Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Kembali pada Buku, Keluar dari Dunia Maya

Toko-toko buku independen di Eropa dan Amerika Serikat tumbuh, meski digempur jaringan toko buku online dan toko buku besar. Reportase dari Jerman dan Amerika.

27 Juni 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di tengah Kota Essen, ada Proust.

Nama sastrawan Prancis itu justru diabadikan menjadi sebuah toko buku di Essen, sebuah kota mungil di Negara Bagian Nordrhein-Westfalen, tak jauh dari Düsseldorf, Jerman. Pada awal musim gugur akhir tahun lalu, di sebuah senja, toko buku Essen penuh oleh pengunjung untuk acara diskusi buku rutin.

Sekilas tampak mungil, modern, dengan buku-buku yang diletakkan horizontal dekoratif, toko buku Proust sudah membedakan diri dari beberapa toko buku independen yang pernah saya kunjungi, apalagi dibandingkan dengan toko buku besar Dussmann di Berlin atau jaringan raksasa seperti Thalia, Hugendubel, dan Mayersche, yang meletakkan buku penuh sesak di rak-rak secara vertikal.

"Kami menyampaikan kepada desainer interior Ekkehard Schröer bahwa dia bebas melakukan apa saja, asalkan jangan sampai toko kami mirip dengan toko buku lain," kata Beate Sherzer, salah satu pendiri Proust, kepada Tempo.

Maka yang paling membedakan Proust dengan banyak toko buku lain adalah desain rak bukunya. Mereka meletakkan satu buku di atas satu rak satu secara horizontal. Desain horizontal ini sekaligus menjadi dekorasi modern yang kemudian disebut "Wall of Books" atau Dinding Buku. Itulah yang akan menjadi pusat perhatian setiap pengunjung yang melangkahkan kaki ke toko buku ini.

Proust menjadi satu berlian di Kota Essen yang penting bukan hanya karena desain tersebut, tapi juga karena toko buku ini menyediakan buku-buku alternatif yang jarang disediakan toko buku besar. Selain itu, toko ini satu dari ribuan toko buku independen di Jerman yang lazim menyelenggarakan acara kebudayaan-seperti diskusi novel terbaru dengan penulisnya, pembacaan puisi, atau nukilan novel-yang sudah pasti penuh sesak oleh pengunjung. Buku dalam bentuk cetak, bukan e-book, juga toko, tampaknya masih menjadi pilihan para pembaca Eropa, khususnya Jerman.

Mungkin benar apa yang dilontarkan penulis Amerika Serikat, Ray Bradbury. "Anda tak bisa memegang komputer seperti halnya memegang buku. Komputer tidak memiliki aroma (khas)...," katanya. "Ada dua macam aroma di dalam buku. Buku baru yang beraroma mengasyikkan; dan buku tua yang jauh lebih mengasyikkan…."

Mungkin itu pula yang dirasakan para pengunjung diskusi sastra malam itu di toko buku Proust, atau juga toko buku Transfer di Dortmund, toko buku Weltenleser di Frankfurt, atau toko buku Buchhandlung Böttger di Bonn. Setiap dua pekan, acara kebudayaan yang mereka selenggarakan bukan sekadar mendiskusikan buku sastra sembari meneguk anggur dan menikmati keju terlezat di Eropa seperti yang terjadi malam itu, tapi memang itu menjadi bagian dari pemasaran buku yang lazim dalam dunia penerbitan Jerman.

Yang lebih menarik, di beberapa toko buku di Eropa, mereka yang berkunjung ke toko buku untuk berdiskusi juga harus membayar uang masuk, seperti masuk ke bioskop. Itu sesuatu yang cukup lazim di toko-toko buku independen Jerman, yang jumlahnya lebih dari 4.000 buah karena mereka tak hanya menikmati anggur dan keju serta berdiskusi bersama penulis, tapi juga inilah peristiwa sosial yang tak akan bisa dicapai di dunia maya: bersosialisasi dengan sesama pembaca buku.

Menurut Beate Sherzer, industri buku Jerman berlangsung sejak abad ke-18, sehingga tak mengherankan jika Jerman bisa dianggap sebagai negara di Eropa yang paling banyak memiliki toko buku independen. Menurut Stefan Weidle, pendiri Asosiasi Penerbit Independen Jerman sekaligus penerbit Weidle Verlag, sekitar 20 tahun silam toko buku besar seperti Thalia, Hugendubel, dan Mayersche sempat menguasai pasar sehingga toko buku independen di Jerman sempat mengalami kesulitan dan bahkan tutup. "Tapi tiga tahun terakhir telah berubah. Toko buku besar mengalami perdarahan dalam keuangan karena terlalu cepat melakukan ekspansi. Akibatnya, mereka harus menutup banyak cabang," kata Sherzer.

Kekosongan inilah, menurut Sherzer, yang kemudian diisi oleh toko buku independen semacam Proust. Peter Kolling dan Sherzer, yang sudah lama berkawan, sudah siap membuka toko buku independen baru di Essen ketika situasi perbukuan di Eropa sudah membaik. Mereka sudah punya lokasi, buku-buku sudah beres, duit sudah diatur. Mereka hanya harus memilih nama toko. Kolling dan Sherzer sepakat, toko harus bernama seorang penulis yang mereka sukai bersama. Nama Dostoyevsky terlalu panjang, Hemingway terdengar seperti nama warung kopi, Brecht terlalu kuno. Akhirnya mereka sama-sama sepakat dengan nama Proust, nama sastrawan Prancis: pendek, mudah diingat, dan sesuai dengan keinginan mereka untuk tak hanya menjual buku berbahasa Jerman, tapi juga berbahasa Inggris.

Suburnya pertumbuhan toko buku independen ini menunjukkan bahwa meski terjadi ledakan Internet-yang kemudian melahirkan e-book, kindle dan Amazon-buku dalam bentuk "tradisional" yang berbau khas harum kertas serta kegiatan memilih dan mengaduk-aduk buku di toko buku masih menjadi pilihan para pembaca fanatik. Sherzer mengutarakan bahwa tak semua orang Jerman pembaca fanatik, "Tapi jika diurutkan dalam sebuah ranking di antara negara Eropa lain, saya kira pembaca Jerman ada di ranking atas." Sherzer mengakui bahwa pembaca dari negara-negara Skandinavia bisa dikatakan paling fanatik.

"Tapi saya bisa menjamin, pengunjung dan pelanggan toko kami jelas adalah pembaca fanatik. Mereka pembeli buku sastra Jerman dan internasional," kata Sherzer.

Dengan situasi finansial dan persaingan dengan Amazon yang dari tahun ke tahun semakin menggempur para pelaku bisnis buku independen, Asosiasi Penerbit Independen Jerman mencari jalan keluar. Menurut Stefan Weidle, ancaman bagi kehidupan toko buku independen di Jerman ada dua. Pertama, jaringan toko-toko besar yang gigantik hingga ratusan toko di kota-kota besar di Jerman. Kedua adalah Amazon atau para dealer buku online yang telah menggarap 16 persen dari penjualan total seluruh buku di Jerman.

Dengan tantangan seperti itulah toko buku independen mencoba mengembangkan kreativitas dan program yang tak dilakukan toko besar. Seperti toko buku Buchhandlung Böttger di Bonn yang bahkan mengkurasi pameran lukisan atau diskusi buku yang dipenuhi oleh pengunjung yang juga harus membayar tiket masuk. Selain memperoleh anggur, keju, dan sajian lain, yang penting bagi para pengunjung toko buku Proust di Essen atau Böttger di Bonn sebetulnya mereka bisa berdiskusi dan bertemu dengan penulis secara langsung.

Tapi tak semua toko buku Jerman memberlakukan ongkos untuk ikut diskusi. Di toko buku Weltenleser di Frankfurt, diskusi bersama penulis berlangsung gratis seperti di Indonesia. Adalah Maria Lucia Klocker bersama koleganya yang mendirikan toko buku Weltenleser di Frankfurt dua tahun lalu. Desain toko buku di tengah Kota Frankfurt ini klasik seperti halnya toko buku independen yang lazim di Amerika: rak dari kayu yang menutupi dinding; kursi-kursi nyaman dan bunga cantik di dalam vas.

Menurut Lucia Klocker, mereka ingin membuat pembaca merasa sedang melakukan perjalanan dunia sastra (internasional). Karena itulah mereka menamakan toko bukunya Weltenleser, yang berarti "pembaca dunia". Mereka menyusun letak buku sesuai dengan asal negara penulis, sehingga pembaca seperti tengah melanglang buana. "Konsep toko buku kami adalah armchairtravelling, perjalanan melalui dunia pustaka," kata Klocker.

Mengadakan berbagai program kebudayaan untuk menarik minat pengunjung dan pembeli buku adalah karakteristik terpenting dari toko buku independen. Tak mengherankan bila toko buku independen yang memiliki program kebudayaan paling unik dan konsisten akan mendapat penghargaan dari Asosiasi Penerbit Independen, bekerja sama dengan Kementerian Kebudayaan Jerman. Penghargaan finansial ini, menurut Stefan Weidle, disediakan untuk ratusan toko buku independen agar mereka bisa mengatasi kendala klise: jaringan toko besar raksasa dan dealer online. Selain harus menyelenggarakan acara diskusi buku atau kebudayaan yang unik dan rutin, kriteria pemenang adalah toko buku harus dimiliki perorangan, bukan oleh perusahaan besar. Dengan kata lain: toko buku itu harus dibangun dan dioperasikan dengan passion, dengan kegairahan dan cinta pada buku.

Karena itulah meski tak meraup keuntungan besar seperti toko buku jaringan besar, para pemilik toko buku independen menjalankan bisnis kecil tersebut dengan kegairahan dan kecintaan pembaca dan penulis pada buku. "Memang kami tak menghasilkan keuntungan yang luar biasa, tapi juga penghasilan kami tidak kecil. Kami melakukan ini tanpa penyesalan," kata Sherzer.

Proust, juga ribuan toko buku independen lain di Jerman, tampaknya menunjukkan itu. Ada revolusi Internet, ada dunia baru bernama dunia maya, tapi buku cetak dan toko buku akan tetap menjadi kebutuhan karena kegairahan dan cinta para pembaca.

Leila S. Chudori (Essen, Frankfurt, dan Bonn)


Dari Barat ke Timur AMERIKA, Berjajar Toko Buku

Kota Seattle tak hanya terdiri atas "nada dan bunyi". Kota yang melahirkan band legendaris Nirvana dan band indie lain hingga sering disebut "the sound of Seattle" ini juga memiliki sebuah toko buku independen yang tak kalah legendarisnya bernama Elliott Bay.

Toko buku ini legendaris karena pernah disentuh nama-nama besar seperti Joan Didion, Orhan Pamuk, Alice Munro, Seamus Heaney, Haruki Murakami, dan Salman Rushdie. Pada 1990-an, saking terkenalnya, toko buku ini pernah mengadakan 600 acara diskusi penulis dalam setahun. Artinya, dalam satu hari bisa ada dua atau tiga penulis. Dan orang yang berada di balik acara-acara diskusi Elliott Bay adalah Rick Simonson.

Nama toko buku Elliott Bay diambil oleh Walter Carr pada 1973 dari pelabuhan Seattle yang terkenal. Inilah masa-masa toko buku independen mulai bertumbuhan. Elliott Bay, yang berdinding batu bata, berlokasi di Pioneer Square, tak jauh dari pelabuhan.

"Berbeda dengan toko buku lain yang segera saja membuka cabang, Elliott Bay bertahan hanya satu toko di Seattle," kata Rick Simonson, yang menjabat chief book buyer untuk Elliott Bay.

Dalam industri buku Amerika Serikat, posisi book buyer sangat penting dan berpengaruh bagi keberagaman buku apa saja yang dijual di seluruh penjuru Amerika. Menurut Rick Simonson, dalam tradisi bisnis buku di Amerika, para penerbit dari setiap kawasan Amerika akan bertemu dengan para book buyer. Penerbit akan mempresentasikan daftar buku yang akan terbit beberapa bulan lagi, lengkap dengan versi digital agar book buyer bisa membacanya. Dari hasil pertemuan dan membaca karya-karya itu, para book buyer akan memesan buku-buku yang kira-kira akan dibelinya untuk kemudian dijual di toko-toko buku di kawasannya. Dari pemesanannya inilah para penerbit akan tahu seberapa banyak mereka harus mencetak untuk setiap judul.

Simonson bukan hanya chief book buyer di toko buku Elliott Bay. Seperti yang diutarakan Paula Bock dalam harian Seattle Times, Simonson begitu pentingnya bagi sastra dunia karena "para editor terkemuka dari New York meminta pendapatnya dan para penerbit Amerika mengirim manuskrip novel yang akan diterbitkan", karena mereka ingin buku-buku mereka tak hanya meledak di pasar, tapi juga diperhatikan kritikus. Simonson juga dikenal sebagai seseorang yang bakal memberi rekomendasi kepada para penerbit agar mengundang penulis yang dianggapnya berpotensi bakal besar. Nama seperti Salman Rushdie atau Orhan Pamuk diundang Simonson jauh sebelum karya mereka meledak di dunia. Simonson mengundang Amy Tan jauh sebelum The Joy Luck Club menjadi bestseller.

"Bukan hanya Kazuo Ishiguro atau Michael Ondaatje di masa awal karier mereka sebagai sastrawan, tapi juga Haruki Murakami sebelum dia dikenal betul di Amerika dan dunia, kami undang bicara di sini," kata Simonson kepada Tempo. Diskusi tak selalu diadakan di toko buku yang kini sudah pindah ke 10th Avenue Seattle di sebuah gedung bata merah yang luar biasa besar dan luas. Terkadang, jika Simonson menganggap pengunjung akan membeludak, dia akan bekerja sama dengan pihak lain yang memiliki ruangan yang lebih luas, seperti Seattle Asian Art Museum.

Simonson mengakui bahwa orang Amerika agak lamban menyadari pentingnya membaca karya sastra di luar sastra Amerika. "Bisnis buku Amerika untuk waktu yang lama sangat bisnis orang kulit putih," kata Simonson menyesali, "dan baru belakangan ada perhatian ke sastra Amerika Latin, lalu Afrika dan Asia."

Pada 1998, toko buku di Amerika memasuki era krisis. Amazon menjadi favorit para pembaca dunia. Jaringan besar seperti Borders tutup. Barnes & Noble, meski masih beroperasi, tak berani berekspansi lagi. Toko buku independen juga merasakan terjangan ini. Inilah masa-masa pembaca yang keranjingan memesan buku melalui online yang diperoleh lebih mudah dan murah. Pada saat itu, "Walter Carr menjual toko buku Elliott Bay ke Third Place Book Company," Simonson menuturkan.

Dengan runtuhnya jaringan toko-toko buku besar dan melejitnya Amazon dan Kindle tak berarti toko buku independen ikut terperosok. Pada akhirnya pembaca membutuhkan "kehidupan di luar dunia maya". Mereka membutuhkan sentuhan fisik sebuah buku dengan segala aromanya dan keasyikan memilih buku-buku di lorong-lorong rak toko buku yang lebih khas yang biasa disajikan toko buku independen. Teknologi, komputer dan dunia maya semakin membuat kita antisosial dan itulah sebabnya ledakan Amazon tak berlangsung lama. "Coba, mana pernah kita mendengar sebuah acara diskusi buku yang diadakan Amazon?" ucap Mark Haber, manajer toko buku independen terkemuka Brazos di Houston.

Toko buku Brazos di Houston, Malvern di Austin, Wild Detectives di Dallas, dan Elliott Bay di Seattle menyadari betapa pentingnya semakin memperbanyak acara yang berkaitan dengan buku yang tak mungkin bisa dinikmati melalui dunia maya.

Toko buku Malvern di Austin masih muda belia, baru saja didirikan beberapa tahun lalu setelah Joe Bratcher membeli sebuah lahan yang sebelumnya adalah toko yang menjual mainan dan buku pornografi. "Kami merenovasi dan mengisi toko ini dengan buku-buku sastra alternatif," kata Bratcher kepada Tempo. Sambil bergurau, dia memperlihatkan T-shirt yang digantung bertulisan "A Different Kind of Adult Book Store".

Dia bercerita, beberapa pengunjung datang dan terkejut bahwa isinya sudah berubah menjadi toko buku "serius". Joe Bratcher mengakui bahwa dia sengaja lebih banyak mengisi toko bukunya dengan buku yang diterbitkan penerbit independen, artinya yang di luar lima penerbit gigantik seperti Penguin Random House. Ia mengatakan toko buku independen mulai dibutuhkan lagi karena situasi industri buku cetak sudah membaik.

"Penjualan e-book mulai datar," kata Mark Haber. Brazos didirikan pada 1974 dan sudah berpengalaman mengikuti naik-turunnya industri buku.

"Ternyata Amazon dan e-book terbukti tidak mematikan buku cetak seperti yang diramalkan orang," kata Haber. Di toko buku independen yang populer di Houston itu, menurut Mark Haber, ada sekitar 250 penulis dunia dan Amerika yang diundang untuk mengisi acara diskusi dan pembacaan karya. "Dari nama-nama besar penulis Amerika seperti Raymond Carver, Junot Diaz, Tom Wolfe, hingga penulis internasional seperti Orhan Pamuk," kata Haber.

Sama seperti toko buku Malvern di Austin, Brazos yang berwarna merah bata dan terletak di Bissonnet Street itu juga mengutamakan mencari buku sastra, filsafat, sejarah, meski mereka masih menyajikan buku-buku sastra dari penerbit besar.

"Sastra internasional adalah passion saya, dan ini terlihat dari pilihan buku yang kami jual," kata Haber. Dia mengaku bahwa sebelumnya pembaca Amerika tak terlalu akrab dengan karya sastra dari luar Amerika. Tapi selera pembaca semakin berubah. "Staf kami selalu menuliskan rekomendasi di buku yang mereka sukai. Ini tradisi di toko-toko buku Amerika," kata Haber.

Kegemaran pembaca Amerika pada karya sastra internasional juga terlihat dari kunjungan pembaca yang penuh saat ada penulis yang datang. Toko buku Brazos mempunyai tradisi unik. Setiap kali seorang penulis datang, pada akhir acara dia akan diminta menandatangani kursi lipat yang biasa digunakan untuk pengunjung. Bayangkan betapa berharganya kursi-kursi mereka yang sudah ditandatangani nama-nama besar yang sudah pernah mengisi acara Brazos.

Rick Simonson, seperti halnya para manajer dan pemilik toko buku independen lain, tahu bahwa toko buku independen tak bisa hanya bergantung pada cara pemasaran tradisional. Selain harus ikut riuh di media sosial, mereka tahu para pembaca masa lalu dan sekarang memiliki satu hal yang sama: sangat terlibat dalam dunia yang dibacanya. Karena itu, dengan mengadakan diskusi, book-club, dan pemutaran film, toko buku akan terus-menerus menghidupkan dunia yang dibayangkan pembacanya. Itulah keunikan yang tak bisa diperoleh dari sekadar transaksi di dunia maya.

Leila S. Chudori (Austin, Dallas, dan Seattle, Amerika)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus