Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Marilah bertandang ke rumah Mathias Muchus di Bintaro Sektor 8, Jakarta Selatan. Rumah mungil aktor layar lebar ini terletak di salah satu pojok kompleks River Park. Tanpa pagar. Di samping rumahnya terparkir Jeep Wrangler. Motor trail Yamaha 250 cc tercagak di bawah kanopi.
Pintu rumahnya tak terkunci. Yang pertama terlihat adalah sepeda merek Look buatan Prancis. Warnanya hitam. Penempatannya terlihat mencolok, di ruang tengah. Agaknya, kendaraan ini lebih istimewa daripada jipnya yang terjemur di terik matahari.
Muchus memang pencinta sepeda. Dia merawatnya sungguh-sungguh. Sepeda selalu mengkilap. Suhu ruangan untuk si Look ini diatur dengan pendingin udara. ”Agar dia tak cepat rusak. Suhunya jangan terlalu panas dan tak terlalu dingin,” katanya kepada Tempo, yang menyambangi rumahnya, Selasa pekan lalu. Di ruang tamu yang menyatu dengan ruang makan, tak banyak benda. Ada kursi tamu, rak buku, dan televisi.
Dia bilang, sepedanya sebagai hasil karya seni. ”Lihatlah betapa seksinya,” kata pria 40 tahun ini. Muchus suka sepeda sejak 1998. ”Semula saya tertarik melihat tetangga yang menggenjot sepeda merah,” katanya. Lalu dia pun ke toko dan membeli satu. ”Kaget juga saya, kok harganya jutaan. Saya kira cuma ratusan ribu,” kata suami sutradara Mira Lesmana ini.
Sepeda pertamanya bermerek Cinelly, yang dibeli dengan harga Rp 2,2 juta. Sejak itulah dia mengakrabi sepeda. Setelah bosan menggejot Cinelly, ia berganti merek Coppi, dan terakhir Look. ”Saya cocok dengan ini,” katanya.
Pencinta sepeda seperti Muchus ini kini semakin banyak di Jakarta. Klub bersepeda juga bertaburan. Ada yang mengkhususkan diri pada sepeda gunung, juga sepeda jengki yang antik. Kini juga mulai berkembang kelompok yang gemar mengayuh si kereta angin menuju kantor alias bike to work. Kelompok inilah yang beraksi pada Sabtu dua pekan lalu. Setidaknya, 600 sepeda meramaikan jalan protokol. ”Mereka datang dari berbagai penjuru Jakarta,” kata Tekad Adyono, sekretaris Bike to Work.
Sejak pukul 07.00, rombongan sudah berkumpul di Balai Kota. Selanjutnya mereka melalui Jalan Thamrin, berputar di Bundaran Hotel Indonesia dan kembali lagi ke Balai Kota. Tiga jam kemudian acara ini selesai, lalu bubar.
Pengayuh kereta angin yang bergabung adalah pekerja yang suka bersepeda ke kantornya. Tekad juga begitu. ”Setidaknya tiga kali sepekan saya bersepeda ke kantor,” kata pemilik sepeda Scott itu. Dia mengontel dari rumahnya di kawasan Tebet menuju ke kantornya, Radio Indika, di Jalan Gatot Subroto. ”Lima belas menit perjalanan,” katanya.
Menurut Tekad, para pekerja bersepeda biasanya terbagi dalam beberapa kelompok sesuai dengan daerah pemukimannya. Misalnya, yang tinggal di Pondok Kelapa akan berada satu kelompok penyepeda. Begitu juga yang berada di Bintaro, Rawamangun, dan Kalimalang. Tujuannya agar ada teman seperjalanan.
Salah seorang pengayuh sepeda dari Bekasi adalah Cepi S. Husada. Salah satu manajer pemasaran McDonald’s Indonesia ini bersepeda dari rumahnya di Rawa Lumbu, Narogong, Bekasi, ke kantornya di Plaza Bapindo Citibank Tower, Jalan Sudirman. Jaraknya kira-kira 30 kilometer. Dia bersepeda seminggu dua kali, selebihnya dia menunggangi Toyota Kijang.
Cepi mulai menyukai sepeda sejak 2001. Semula sepeda gunung yang dibelinya Rp 1,7 juta hanya dipakai kapan dia suka. Dua tahun kemudian barulah dia bersepeda ke kantor. ”Mula-mula hanya coba-coba. Eh, enak juga, jadi nggak macet,” katanya.
Ternyata bersepeda tak secapek yang diduganya. Bahkan ada keuntungan lain: badan jadi bugar dan semakin banyak teman. Kini Cepi punya teman 18 penyepeda di kompleks perumahannya. Bahkan di kantor dia juga punya kelompok penyepeda. ”Ada delapan orang,” katanya. Di antaranya B. Sumitro, Senior Manager Human Resources and Employee Relation McDonald’s Indonesia.
Sepeda Cepi bermerek Scott Hard Trail buatan Amerika Serikat. ”Ini saya rakit sendiri,” katanya. Dia menghabiskan uang Rp 12 juta untuk membangun sepeda. Semua perlengkapan sepeda disesuaikan dengan kebutuhan. ”Pokoknya saya perlu sepeda yang andal dan enteng saat dikayuh.”
Ketika bike to work, dia selalu mengenakan pakaian khusus bersepeda, yaitu jersey, pakaian yang cepat menyerap keringat. Tak lupa juga memakai helm, masker, dan kacamata. Pakaian kerja dan perlengkapan kantor serta jas hujan dimasukkan ke ransel antiair. Dia pun membawa sebotol minuman mineral dan perlengkapan untuk mandi di kantor.
Cepi biasa berangkat pukul 05.30. Kelompok Bekasi seperti Cepi ini bersepeda di jalan tak beraspal di pinggir Kalimalang. Mereka baru melintas di jalan beraspal begitu masuk kawasan Jakarta. Untuk tiba di kantor di kawasan Jalan Jenderal Sudirman diperlukan waktu satu setengah jam.
Para penyepeda sangat merasakan betapa Jakarta tak bersahabat bagi pengayuh sepeda. Mereka bak mengarungi lautan polusi. Tak ada jalur khusus kereta angin. Trotoar tempat pejalan kaki saja sudah direbut pemakai sepeda motor. Padahal, di negara lain, di Bogota, Kolombia, misalnya, sudah ada jalur sepeda dan jalan kaki. Bahkan di setiap halte buswaynya, ada parkir khusus sepeda.
Itu baru masalah di jalanan. Belum lagi di kantor. Jarang-jarang gedung perkantoran di Jakarta yang menyediakan tempat parkir sepeda. Juga tak ada tempat khusus untuk berganti pakaian. Biasanya mereka memarkir sepeda di tempat parkiran motor atau mobil.
Muchus manggut-manggut mendengar cerita tentang bersepeda ke kantor. ”Bagus sekali. Semoga saja akan bertahan seterusnya,” katanya. Dia sendiri sudah menganggap sepeda sebagai kebutuhan hidup. Muchus memang tak bersepeda ke kantor, karena ia tak punya kantor. Dia bersepeda untuk berinteraksi dengan lingkungannya, melihat langsung berbagai peristiwa dan bermacam corak kehidupan. ”Janganlah mengklaim diri dekat dengan masyarakat jika sepanjang hari berada di dalam mobil mewah yang berkaca gelap,” katanya.
Seperti Cepi dan kawan-kawannya, Muchus juga merakit sendiri sepedanya. Sepeda Look miliknya seberat 7 kilogram didesain untuk jalan aspal. Tapi dia tak bersedia menyebut jumlah uang yang dikeluarkan untuk membangun sepeda. Yang jelas, untuk framenya saja dia harus merogoh kantong Rp 19 juta. Itu baru satu bagian. Masih banyak lagi perlengkapan lain seperti ban, jok, rantai, setang, sampai pedal rem.
Soal duit bisa dicari. Yang paling berat bagi pencinta sepeda justru membunuh rasa bosan atau putus asa saat di jalan. Para pengayuh selalu diuji kesabarannya. ”Di sinilah seninya bersepeda. Jika sanggup mengatasinya, mereka akan mendapatkan makna bersepeda,” ujar Muchus.
Nurlis E. Meuko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo