Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Kemenkes Sebut Deteksi Dini sebagai Kunci Entaskan TBC

Kemenkes menyatakan deteksi dini kasus adalah salah satu kunci memberantas tuberkulosis (TBC) di Indonesia yang jumlahnya terus meningkat.

21 Januari 2025 | 12.59 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi Tuberkulosis atau TBC. Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Data Global Tuberkulosis Report 2024 menyebut Indonesia menempati peringkat kedua negara dengan angka TBC tertinggi di dunia dengan estimasi mencapai 1.090.000 kasus dan kematian mencapai 125.000 orang pada 2023. Sementara peringkat pertama ditempati India dengan estimasi mencapai 2.800.000 kasus dan angka kematian mencapai 315.000 orang. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Terkait hal itu, Kementerian Kesehatan menyatakan deteksi dini kasus adalah salah satu kunci memberantas tuberkulosis (TBC) di Indonesia yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"TBC penyakit yang bisa diobati asal cepat ditemukan dan bisa berobat hingga tuntas dan TBC juga bisa dicegah dengan melakukan skrining atau deteksi dini," ujar Direktur Penyakit Menular Kemenkes, Ina Agustina, di Jakarta, Selasa, 21 Januari 2025.

Pada 2024, Ina mengatakan laporan sebanyak 860.100 kasus yang terkonfirmasi TBC. Dari jumlah tersebut, 751.574 orang melakukan pengobatan.

"Tidak hanya masalah nasional tapi global. Diperkirakan sekitar 1 miliar kematian akibat TBC secara global dalam 200 tahun terakhir," jelas Ina.

Perlunya deteksi kasus
Deteksi kasus diperlukan agar penderita tidak saling menularkan. Pemahaman yang belum kuat di masyarakat soal TBC juga menjadi tantangan dalam upaya menekan angka penyakit menular tersebut. Pemerintah telah mengidentifikasi sejumlah masalah dan menyusun langkah strategis untuk mempercepat penanggulangan penyakit menular ini.

Salah satu strateginya yakni optimalisasi skrining aktif menggunakan sinar X yang terintegrasi dengan pemeriksaan genetik. Selain itu, integrasi data informasi TBC menjadi fokus utama mengurangi kasus yang tak terlaporkan.

"Terintegrasi dalam pemeriksaan kesehatan gratis ada skrining dan penemuan aktif menggunakan X-ray sehingga diharapkan kita lebih luas untuk menyaring pasien," paparnya.

Meski demikian, penanganan TBC tidak bisa mengandalkan sektor kesehatan maupun pemerintah saja. Perlu kerja sama dari seluruh pihak, terutama kerja sama pentaheliks.

"Jadi, kolaborasi lintas sektor mulai dari pusat hingga daerah, pelibatan akademisi, swasta, masyarakat, hingga media perlu dalam upaya ini," ujar Ina.

Ia yakin melalui deteksi kasus TBC serta pengobatan yang berkelanjutan, angka kasus atau prevalensi TBC bisa ditekan. "Kita masih mengutamakan promotif dan preventif. Orang dengan risiko tinggi kena TB, yakni kontak erat, kontak serumah, dan beberapa penyakit tertentu, orang dengan HIV, diabetes melitus, atau kurang gizi adalah orang-orang yang berisiko terkena TB," jelasnya.

Mereka perlu melakukan pemeriksaan dan memastikan tidak ada TB aktif dan minum obat pencegahan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus