terpangkas 10-30 kilogram. Lagi-lagi ini tergantung tekad pasien karena pemasangan balon pun tak menjamin bahwa tubuh akan langsing seketika. Menurut Epistel, pernah ada pasiennya yang mengalami mual pada bulan-bulan awal, tapi pada pekan berikutnya sudah merasa normal kembali dan makan dalam porsi yang besar lagi. Maka, agar keinginan menurunkan berat badan bisa terlaksana, pola makan harus dijaga dan lebih bagus jika dibarengi dengan olahraga.
Dokter spesialis penyakit dalam konsultan gastroenterologi dan hepatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Ari Fahrial Syam, mengatakan hal senada. Menurut Ari, apa pun alat atau obat yang dipakai untuk melangsingkan tubuh, modal utamanya tetap tekad dari diri sendiri. Pasien harus bersungguh-sungguh untuk diet dan dibarengi dengan olahraga. "Alat hanya jadi penunjang," ujar Ari.
Nur Alfiyah, Pelbagai Sumber
1. Balon yang masih kempis dimasukkan lewat mulut dengan cara endoskopi.
2. Setelah mencapai lambung, balon akan diisi dengan cairan.
3. Enam bulan kemudian, balon akan dikempiskan untuk dikeluarkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo