Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Syafiq Hasyim*
TULISAN Tri Susanto dalam Buletin Canopy (1988) Universitas Brawijaya, yang melansir data makanan dan minuman yang tercemar barang haram, menggemparkan umat Islam. Dampak artikel ini menurunkan omzet makanan dan minuman di Jawa Timur sampai 80 persen. Situasi ini ditanggapi Majelis Ulama Indonesia dengan mendirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) setahun kemudian.
Para pengurus awal LPPOM didominasi kaum cendekia muslim modernis, seperti Amin Aziz, Jimly Asshiddiqie, dan Peunoh Daly (ahli fikih dari IAIN Jakarta dan Muhammadiyah). LPPOM dirumuskan sebagai lembaga yang berorientasi pada studi dan riset barang konsumsi dan menformulasikan konsep produksi, komodifikasi, serta utilisasi produk halal. Tidak mudah bagi lembaga baru ini untuk bergerak, bahkan hampir pada titik la yamutu wa la yahya-tidak mati tidak pula hidup.
Banyak pihak cuek, bahkan tak peduli. Namun, ketika LPPOM kini menjadi kuasa, banyak pihak terpana. Menurut MUI (2011), jumlah barang tersertifikasi halal mencapai 75.514 dengan kisaran biaya Rp 2,5-5 juta per produk. Sebagai gambaran, pada 2009 barang yang disertifikasi berjumlah 10.550, pada 2010 naik 100 persen menjadi 21.837. Menariknya, semua ini terjadi ketika LPPOM masih belum bermandat hukum. Jika dalam keadaan sukarela saja peran LPPOM begitu kuat, apalagi nanti ketika punya mandat hukum.
Meskipun proyek halalisasi-meminjam Johan Fischer (2008) yang menulis isu halal di Malaysia-tidak berakar pada praktek tradisi Islam klasik, secara teoretis pendirian LPPOM tetap dapat dibenarkan. Pertama, setiap muslim berhak atas informasi barang yang mereka konsumsi dan gunakan. Kedua, sebagai lembaga umat, MUI berhak memperjuangkan masalah umatnya.
Studi antropologi membuktikan pentingnya masalah itu lewat diskursus purity & impurity. Secara umum kajian tersebut menyatakan watak orang beragama ditakdirkan selalu mencari dan memastikan hal yang dikonsumsi tak menghalangi keintiman mereka dengan Tuhan. Menurut Mary Douglas dalam Purity and Dangers: An Analysis of Concepts of Pollution and Taboo, kemurnian dan ketidakmurnian tak bisa padu. Badan kita butuh bersih dari polusi jika kita ingin dekat dengan Tuhan. Douglas Davies, dalam Anthropology and Theology (2002), berdalih kerewelan orang beragama soal "purity" itu disebabkan oleh masalah ini dengan soal supernatural presence. Studi di atas tak hanya menggambarkan kalangan muslim, tapi juga nonmuslim.
Prosedur pengajuan sertifikasi halal yang diatur LPPOM sebenarnya lumayan jelas. Upaya ini patut dihargai karena paling tidak LPPOM ingin menjadi pemberi sertifikat halal yang kredibel dan profesional. Mereka juga melengkapi diri dengan saintis dan laboratorium di samping juga mufti. Proses verifikasi, halal-audit, dan deliberasi ide lewat Komisi Fatwa yang ditempuh menunjukkan LPPOM bekerja bukan asal stempel.
Kurangnya, lembaga ini tidak transparan ke publik. Alasannya, publik bukan pelanggan, jadi untuk apa mereka tahu. Pandangan demikian perlu dikoreksi karena publik berhak tahu apa pun yang mereka kerjakan, terutama karena MUI adalah khadimul ummah dan mendapat sokongan uang negara. Prinsipnya, jangan menunggu masyarakat bertanya baru memberi tahu, tapi beri tahu dulu sebelum mereka ingin tahu. Jika tahu, publik bisa mengontrol LPPOM dan kliennya, termasuk soal biaya tinggi dalam pengurusan sertifikat halal.
Ketika saya konfirmasi soal ini, salah satu pemimpin MUI menjawab produsen menggunakan jasa pihak ketiga. Mereka seharusnya berurusan langsung dengan LPPOM, datang dan daftar sendiri. Namun kesalahan juga ada pada LPPOM. Jika sudah tahu akan masalahnya, seharusnya LPPOM menolak pengurusan sertifikat halal lewat pihak ketiga. Jika ini tidak dilakukan, LPPOM bisa dikesankan melakukan pembiaran. Di sinilah skandal itu tercipta.
Skandal bisa terjadi pada tahapan halal-audit, pemeriksaan saksama pada proses produksi. Secara konsepsi, halal-audit adalah langkah profesional. Tapi audit bisa cacat jika dijadikan sebagai ruang negosiasi. Amalgamasi otoritas keagamaan, kepentingan dagang, serta nihilnya internal ethics of conducts menyebabkan terjadinya perselingkuhan agama dan ekonomi. Kalangan sosiolog menyebutnya komodifikasi Islam. Seharusnya LPPOM meniru Komisi Pemberantasan Korupsi, membuat aturan yang jelas dan terbuka soal gratifikasi.
Audit-visit ke luar negeri lebih memungkinkan terjadinya skandal dibandingkan dengan hal yang sama di dalam negeri. Di negara maju, seperti Jerman, Australia, dan Amerika, banyak halal-certifier agencies yang membutuhkan "authority" dari local halal certifier negara tujuan ekspor. Pola kerjanya: foreign halal certifier akan menghubungi local certifier yang otoritatif di negara tersebut. Untuk Indonesia, mereka merujuk LPPOM karena, meskipun bukan lembaga resmi-negara, adalah satu-satunya penerbit izin sertifikasi. Untuk mengabulkan proposal foreign halal certifier, LPPOM harus melakukan verifikasi dan audit lapangan pada lembaga tersebut.
Sudah menjadi rahasia umum, para pemimpin MUI yang biasanya berangkat ke luar negeri karena ini dianggap sebagai pekerjaan penting. Pihak foreign halal certifier pun merasa tersanjung karena yang datang adalah elite MUI. Pelayanan istimewa pun wajar disiapkan mereka dengan harapan bisa berbuah pada gampangnya penerbitan izin sertifikasi mereka. Jika proses seperti ini terus berjalan, skandal dan penyalahgunaan sangat mungkin terjadi.
Pengaturan halal-haram adalah fenomena universal tapi menjadi hal krusial ketika sampai pada "siapa yang berhak mengaturnya". Di sinilah MUI dipermasalahkan karena selama ini bertindak sebagai penerbit sertifikat halal tunggal. Kelompok civil society lain seharusnya ikut bertarung dalam lapangan ini. Sayangnya, Muhammadiyah tidak tertarik. Nahdlatul Ulama baru tertarik belakangan ketika LPPOM sudah solid.
Sebenarnya kita bisa menggunakan loophole skandal di atas untuk pengaturan halal yang lebih baik. Pertama, negara harus ikut mengambil jalan penyelesaian masalah ini lewat penyusunan regulasi, bukan penanganan langsung, soal siapa yang berhak mengeluarkan sertifikat. Prinsip pertama yang harus dipegang dalam regulasi, sertifikasi halal tidak boleh dimonopoli oleh satu lembaga.
Di sini, secara etis, MUI sebaiknya menghentikan wacana tentang keharusannya sebagai penerbit tunggal akta halal. Dengan alasan apa pun, wacana ini tidak masuk akal dan naif. MUI harus legawa menerima jika lembaga lain, seperti NU dan Muhammadiyah, turut melakukan sertifikasi halal. Lalu bagaimana menghargai investasi MUI selama ini? MUI harus dihargai dengan tetap memberi izin sebagai salah satu halal-certifier dari pelbagai halal-certifier yang ada.
Kedua, dari sudut hukum Islam, sertifikat halal itu sama dengan fatwa halal, karenanya beragam fatwa dan mufti tidak ada masalah. Sejarah Islam membuktikan bahwa mufti tidak harus satu, tapi bisa berbilang jumlah, sesuai dengan kecenderungan aliran hukum Islam. Justru keadaan ini membuat umat bisa memilih fatwa dan mufti mana yang mereka pandang kredibel. Ketiga, operator sertifikasi halal sebaiknya berbadan hukum profit agar bisa membayar pajak kepada negara.
Akhirulkalam, reaksi yang terbaik bagi MUI dalam menghadapi prahara halal adalah reformasi internal. Jadikan ini sebagai momentum bersih-bersih karena di mana pun lembaga agama harus bersih. MUI tidak boleh melindungi oknumnya yang melakukan malpraktek dan tidak boleh mengorbankan MUI untuk kepentingan pribadi.
Di Jerman, beberapa bulan lalu, Uskup Franz Peterz Tebartz van Elst dari Limburg diduga menggunakan 31 juta euro uang gereja untuk membangun rumah dinasnya yang bak istana. Momen ini langsung dijadikan publik Katolik di Jerman untuk menguliti uskupnya dan lemahnya pengawasan gereja. Jadi, bila di Indonesia reaksi serupa terjadi pada dugaan gratifikasi pengurus MUI, jadikan itu sebagai cermin untuk mawas diri. Saya berharap MUI ke depan lebih baik. l
*) Meraih gelar Dr Phil dari Excellent Initiative Program Berlin Graduate School Muslim Cultures and Societies, Freie Universität, Berlin, dan Rais Syuriah PCINU Jerman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo