OBAT tak bisa menyembuhkan lumpuh dan pikun. Karena itu, para ahli sekarang berusaha mengatasi penyakit yang menyerang orang-orang tua itu dengan cangkok otak. Percobaan terhadap binatang kelihatannya memberi garapan. Dalam sebuah percobaan di rumah sakit Saint Elizabeth di Washington, para ahli menyuntikkan zat kimia tertentu pada tikus, hingga binatang itu gempor dan berputar-putar. Gerakan-gerakan yang tak terkontrol itu timbul karena rusaknya otak. Kerusakan otak itu pula yang menyebabkan lumpuh, seperti pada penderita Parkinson (disebutkan demikian untuk menghormati James Parkinson yang mulai meneliti penyakit ini tahun 1817). Lantas tikus-tikus putih tadi dicangkok otaknya dengan seiris kecil jaringan otak yang diambil dari otak tikus yang masih janin. Dibandinkan dengan tikus yang tidak dicangkok,tikus-tikus yang berotak cangkokan itu berhasil mengurangi gerakan-gerakan berputar yang tak terkontrol sampai separuh. Beberapa ekor, menurut majalah Discover terbitan Februari, malahan sembuh sama sekali. Sukses percobaan dengan tikus itu membuka pintu terhadap kemungkinan untuk mengobati penyakit yang tak tersembuhkan, seperti pikun. Cacat pertumbuhan dan kecelakaan yang mengakibatkan rusaknya otak ataupun tulang belakang bisa diatasi. Demikian pula penyakit yang disebabkan kurang berfungsinya otak, seperti gangguan seks karena hormon kurang lancar. Malahan bisa menyembuhkan diabetes yang timbul karena ketegangan. Dan orangorang jompo bisa dibikin terampil kembali dalam menggerakkan anggota tubuhnya. Yang luar biasa dari upaya cangkok otak ini adalah kenyataan bahwa organ ini tidak menolak terhadap irisan otak yang dicangkokkan. Sama sekali berbeda dengan organ tubuh yang lain, seperti jantung dan ginjal, yang selama ini mengalami kegagalan karena daya tolak itu. Diilhami sukses cangkok otak tikus di Washinton tadi, para ahli sekarang memusatkan pikiran untuk menjajaki kemungkinan pelaksanaannya pada manusia. Penyakit Parkinson yang mereka sasar, karena penyakit inilah yang paling mereka ketahui mekanisme serangannya. Belum semua, memang. Tapi bagian terbesar mengenai seluk-beluk penyakit itu, yang membikin tangan dan kaki orang bergerak-gerak, sudah mereka ketahui. Sejak 1950-an para ahli sudah mengetahui Parkinson terjadi karena otak kekurangan dopamine, salah satu neurotransmitter yang berfungsi mengirimkan isyarat-isyarat saraf. Kekurangan ini timbul karena sel-sel penghasil dopamine yang bentuknya hitam dan terletak di tengah otak (yang disebut substantia nigra) secara misterius rusak. Substantia nigra ini terdiri dari beberapa ratus ribu sel penghasil dopamine. Kalau terjadi kerusakan di situ, orang akan kehilangan kemampuan mengendalikan gerakan-gerakan semau-gue yang dilakukan kaki atau anggota tubuh yang lain. Untuk mengatasi penyakit Parkinson, dokter biasanya memberikan obat yang bernama L-dopa. Obat ini memang meningkatkan jumlah dopamine, tetapl hanya sementara. Sedangkan efek sampingnya tak kurang berbahaya. Bisa mengganggu ritme debaran jantung, puyeng, dan menimbulkan depresi. Lagipula, tambah lama dipakai, khasiatnya semakin berkurang. Para ahli cangkok beranggapan, kalau memang mau menyembuhkan Parkinson, pencangkokan bisa dilakukan semata-mata pada bagian otak yang menghasilkan dopamine yang mengatur gerakan-gerakan otot. Dalam percobaan binatang, mereka telah berhasil melaksanakannya dan hasilnya meyakinkan. Tetapi soalnya apakah pencangkokan macam itu akan berhasil juga pada manusia. Selain pertanyaan itu mereka juga terbentur pada masalah etika untuk melaksanakan cangkok yang bersifat eksperimental itu. "Tetapi akhirnya kami sampai pada pikiran bahwa barangkali lebih tidak etis bila tidak mengadakan percobaan," ucap Lars Olson, salah seorang ahli dari Institut Karolinska di Stockholm. Lantas para ahli Swedia dengan berani melaksanakan cangkok otak tahun lalu. Tidak jelas apakah itu yang pertama kali. Yang jelas, yang dicangkokkan bukannya otak janin manusia, melainkan kelenjar adrenalin yang juga menghasilkan dopamine. Ada dua pasien terlibat. Pasien pertama seorang pendeta berusia 57 tahun. Hasilnya tidak begitu memuaskan, tapi dia bisa mengurangi ketergantungannya pada L-dopa. Pasien kedua, yang dijadikan percobaan tahun lalu, wanita berumur 46. Sebelum dicangkok wanita ini sudah lumpuh total, mirip patung saja. Setelah dicangkok, sebagaimana diceritakan ahli bedah Erik-Olof Backlund, dia kembali bisa mempergunakan tangannya. Tahun ini juga para ahTi Swedia tadi akan melaksanakan operasi pencangkokan kembali. "Kami barangkali akan mendapat hasil yang lebih baik seandainya kami memilih tempat (pencangkokan) yang lain," ujar Backlund. Sebab, percobaan tikus menunjukkan bahwa makin tepat otak yang dicangkokkan ditempatkan, makin tinggi tingkat keberhasilannya. Swedia kelihatannya maju pesat dalam upaya cangkok otak ini. Dalam majalah Science terbitan September tahun lalu, muncul tulisan tentang rangkaian percobaan di sana yang tampaknya bisa membuat orang tercengang, meskipun sukses itu baru di tingkat tlkus percobaan. Salah satu adalah percobaan yang menunjukkan tikus yang sudah tua. Setelah ke otaknya ditempelkan substantia nigra yang diambil dari janin tikus, eh, dia bisa ngeloyor di atas papan yang direntangkan. Padahal, tanpa cangkokan dia jatuh melulu. Sekarang Swedia sedang berusaha mencangkok hippocampus, daerah otak yang terlibat dalam kegiatan mengingat. Ini adalah upaya mereka untuk mengatasi penyakit pikun. Penyakit yang diderita 5% dari orang yang berusia di atas 65 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini