Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Beban seorang penderita AIDS

Aids kian sulit dibendung. di sini, biaya pengobatan yang harus ditanggung seorang penderita aids sampai meninggal, sekitar Rp 33 juta. jumlah penderita yang positif Aids, 175 orang.

11 Desember 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI AIDS sedunia, yang jatuh Rabu pekan lalu, hingga kini masih bergema. Di Jakarta hari AIDS ini diwarnai oleh berbagai kegiatan, baik oleh pemerintah maupun organisasi swasta. Kelompok Kreatif Indonesia biasa disebut Si Kancil menyelenggarakan Pekan Peduli AIDS '93. Untuk itu, mereka sampirkan spanduk besar berisi peringatan tentang bahaya AIDS di tembok Wisma Karsa Pemuda, Jakarta. Sementara itu, Kelompok Studi Khusus AIDS Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mengadakan simposium tentang penyakit yang merontokkan sistem kekebalan tubuh manusia ini. Semua kegiatan itu bermaksud menggugah masyarakat agar kesadarannya tentang bahaya AIDS (acquire immune deficiency syndrome), yang disebabkan oleh virus HIV (human immunodeficiency virus), meningkat. Perkiraan WHO (Organisasi Kesehatan Sedunia), di bumi ini ada 14 juta orang yang mengidap HIV dan 2,5 juta di antaranya positif terkena AIDS. Di Indonesia, penderita AIDS memang baru 175 orang, namun WHO memperkirakan, pada tahun 2000 jumlah itu akan melejit menjadi sekitar 5.000 orang dengan 50.000 pembawa virus HIV. Bila saja jumlah penderita AIDS bertambah, potensinya untuk menularkan wabah itu akan berlipat ganda. Tak syak lagi, ini sebuah ancaman serius. Dalam laporan Bank Pembangunan Asia, Thailand telah menderita rugi US$ 1,9 miliar akibat AIDS, termasuk akibat kehilangan tenaga kerja yang produktif sebagian penderitanya berusia 20 sampai 30 tahun (lihat: Kondom-AIDS-Thailand). Patut dicatat, di Negeri Gajah Putih itu, pengobatan untuk penderita AIDS disubsidi penuh oleh pemerintah. Berarti, obat dan pelayanan kesehatan, semua gratis. Sedangkan di Indonesia, biaya itu harus ditanggung oleh si penderita. ''Dana sebesar Rp 2,5 miliar yang diposkan untuk AIDS sebagian besar masih dipergunakan untuk pemeriksaan darah supaya aman dari AIDS,'' kata Dokter Suriadi Gunawan, Kepala Pusat Penelitian Penyakit Menular Departemen Kesehatan. Di Jakarta, ada enam pasien AIDS yang dirawat oleh Dokter Zubairi Djoerban dan 32 lainnya yang ditangani oleh Kelompok Studi Khusus AIDS FK UI. Mereka berumur 2641 tahun dan diperkirakan telah terjangkit HIV sejak 67 tahun lalu. Mereka berasal dari berbagai profesi. Ada tukang parkir, pedagang, pegawai negeri golongan III C, pengusaha, dosen, pramugara, artis, serta pelacur. Juga ada yang tanpa pekerjaan alias penganggur. Pendidikan mereka pun beragam, dari SD sampai sarjana. ''Penularan AIDS tidak bergantung pada profesi, tapi pada perilaku seksualnya,'' kata Dokter Zubairi. Berdasarkan pengalamannya sebagai dokter ahli darah dan AIDS dari FK UI, Zubairi memperkirakan, harapan hidup penderita rata-rata dua bahkan tiga tahun. Tapi kalau tanpa obat, hanya bisa bertahan enam bulan. Ada tiga jenis obat untuk mengurangi penderitaan pasien AIDS, yaitu AZT (Zidovudin), ddC (Zalcitabine), dan ddI (Didanosine). Ketiga obat tersebut sifatnya hanya memperpanjang harapan hidup, bukan menyembuhkan. Pada tahap awal, menurut Zubairi, pasien diberi dosis lima kapsul AZT sehari. Kalau ada efek samping, bisa dikombinasi satu minggu AZT dan satu minggu ddC atau ddI. Harga AZT Rp 5.000 per kapsul. Setelah 12 bulan, dosisnya dikurangi jadi tiga kapsul per hari. Itu berarti, dalam sebulan biaya untuk obat antivirus AZT, ddC, atau ddI sekitar Rp 450 ribu. Untuk obat dan perawatan, sebulan Rp 900 ribu sampai Rp 1 juta. Maka, ditaksir, total biaya keseluruhan sampai pasien meninggal bisa mencapai Rp 33 juta. Pasien yang berobat ke Dokter Zubairi semua menanggung biaya sendiri. Namun ada juga yang dibiayai oleh pasien lain, seperti tukang parkir. Sedangkan untuk memperoleh obat yang tidak ada di sini seperti ddI dan ddC, mereka mencari sendiri dengan menghubungi relasi di luar negeri. Zubairi mengimbau supaya pemerintah dan swasta menyumbang dana bagi penderita AIDS yang tidak mampu. Imbauan ini disambut positif, misalnya oleh Ikatan Persaudaraan Orang-Orang Sehati (IPOOS), yang anggotanya para gay. IPOOS, yang beranggotakan 400 orang itu, kini sudah mendirikan Yayasan Mitra Indonesia. ''Lewat yayasan ini kami akan memasok dana, antara lain untuk membantu rekan-rekan gay yang kena AIDS,'' kata Marcel Latuihamallo, Wakil Ketua IPOOS, kepada Juwarno dari TEMPO. Tampaknya, gerakan peduli AIDS dari kalangan swasta mulai berkembang. Dan ini cocok dengan tema hari AIDS sedunia saat ini, yaitu time to act atau ''sekarang saatnya bertindak.'' Gatot Triyanto dan Mukhlizardy Mukhtar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus