Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agus Dermawan T.
Pada November 1980, di Gedung Senisono, Yogyakarta, digelar seminar komik yang diprakarsai pengarang Mira Sato (kini masyhur dengan nama Seno Gumira Ajidarma) lewat lembaganya, Pabrik Tulisan. Saya duduk sebagai pembicara bersama pengamat komik Arswendo Atmowiloto, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Permadi, SH, dan pengamat budaya pop, Ashadi Siregar. Dalam forum yang dipenuhi komikus se-Indonesia itu, Sie Jin Kwie (baca: Sie Jin Kui) karya Siauw Tik Kwie saya posisikan dan saya analisis sebagai salah satu komik terbaik di Indonesia.
Pembicara lain mendukung pengangkatan ini. Begitu juga ratusan pencinta komik yang hadir. Namun sejumlah komikus tidak setuju. Mereka mengatakan Sie Jin Kwie bukan komik Indonesia, melainkan komik Tiongkok. Saya jelaskan bahwa Siauw adalah seniman Indonesia. Siauw sangat dekat dengan kebudayaan Jawa. Ia bahkan seorang penghayat serta penulis buku filsafat Ki Ageng Suryomentaram. Sebagian penolak akhirnya berkata "ya". Sebagian lain tetap mengatakan "tidak" dengan mengusung alasan baru: tema yang diangkat adalah cerita Tiongkok, bukan Indonesia.
Jan Mintaraga, komikus top yang hadir dalam forum itu, berbisik kepada saya, "Siauw Tik Kwie didiskriminasi. Yang menolak adalah seniman-seniman yang sedang termakan sindrom anti-Cina." Adapun komikus Hans Jaladara, pencipta Panji Tengkorak, mendinginkan: "Biarkan semuanya mengendap. Sejarah akan berbicara sendiri." Siauw Tik Kwie, yang tidak sempat hadir dalam acara itu, berkata bahwa tanggapan yang beraroma politik tidak bisa diterapkan dalam penilaian karya seni rupa. "Tapi saya memang bukan siapa-siapa," ujarnya.
Siauw Tik Kwie tak bisa tidak adalah perupa Cina peranakan yang paling populer pada pertengahan 1950-an sampai 1960-an. Komik Sie Jin Kwie tidak hanya diakui sebagai "sastra dalam gambar" yang membius begitu banyak orang, tapi juga sebagai karya yang membuat komik-komik bikinan Cina peranakan lain yang sezaman merunduk. Kenangan pertempuran dan penilaian yang berlingkup Cina peranakan inilah yang agaknya membuat Sie Jin Kwie dan Siauw Tik Kwie seolah-olah eksklusif atau berada di luar konstelasi seni Indonesia—meski Cina peranakan sejatinya adalah Cina-Indonesia, atau Cindo, yang posisinya setara belaka dengan bumiputra.
Syahdan, pada pertengahan 1950-an memang muncul sejumlah komikus Cindo dengan karya yang lumayan menonjol, seperti Johnlo, yang mencipta komik hero Nina Putri Rimba dan Garuda Putih serta sempat membuat Raden Palasara dan Astina Pura. Itu adalah sederet komik wayang yang bagus, walaupun kelak dikalahkan oleh komik wayang R.A. Kosasih.
Pada masa itu, muncul juga komik Kapten Komet ciptaan Kok Ong, yang diterbitkan di Medan dan isinya mirip dengan Flash Gordon. Pada masa yang sama, juga muncul nama Kwik Ing Hoo, pencipta Wiro, Anak Rimba Indonesia dalam 10 jilid. Cerita Wiro yang ketangkasannya mirip Tarzan itu ditulis Lie Djoen Lim.
Di tengah-tengah gempuran komik hero itulah tiba-tiba Sie Jin Kwie muncul. Komik ini dimuat Star Weekly, majalah keluarga terpopuler, pada 1950-1960-an. Siauw adalah ilustrator di majalah itu. Adapun Sie Jin Kwie adalah jenderal besar pada era Dinasti Tang, kala kekuasaan Kerajaan Tang Toay Cung di bawah Kaisar Li Shi Bin. Legenda ini sampai sekarang masih setengah dipercaya sebagai sebuah fakta.
Sie Jin Kwie digarap Siauw dengan bantuan pengarang cerita silat terkenal OKT atau Oei Kim Tia, yang menerjemahkan cerita dari naskah aslinya. Siauw menggambarkan sisik-melik cerita itu dalam goresan halus, tajam, titis, dan gesit, dengan penguasaan anatomi yang matang, dengan chiaroscuro (gelap-terang) yang cerdas dan mempesona. Pengadeganan komik Siauw selalu tampak sangat imajinatif, filmis, dan realistis. Walaupun Siauw tak pernah melihat lokasi yang menjadi setting cerita itu di kawasan Kuilin, Tiongkok, Sie Jin Kwie tidak kalah dibanding komik karya seniman Tiongkok mana pun.
Pada masa itu, banyak komik karya Cindo lain yang tampil sebagai pesaing. Di majalah Pantja Warna, misalnya, ada seri komik silat Poei Sie Giok Pukul Loeitay karya Lie Ay Poen. Ceritanya memikat, sehingga beberapa kali difilmkan dengan melibatkan bintang film top, seperti Meng Fei, Alexander Fu Shen, dan Jet Li. Komik serial ini kemudian diteruskan dalam Runtuhnya Kuil Siauw Lim Sie. Tapi kepopuleran Sie Jin Kwie tidak tergoyahkan.
Atas kesuksesan Sie Jin Kwie, pengamat komik Marcel Bonneff menulis, "Komik itu patut dikutip di sini karena, selain mutu gambar Siauw Tik Kwie tinggi, tokoh itu berhasil mengalahkan kepopuleran Flash Gordon dan superhero lain. Itu sebagai salah satu bukti bahwa pengaruh Barat bukan tanpa kelemahan, dan dunia Asia (dalam hal ini Cina dan Indonesia) mampu menjadi sumber ilham bagi komikus. Sie Jin Kwie dapat dikatakan mempelopori komik silat…."
Komik Sie Jin Kwie terdiri atas 700 halaman dan dikerjakan sejak 1954 sampai 1961. Tujuh tahun! Dengan begitu, Sie Jin Kwie mencatat rekor terlama dalam penciptaan komik. Mengapa begitu lama? Ini disebabkan oleh sistem kerja yang dibikin Ouwyong Peng Koen alias P.K. Ojong, tokoh pers yang kemudian mendirikan harian Kompas. Sistem itu mempersilakan Siauw membuat komik secara berangsur: hari ini Siauw mencipta komik untuk edisi minggu depan, dan minggu depannya lagi untuk edisi minggu berikutnya. Begitu terus dorong-mendorong.
Pada 1963, PT Keng Po, penerbit Star Weekly, membukukan komik itu dalam beberapa jilid. Satu dekade kemudian, ada sejumlah penerbit yang diam-diam (karena takut dilarang) ingin merilis ulang dalam cetakan baru. Tapi upaya ini terhalang karena seluruh gambar asli komik itu konon sudah dibuang oleh Keng Po ketika pada 1966 muncul aksi antibudaya Cina. Sebagian orang percaya dan sebagian lagi tidak. Yang tidak percaya yakin gambar asli komik yang masing-masing berukuran plano (sekitar 65 x 95 sentimeter) tersebut disembunyikan kuat-kuat karena para saudagar Cina memiliki visi ke depan atas harta karun seperti itu.
Pada 1987, terjadi boom lukisan. Karya-karya seni lukis Siauw termasuk yang laku di pasar. Bahkan lukisan andalannya, yang bertema bunga seruni, mencapai harga puluhan juta rupiah selembar. Dari sini, muncullah hasrat melacak lagi gambar asli komik itu. Kehebatan komik dan ilustrasi Siauw berangkat dari kemampuannya membuat gambar satu warna dalam sketsa dan drawing. Penguasaannya atas bentuk dan pemahamannya atas karakter benda didukung sensibilitasnya dalam mengatur ruang dan kepekaannya terhadap volume. Kerinciannya dalam memperhitungkan perspektif selalu diiringi perjalanan garis yang sangat terlatih.
Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa potensi Siauw dalam gambar sulit dicari duanya di Indonesia. Garis-garisnya bermain luwes lewat tekanan-tekanan pensil yang berat dan ringan atau lewat runcing mopit (kuas cina). Selain sebagai penggambar satu warna sejati, Siauw mampu memasuki segala media.
Tidak sedikit lukisan pastel dan cat air yang dia ciptakan. Tapi yang terbanyak tentu saja cat minyak. Cat minyak memang mendatangkan keberuntungan bagi Siauw. Namun, pada pertengahan 1960-an, ia dipastikan menderita aplastic anemia atau sakit kekurangan darah merah. Penyakit ini muncul akibat terlampau banyak bergumul dengan cat minyak. Dokter lalu menganjurkan Siauw sama sekali tidak melukis dengan cat minyak. Siauw tentu saja terentak dengan eksekusi ini. Sampai akhirnya, pada 1972, penyakit itu menyerang hebat dan ia pun berurusan dengan rumah sakit selama sepuluh bulan.
Meski pada masa Orde Baru Siauw termasuk yang terimbas politik diskriminasi, ia memperoleh tempat terhormat dalam konstelasi seni rupa Indonesia. Sejak 1970-an, popularitasnya mungkin tidak semenjulang Affandi, Basuki Abdullah, S. Sudjojono, atau Nashar. Pada Maret 1988, Siauw jatuh sakit. Selama berminggu-minggu ia tergolek di tempat tidur sambil memandangi sejumlah lukisannya yang belum selesai: lukisan yang diangkat dari sketsa hasil kunjungan pertamanya ke Kuilin pada akhir 1987.
Pada 3 April 1988, Lee Man Fong, sahabat karibnya, meninggal. Tan Poen Nio alias Kartini, istri Siauw, meminta para pembesuk tidak mengabarkan kematian Man Fong ini. Namun, pada 14 April, kabar kematian itu bocor ke telinga Siauw. Komikus dan pelukis ini menarik napas panjang dan menangis. Telapak tangan kanannya dengan lemah menyentuh dahinya yang berkerut. Dua hari kemudian, 16 April, pencipta komik Sie Jin Kwie yang luar biasa itu ikut pergi ke alam baka.
*) Kritikus dan penulis buku seni rupa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo