LANJUTNYA usia orang Yogya sudah lama menarik perhatian. Umur penduduk di daerah ini rata-rata 70 tahun. Itu terungkap dalam beberapa kali sensus. Padahal, usia hidup di Indonesia kebanyakan sebatas 60 tahun. Karena itu, pihak Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta (Kanwil Depkes DIY) ingin tahu resep hidup sehat orang Yogya. Bekerja sama dengan Pusat Penelitian Gizi Departemen Kesehatan Bogor, kemudian mereka meneliti kebiasaan makan, budaya, dan usia orang Yogya. Penelitian sejak tahun silam itu dipusatkan di Kulonprogo. Di daerah ini ditemukan banyak manula alias manusia lanjut usia. Respondennya 160 orang tua usia di atas 60 tahun. Penelitiannya, yang belum lama ini selesai, menunjukkan bahwa mereka itu sehat bukan gara-gara santai dan makan gudeg -- makanan terkenal khas Yogya -- tapi karena beras merah dengan menu kacang-kacangan. "Hampir semua responden menyatakan terbiasa makan beras merah dengan lauk dari kacang-kacangan, seperti tempe," kata dr. Rochjat Soetarmo, M.P.H., Kepala Kanwil Depkes DIY. Dan dari wawancara intensif, terungkap pula bahwa mereka biasanya memulai bekerja -- seperti mencangkul di sawah atau tegalan -- sejak pagi hari. Seorang responden adalah Mangundikromo, 64 tahun. Ia menetap di Kelurahan Banjararum, Kecamatan Kalibawang, Kulonprogo. Ia tak tahu beras merah dan kacang-kacangan bisa memperpanjang umurnya. Setiap pagi pemilik sawah 1.300 m2 dan tegalan 900 m2 ini mencangkul dan membersihkan kebunnya. Ia "praktek" dari pukul 7 pagi sampai 11 siang. Kerja tadi bukan cuma dilakukan kakek 9 cucu yang rambutnya sudah putih ini. Para petani yang sebaya dia juga bekerja serupa. Sedangkan tugas rutin lain yang dilakukannya adalah mencari rumput untuk kambing dan sapi peliharaannya. Semangatnya masih bertahan segar. "Saya memang suka nasi dari beras merah," kata ayah 6 anak ini. Dua jenis padi -- berasnya merah -- yang namanya Molog dan Andel Lombok itu ditanamnya sendiri. Ia menyukai beras merah sejak 1940. Rasanya enak kalau lama ditimbun di lumbung. Bila makan nasi dari beras merah, kata Mangundikromo, lauk-pauknya hanya sayuran dicampur dengan tempe yang dipotong kecil-kecil saja. Misalnya sayuran bayam, gori (nangka), dan lain-lain, sering dicampur tempe. Sedangkan minumnya selalu air putih. "Karena keadaan sudah berubah, saya sudah tidak pernah lagi makan beras merah dan sayur kacang-kacangan," katanya. Tapi beras merah dan kacang-kacangan, menurut Dr. Ir. Slamet Sudarmadji, tidak bisa dikatakan memperpanjang umur manusia. "Kalau untuk mencapai umur optimal, itu mungkin bisa," kata ahli makanan dan gizi dari Universitas Gadjah Mada itu. Alasannya, tak ada satu pun makanan yang sempurna. Selain itu, umur manusia sebetulnya sudah ditentukan secara genetis. Tapi Slamet membenarkan, beras merah dan sayur kacangan memang menyediakan nutrien yang imbang dan cukup. Nutrien yang imbang, maksudnya, cukup mengandung protein. Dan makanan jenis kacang-kacangan paling tinggi proteinnya kalau dibanding dengan makanan nabati lainnya. Bila kacang diolah jadi tempe, nilainya sama dengan ikan. Sedangkan beras merah, selain ada proteinnya, juga mengandung vitamin B-12 dan vitamin B-1. Jika proteinnya tersedia cukup, tentu makanannya imbang. Kalau konsumsi nutrien itu imbang dan cukup, maka umur seseorang mungkin mencapai optimal. Kebalikan, bila makanannya yang tak berimbang, misalnya banyak mengandung kolesterol, bisa membuat orang tidak mencapai umur optimal. Di samping itu, menurut Slamet, salah satu penyebab kematian di Indonesia adalah karena kurang gizi -- seperti kurang makan, kurang sumber kalori, vitamin, mineral, atau salah makan. Dan kematian pada umur tidak optimal bisa terjadi karena kurang makan, salah makan, atau keracunan. Pengajar di Fakultas Teknologi Pertanian dan Pusat Studi Antar-Universitas (PAU) UGM itu bahkan menekankan, unsur "gizi" itu bukan satu-satunya penunjang umur manusia hingga batas optimal. Juga ada faktor lain, yaitu terbebasnya dari berbagai penyakit infeksi dan tidak kena penyakit fatal. "Kalau gizinya cukup tapi sering kena penyakit infeksi, tetap saja kematian tidak terhindarkan. Penyakit infeksi itu penyebab kematian terbesar di Indonesia," kata Slamet Sudarmadji. Rochjat membenarkan. Panjangnya usia rata-rata di Yogya tidak lepas dari status kesehatan di DIY yang tercatat paling baik di Indonesia. Status kesehatan ini, indikatornya antara lain dari angka kematian bayi dan usia harapan hidup rata-rata. Di Yogya, angka kematian bayi 27/1.000. Artinya, dari 1.000 bayi yang lahir, 27 bayi yang meninggal. Angka kematian bayi nasional 58/1.000. Ada beberapa aspek yang mempengaruhi rendahnya angka kematian bayi dan tingginya usia harapan hidup. Misalnya aspek perkembangan status kesehatan, peranan pelayanan kesehatan dalam mendukung peningkatan kesehatan, dan aspek prakondisi yang memungkinkan peningkatan status kesehatan. Status kesehatan yang baik, kata Rochjat, dipengaruhi faktor keturunan, perilaku, dan pelayanan kesehatan. Faktor keturunan pengaruhnya kecil, tapi perilaku cukup besar. Yang pengaruhnya besar adalah lingkungan alamiah dan lingkungan yang sifatnya bikinan manusia. Dan dari semua faktor itu, yang terpenting adalah pendidikan ibu. Merekalah yang menjaga kesehatan bayi dan mengatur menu makanan. Pendidikan wanita memang kunci semuanya itu. Menurut Rochjat Soetarmo, di wilayah DIY wanita ada di semua strata pendidikan -- dari SMP sampai universitas. Malah, katanya, di desa-desa pendidikan mereka minimal SD. Kalau begitu, usia panjang seseorang bukan karena melulu makan beras merah dan kacang-kacangan? Slamet Subagyo (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini