SIMBOL keteguhan itu bernama Lance Armstrong. Atlet berusia 29 tahun ini sudah teruji sebagai kampiun balap sepeda sejagat. Pekan lalu, Armstrong mencetak hat-trick, tiga kali berturut-turut menjuarai turnamen balap sepeda tahunan yang paling bergengsi di seantero dunia, Tour de France. Tak hanya berjaya di arena olahraga, sosoknya kerap dijadikan teladan dalam dunia kedokteran karena kemenangannya dalam arena perjuangan melawan kanker.
Melihat penampilannya kini, mungkin orang tak pernah menduga bahwa lima tahun silam hidup pembalap yang dijuluki "anak emas Amerika" itu seolah sudah di ujung tanduk. Tepatnya 2 Oktober 1996, Armstrong, yang ketika itu sedang berada di puncak karir, terdeteksi menderita kanker testikel tahap lanjut. Selain menggerogoti testis atau buah zakarnya, kawanan sel kanker berbiak dan menyebar luas ke berbagai organ penting, yakni paru-paru, lambung, dan bahkan otak. Para dokter menduga, deteksi yang telat sedikit saja bakal mengirim sang atlet kepada kematian. Walhasil, Armstrong beralih arena reli dari balap sepeda menuju pertarungan melawan kanker. "Prioritas pertama saya adalah berjuang untuk hidup," kata Armstrong saat mengumumkan kondisinya kepada pers.
Spekulasi pun merebak seiring dengan pengumuman Armstrong. Berbagai media menduga kanker ini berkaitan dengan kebiasaan atlet mengonsumsi obat-obatan perangsang. Armstrong tegas-tegas menyangkal kecurigaan ini dan bersedia melakukan tes untuk membuktikan dirinya bersih dari doping.
Armstrong, yang kini sedang menanti ke-lahiran putri kembarnya, mengakui bahwa sebetulnya kanker tidak datang mendadak. Sejak awal 1992, dia sudah merasakan ada yang tidak beres pada salah salah satu testisnya. Ukurannya lebih besar dibandingkan dengan yang lain, sering terasa nyeri, dan meradang. Belakangan, Armstrong juga kerap sakit dada dan batuk darah seusai merampungkan sebuah turnamen. Namun, segala keluhan ini tak dia gubris. Sebagai atlet, Armstrong merasa wajar sesekali diterpa kondisi tubuh seperti itu. Turnamen dan latihan keras terus ia jalankan.
Sampai akhirnya, Armstrong pergi ke dokter setempat. Awalnya, dokter menduga atlet ini hanya terkena infeksi yang disebut epididymis. Namun, pemeriksaan lanjutan menunjukkan Armstrong terkena kanker testis yang sudah serius. Dengan terapi yang intensif, dokter memperkirakan Armstrong hanya berpeluang hidup 50 persen.
Maka, dimulailah babak perjuangan merebut peluang yang 50 persen tadi. Armstrong menjalani bedah testikel di Rumah Sakit St. David, Austin, Texas, AS. Selain untuk mengambil jaringan kanker, operasi testikel bertujuan menentukan sifat kanker dan memastikan pola pengobatan kemoterapi yang tepat.
Selanjutnya, Armstrong menjalani empat serial kemoterapi di RS Universitas Indiana, yang peralatannya lebih komplet. Sel-sel kanker yang tersebar di paru-paru dan lambung digempur dengan obat-obatan kimia. Tentu saja, layaknya pasien kemoterapi, Armstrong merasakan efek samping seperti rasa mual, nafsu makan turun, dan rambut rontok. Tapi Armstrong tak gentar. "Saya terlalu sibuk untuk diganggu kanker," katanya. Armstrong terus berlatih mengayuh sepeda, 30 mil per hari, untuk menjaga stamina dan kepiawaian berbalap sepeda.
Tak lama kemudian, Armstrong kembali masuk ruang bedah. Operasi kali ini bermaksud mengambil jaringan kanker yang berbiak di otak Armstrong. Operasi pun sukses. Armstrong muncul di hadapan pers dengan tutup kepala untuk menyembunyikan bekas operasi dan kepalanya yang botak total.
Sementara itu, datang pukulan yang tak terduga. Cofidis, perusahaan Prancis yang menjadi sponsor utama balap sepeda Armstrong, memutuskan kontrak. Cofidis menilai sang atlet tak lagi ideal sebagai ladang emas karena masa kejayaan Armstrong segera berujung.
Ternyata, Cofidis keliru. Dengan tekad tinggi, Armstrong tidak mau begitu saja takluk di hadapan kanker. Kondisinya berangsur membaik. Dan pada 1997, dokter memastikan kanker sudah terkuras dari tubuhnya. Mengingat kanker sudah menyebar ke paru-paru dan otak, kesembuhan ini terasa betul-betul mengagumkan. "Ini keajaiban," kata Bruce Roth, anggota tim dokter Universitas Indiana yang menangani Armstrong. Meskipun demikian, pemeriksaan rutin tiap bulan tetap harus dilakukan sampai kini guna mencegah kembali beraksinya sang kanker.
Nah, tergusurnya kanker mengantar Armstrong kembali berlaga di Tour de France pada 1999—kali ini dengan sponsor baru, US Postal Service, dan dengan bayaran yang lebih murah. Tak dinyana, sang jagoan sanggup meraih posisi puncak, yang terus diulang hingga tiga kali berturut-turut. Total jenderal, ditambah gelar tahun 1993 dan 1995, Armstrong menggenggam lima gelar juara Tour de France. Armstrong pun mengukuhkan diri sebagai atlet kebanggaan Amerika.
Dan bukan sekadar Amerika yang berbangga. Menurut Akmal Taher, ahli urologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Armstrong adalah sosok yang menjadi simbol dan inspirasi bagi kalangan medis. Slide mengenai atlet ini hampir selalu diputar untuk membangkitkan semangat pasien penderita kanker testikel. "Perjuangan Armstrong membuktikan bahwa kanker bisa ditaklukkan," kata Akmal.
Memang, secara medis, kanker testikel dikenal sebagai kanker yang bisa disembuhkan (curable). Namun, peluang kesembuhan terus menurun seiring dengan bertambahnya kadar keganasan dan sebaran kanker. Mengenai Armstrong, Akmal yakin, bukan semata-mata obat yang berperan dalam kesembuhannya. Lebih dari obat, Armstrong punya sikap positif yang kuat, tekad untuk sembuh, dan stamina yang terjaga. Walhasil, bukan sekadar sembuh, Armstrong pun sanggup kembali pada penampilan puncaknya.
Kasus Armstrong juga membawa pesan bahwa kanker testikel bisa terjadi pada pria mana pun, yang rajin berolahraga sekalipun. Dan seperti halnya semua jenis kanker, penyebab kanker testikel belum diketahui persis. Otomatis, tak ada pula kiat khusus untuk menangkal kanker testikel. Akmal merujuk pada Armstrong yang dikenal menganut gaya hidup yang sehat itu. Tubuhnya pun sangat fit dan sehat. "Toh, dia tak bisa lolos dari kanker," kata Akmal.
Lebih lanjut, Akmal menyarankan agar para pria lebih waspada dan mengenali tubuhnya. Testis yang membesar, terasa sakit, dan terkadang disertai peradangan menandakan adanya hal yang tidak wajar. Pembesaran sekitar 5 sentimeter, misalnya, boleh jadi menunjukkan kanker yang sudah bergerak menuju stadium II.
Selain itu, Akmal menganjurkan agar para orang tua lebih teliti memantau perkembangan anak lelaki. Si buyung yang testisnya tidak turun (undescended testis) perlu segera diperiksakan ke dokter. Soalnya, testis yang tidak turun menyulitkan pemantauan kesehatan testis. Berbagai riset juga menyebutkan, laki-laki yang testisnya belum turun berisiko 30 kali lipat terkena kanker dibandingkan dengan mereka yang normal.
Mardiyah Chamim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini