Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yuda Turana, dokter saraf Rumah Sakit Atma Jaya Pluit, dalam beberapa tahun terakhir kedatangan pasien yang mengalami masalah dengan ingatan. Usia mereka belum terlalu tua, 40-50 tahun. Mereka masih produktif dan seharusnya di usia seperti itu belum didera kepikunan.
Umumnya mereka mengeluhkan hal serupa, seperti lupa di mana meletakkan barang sendiri, susah mengingat obrolan yang belum lama terjadi, dan punya kebiasaan "ingat muka tak ingat nama".
Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan Yuda, sebagian di antaranya mengidap penyakit lupa karena mengalami masalah atensi, yang berhubungan dengan kemampuan seseorang menaruh perhatian terhadap sesuatu. Kurang perhatian, jadi tak ingat.
Pasien yang memiliki masalah dengan atensi kerap lupa karena sebenarnya belum menyimpan informasi sebagai data di memorinya. Maka, saat kenangan tertentu dipanggil kembali, si pasien biasanya bingung. Kondisi itu berbeda dengan mereka yang memang memorinya bermasalah.
Gangguan atensi, menurut Yuda, kerap mengintai kaum pekerja berusia produktif. Yang patut diperhatikan, mereka yang beban kerjanya menumpuk dalam satu waktu (multi-tasking) memiliki risiko lebih tinggi mengalami gangguan jenis ini. "Biasanya, saat diperiksa, fungsi kognitif otaknya normal. Tapi memang dia kena gangguan atensi karena otaknya overloaded," kata Yuda.
Hal ini juga terjadi jika orang mendapat informasi yang terlalu banyak dalam waktu singkat. Otak menjadi penuh dengan informasi (overloaded) sehingga membuang informasi yang dianggap tak penting karena tak mendapat perhatian tadi.
Gangguan atensi tak layak diremehkan. Jika dibiarkan berlarut dan tidak ditangani secara medis dengan tepat, hal ini bisa mengakibatkan seseorang mengalami depresi. Karena itu, yang paling baik dilakukan adalah menjalani pemeriksaan kognitif otak sehingga ditemukan solusi penanganan dan pencegahannya.
Pemeriksaan untuk melihat adanya gangguan atensi dilakukan dalam sejumlah tahap. Pada langkah pertama, dokter biasanya menanyakan riwayat kesehatan, gaya hidup, dan kebiasaan lupa si pasien. Setelah itu, pasien akan menjalani tes psikometrik dan non-psikometrik untuk mengetahui kemungkinan ia mengalami demensia—istilah medis untuk pikun.
Selama ini orang kerap mengecek kondisi dan kemampuan otaknya semata dengan tes magnetic resonance imaging (MRI) ataupun uji computerized tomography (CT) scan. Padahal kedua tes itu sekadar menunjukkan kondisi fisik otak dan tak berbicara apa pun soal fungsi dan kemungkinan otak mengalami degenerasi. "Hasil MRI satu-dua tahun tak beda jauh. Padahal yang lebih perlu dicek adalah fungsi otaknya," ujar Yuda.
Nah, ada atau tidaknya degenerasi fungsi otak baru bisa dilihat melalui tes psikometrik. Selain lebih murah karena tak memakai alat canggih, tes ini lebih tepat sasaran. Saat tes, pasien akan diminta mengingat sepuluh kata dan menyebutkannya kembali beberapa waktu kemudian. Pasien yang kemampuan kognitifnya masih baik biasanya bisa mengingat hingga delapan kata yang disebutkan. Selain itu, pasien diminta membuat gambar tertentu untuk simulasi.
Cara lain adalah dengan tes non-psikometrik, yakni ujian lewat alat penghidu dan respons pupil. Dalam penelitian doktoralnya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, yang berhasil dipertahankan dalam persidangan pada akhir Juni lalu, Yuda mengungkapkan bahwa deteksi non-psikometrik bisa jadi alternatif yang melengkapi deteksi pikun. Biaya deteksi yang idenya sudah diimplementasikan di luar negeri ini juga murah.
Saat menjalani tes non-psikometrik, pasien akan diminta mencium beberapa aroma yang lazim ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya bau melati, kopi, jeruk, dan minyak tanah. Jika fungsi memori otak si pasien baik, ia akan mengenali paling tidak 80 persen aroma yang didekatkan ke hidungnya. Menurut Yuda, penghidu diberi tugas mengecek beres atau tidaknya fungsi memori karena organ sensorik itu terkoneksi langsung dengan otak.
Selain dites lewat penghidu, dalam tes non-psikometrik, pasien akan dicek respons pupil matanya. Metode yang pertama kali dikenalkan ke publik pada 1994 ini dipandang obyektif untuk melihat proses degenerasi otak. Saat pasien penderita alzheimer menjalani tes, pupil matanya punya kecenderungan melebar sebagai respons terhadap cahaya.
Diatri Nari Lastri, neurolog lain dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, menyebutkan demensia (kepikunan) terdiri atas dua macam, yakni demensia alzheimer dan vaskuler (terkait dengan pembuluh darah). Sejumlah hal bisa jadi penyebab seseorang mengalami demensia, meski belum renta dan masih berusia produktif. Misalnya karena gaya hidup, pola makan, dan riwayat penyakit.
Pada banyak kasus demensia vaskuler, penyebabnya adalah pasien punya riwayat tekanan darah tinggi atau hipertensi, kencing manis, gangguan jantung, dan stroke. "Penyakit-penyakit itu memicu perubahan struktur pembuluh darah kecil di otak sehingga koneksi yang menyangkut memori terganggu," ucapnya saat ditemui di kantornya, Kamis sore pekan lalu.
Selain penyakit tertentu, ia melanjutkan, demensia bisa disebabkan oleh gaya hidup dan pola makan tak sehat, seperti merokok, kegemukan, dan terlalu banyak mengkonsumsi hidangan kaya lemak jenuh. Mengutip Journal of the American Medical Association Neurology, lemak jenuh bisa mengurangi jumlah apolipoprotein—senyawa kimia yang membersihkan protein beta-amiloid pada otak. Akibatnya, amiloid akan semakin banyak menumpuk di otak sehingga membentuk plak yang mengganggu fungsi saraf. Buntutnya, muncullah demensia.
Hingga kini demensia belum ada obatnya. Namun sindrom ini bisa dihindari dengan terus melatih kerja sel otak. Fungsi otak bisa ditingkatkan dengan berbagai cara sederhana, seperti bermain game di komputer ataupun telepon seluler, rutin olahraga, memperbanyak diskusi, sering membaca buku, dan tidak menumpuk pekerjaan dalam waktu yang berdekatan.
Menurut Diatri, mengendalikan faktor risiko adalah kunci penting untuk memperlambat pikun. "Proses mengingat juga mesti terus dilatih dengan cara repetisi," kata Diatri. Mengingat nomor telepon, misalnya, adalah kebiasaan baik yang justru kita tinggalkan saat ini. "Jangan karena sekarang alat teknologi informasi sudah canggih dan data apa pun mudah dicari kita jadi malas mengingat."
Isma Savitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo