BELUM pernah Kampus Biru semeriah kali ini. Jalan raya yang membelah kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) itu ditutup untuk lalu lintas umum, Selasa pekan silam. Hari itu adalah puncak upacara Dies ke-40 universitas di Kota Yogyakarta. Pelengkap dari perayaan dan keriaan lainnya di antaranya berbentuk "Pasar Raya UGM" selama sepekan dan Gamaton 10 km. Tentu saja, ditambah dengan diskusi, ceramah, dan kegiatan ilmiah. Plus sejumlah umbul-umbul warna-warni. Segala suka cita seperti mau dituntaskan. Seolah-olah acara itu semua sekaligus sebagai sebuah pesta perpisahan buat Rektor UGM Prof.Dr. Koesnadi Hardjasoemantri. Hari-hari persiapan pengggantian rektor, memang, sudah tiba. "Penentuan namanya sudah ada di tangan Presiden Soeharto," kata Menteri P & K Fuad Hassan. Sebuah sumber menyebutkan, Prof. Moch. Adnan, guru besar pada Fakultas Teknoloi Pertanian UGM, sebagai calon kuat pengganti Koesnadi. Dan, Koesnadi, 63 tahun, sudah mempersiapkan diri untuk pensiun. Bahkan, ketika sejumlah mahasiswanya unjuk rasa demi mempertahankannya sebagai rektor, malah Koesnadi menenangkannya. "Siapa pun nanti yang diangkat, yang pasti, orang UGM," katanya. Pada puncak dies, Koesnadi menimpali segala keriuhan pesta itu dengan pidato laporan tahunan yang teksnya tertulis dalam bentuk buku 171 halaman. Kata Koesnadi, di antara yang akan dilakukan UGM mulai 1990 adalah pemberian Anugerah Sultan HB IX kepada seseorang atau lembaga yang berjasa dalam pengembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan kemanusiaan. Yogya dan Universitas Gadjah Mada bagaikan dua sisi dari sebuah koin. Keduanya saling mendukung, saling memberikan identitas. Semua orang setuju bahwa Keraton Yogya barangkali akan sekadar menjadi sebuah pelengkap obyek wisata, kalau proses kelahiran RI tidak ikut ditentukannya. Tapi, tugas sejarahnya tidak berhenti di situ. Sri Sultan Hamengkubuwono IX (Almarhum) juga ikut mewarnai perkembangan UGM. Bantuan fisiknya, antara lain, betapa, dulu, Sri Sultan dengan suka rela menyediakan sebagian dari halaman dan bangsal keratonnya (di antaranya Pagelaran dan Kompleks Mangkubumen) untuk ruang-ruang kuliah dari sebagian fakultas di UGM, seperti Fakultas Hukum dan Fakultas Sosial Politik. Kawasan kampus sekarang pun (sekitar delapan hektare), yang menyatukan seluruh fakultas di UGM, sebagian tanahnya milik keraton. Sebaliknya, UGM telah ikut mewarnai Yogya sebagai kota yang berwarga sangat heterogen, karena banyak pemuda -- dari pelbagai suku bangsa di negeri ini -- melanjutkan kuliah di sana. Kota itu telah menjadi romantik, sebagai tujuan perantauan menuntut ilmu, yang pada awalnya, karena ada Universitas Gadjah Mada. Maka, tidak berlebihan kalau pada pertemuan ilmiah "Peringatan 100 Tahun Prof. Sardjito" ada kesimpulan bahwa UGM adalah universitas nasional, universitas pemersatu bangsa. Sejak masa Prof. Sardjito memimpin UGM, kampus ini memberi kesempatan kepada para pemuda dari pelbagai daerah. Dan, ternyata, banyak dari mereka kembali ke daerah masing-masing, bekerja di pemerintahan daerah. Tapi, ketika di luar Jawa banyak bertumbuhan kampus baru, jumlah mahasiswa dari seberang sempat menyusut, sampai hanya 4,4% pada 1987. Untunglah, pada 1988, naik lagi jadi 15,2 persen. Pada 1989 sama besar. "Tapi, belum mewakili semua provinsi di luar Jawa," kata Koesnadi. Otonomi penerimaan mahasiswa, yang diberikan Departemen P & K bagi Perguruan Tinggi Negeri, memungkinkan UGM menciptakan pola baru, demi citranya sebagai universitas nasional. Kata Koesnadi, mulai 1990, UGM akan menggunakan sistem Penjaringan Bibit Unggul Daerah (PBUD), di samping tetap ada ujian tertulis. Dengan PBUD, setiap provinsi akan memiliki jatah untuk mengirimkan bibit unggul masing-masing, yang kriterianya akan ditetapkan oleh rektor. Kebijaksanaan ini akan melibatkan para Pengurus Daerah Kagama (Keluarga Alumni Gadjah Mada), yang akan bekerja sama dengan Kanwil P & K setempat. Anggota Kagama yang tercatat berjumlah 40 ribu orang, sekarang ini, tersebar di 27 provinsi. Ketua Kagama adalah Koesnadi sendiri, yang sudah menjabat selama dua periode. Melihat sejarahnya, tidak mengherankan jika basis Kagama sedemikian kuat di daerah. Menurut Prof.Dr. Umar Kayam, salah seorang guru besarnya, yang paling wigati dari kewibawaan UGM adalah komitmennya terhadap masalah-masalah desa dan pedesaan. Kemudian, semangat ini ikut mendasari terbentuknya Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan (P3PK). Disusul dengan Pusat Penelitian Kependudukan (PPK), Pusat Penelitian Kebudayaan, Pusat Penelitian Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PPKLH), dan Pusat Penelitian Perencanaan Pembangunan Nasional (P3PN). Satu lagi, Pusat Penelitian Obat Tradisional (PPOT). Selain dari UGM, memang, pada akhirnya lembaga-lembaga ini lebih banyak mengandalkan dana kegiatannya dari bantuan luar, sering berupa permintaan penelitian. Bisa begitu, karena anggaran penelitian P & K sudah diperkecil. Pada perkembangannya, hanya P3PK dan Pusat Penelitian Kependudukan yang dianggap memiliki daya tarik bagi dana luar negeri atau penelitiannya langsung bermanfaat bagi sebuah proyek. Sementara itu, penelitian yang diminta oleh UGM sendiri tetap jalan juga. Apalagi memang landasannya, seperti kata staf Kantor P3PK Dra. Ani Rahayu, "Secara akademik, lembaga ini untuk jembatan antarfakultas, multidisipliner, supaya tidak terkotak-kotak." Konsep KKN (Kuliah Kerja Nyata) juga berawal dari kampus yang berpusat di Bulaksumur ini. Adalah UGM -- sekarang mahasiswanya berjumlah 31.496 orang dan dosennya dua ribu orang -- yang pada 1971, ikut merintis (bersama Universitas Andalas dan Universitas Hasanuddin) mengirimkan mahasiswa ke pedesaan, sebagai bagian dari pengabdian masyarakat. Pada 1979, kegiatan itu masuk kurikulum. "Tak ada satu pun mahasiswa UGM yang lulus tanpa KKN," kata Koesnadi. Ada lagi konsep berorientasi pedesaan yang dibakukan secara nasional. Yakni BUUD (Badan Usaha Unit Desa) yang kemudian diubah adi KUD (Koperasi Unit Desa). Gagasan ini ditawarkan ke Pemerintah oleh Ir. Soedarsono (Almarhum), orang UGM yang kemudian Jadi Menteri Pertanian. Kecuali itu, masih ada yang terwujud melalui UU Pokok Agraria, bank perkreditan rakyat yang menjadi lembaga dana kredit pedesaan, dan konsep Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Belum ada penelitian yang berani menyebutkan bahwa orientasi ke desa itu ikut ditentukan oleh latar belakang mahasiswanya, yang mayoritas berasal dari golongan menengah ke bawah. Pada 1987, mereka berasal dari keluarga pegawai negeri 57,77 persen, dari kalangan petani/buruh 14,47 persen. Tahun berikutnya, posisinya menjadi 58,70 persen dan 5,70 persen. Selebihnya, dari lingkungan pedagang, ABRI, pegawai swasta. Kendati begitu, dalam kegiatan panggung politik, mahasiswa UCM tidak ketinggalan, dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di Jakarta ataupun Bandung. Bahkan, boleh dibilang, kampus dengan boulevard memanjang di bawah desauan cemara itu sempat jadi basis kuat bagi HMI dan GMNI. Tapi, di bawah kepemimpinan Koesnadi, mereka relatif lebih tenang. "Kegiatan apa pun, perlu diayomi oleh rektor," kata Koesnadi. "Tanpa kecuali, apa itu mimbar bebas, silakan. Asalkan jangan menggunakan kata-kata vulgar. Nyatanya, UGM dan Yogya tidak pernah resah." Koesnadi benar. Momahad Cholid dan Slamet Subagyo (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini