Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Dalam Ayunan Dua Kutub

Prevalensi penderita gangguan bipolar ditengarai lebih besar ketimbang data resmi. Penyakit ini dapat diatasi dengan deteksi dini dan terapi tepat.

24 Agustus 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak duduk di bangku sekolah menengah atas, Ardianto Wihadi merasa berbeda dengan teman-temannya. Saat itu suasana hatinya gampang berubah-ubah secara ekstrem. Hanya karena suatu sebab kecil, seperti mendengarkan lagu, semangatnya bisa meluap luar biasa. Namun, cuma beberapa saat kemudian, dia sangat bersedih karena alasan yang sama. Teman-temannya tentu tak bisa memahaminya. "Saya dicap aneh oleh mereka," kata pria 30 tahun ini, Senin pekan lalu.

Keanehan itu menjalar dalam pergaulan sehari-hari. Ardi gampang merasa dekat dengan orang lain. Dia bisa langsung merangkul orang yang baru berkenalan dengan dirinya. Saat suasana hatinya tengah meruah, ia bisa berbelanja secara berlebihan. Misalnya, Ardi pernah menghabiskan duit puluhan juta rupiah untuk membeli keperluan komputer. Ujungnya, dia menunggak utang tujuh kartu kredit dan keluarga harus menutupinya dengan menjual rumah.

Di lain waktu, dia akan merasa terpuruk hanya karena pesan yang dikirimnya melalui telepon genggam tak berbalas oleh teman. "Misalnya, setelah minta nomor kepada teman dan dikasih, saya bilang 'makasih', tapi enggak dibalas. Itu bikin saya sangat sedih dan merasa terkucil," katanya. Di lain waktu, Ardi bahkan pernah mencoba bunuh diri dengan menenggak 50 butir pil sekaligus!

Tak tahan dengan dirinya sendiri, delapan tahun sejak stempel aneh itu melekat, Ardi menemui psikiater. Dari dua ahli yang ditemuinya, semua menyatakan dia menyandang bipolar dan kepribadian ambang. Kepastian ini justru membuatnya lega. "Sekarang saya tahu apa yang saya hadapi," katanya. "Dulu saya seperti berhadapan dengan setan."

Bipolar, yang berarti dua kutub, merupakan gangguan otak yang menyebabkan perubahan suasana perasaan, energi, dan tingkat aktivitas yang tidak normal. Gejala ini tentu berakibat pada kegiatan sehari-hari. Gangguan ini ditandai dengan episode manik dan depresi dengan intensitas dan tingkat berbeda-beda.

Saat depresi, minat atau perasaan senang lenyap seketika. Biasanya menyebabkan insomnia, penurunan energi, merasa letih, merasa tak berharga dan bersalah. Pengidap bipolar juga mengalami penurunan konsentrasi dan memori hingga memiliki ide bunuh diri secara berulang. Sebaliknya, saat mania menyergap, mood-nya akan melonjak, kepercayaan diri mendadak tinggi, merasa tidak membutuhkan waktu untuk tidur, banyak bicara, gagasannya meloncat-loncat, dan pikirannya berlomba-lomba sendiri. Selain itu dia juga mengalami peningkatan aktivitas sosial, pekerjaan, sekolah, bahkan hasrat seksual.

Psikiater Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Natalia Widiasih, mengatakan dalam keadaan normal penderita bipolar sebenarnya bersikap sangat wajar. Perubahan drastis hanya terjadi saat mood-nya terganggu. "Mood inilah yang bermasalah," katanya.

Jika sedang dalam episode manik, penderita bisa melakukan apa pun tanpa berpikir panjang. Saat libidonya meningkat, dia bisa saja memeluk orang yang ditemuinya di pinggir jalan. Bahkan, kalau yang diajak mau, mereka bisa berhubungan seks tanpa saling mengenal dan tanpa perasaan apa pun. Studi gagasan Frederick K. Goodwin dan Kay Redfield Jamison pada 1990 menyebutkan 57 persen penderita bipolar mengalami masalah seksual. Ini terjadi karena dorongan impulsif dalam otak yang tak bisa ditahan.

Nah, ketika luapan manik mereda, baru datang penyesalan. Celakanya, perasaan itu gantian memantik episode depresi. Pada fase ini, jika tak tertangani dengan baik, akibatnya bisa fatal. Penderita bisa bunuh diri. Tercatat 10-20 persen pengidap bipolar meninggal karena bunuh diri, dan 30 persen lainnya pernah mencoba bunuh diri. Ini pula yang terjadi pada komedian kawakan Robin Williams, pelukisVincentvan Gogh, dan banyak penderita bipolar lain. "Maka ide bunuh diri ini wajib dideteksi," tutur Natalia.

Banyakkah pengidap gangguan ini di sekitar kita? Prevalensinya diperkirakan 1 persen. Namun, menurut Natalia, bukti terbaru mengungkapkan terdapat subtipe dari gangguan ini yang tidak terwakili angka tersebut. Sehingga kemungkinan besar prevalensi aktualnya mendekati angka 3,5-4,5 persen.

Mereka yang "terserang" gangguan ini, menurut Natalia, umumnya remaja 15-19 tahun. Ini memang masa para "anak baru gede" itu beradaptasi dengan perkembangan fisiknya yang masuk masa pubertas. "Itu masa-masa galau mereka."

Puncak kedua terjadi pada umur 20-24 tahun. Sama seperti pada puncak pertama, tekanan di usia ini pun dianggap lebih tinggi. Biasanya ini saat orang lagi sibuk-sibuknya kuliah atau baru bekerja. Mungkin juga baru berumah tangga.

Dari sisi medis, gangguan bipolar muncul karena ada beberapa sirkuit neurotransmisi di otak yang kacau, yakni di norepinefrin, dopamin, dan serotonin. Menurut Natalia, genetik memegang faktor penting. Tapi ada juga pengaruh lain, yakni psikologis yang berkaitan dengan cara pribadi menangani suatu masalah. Ada juga faktor sosial seperti dukungan keluarga dalam menangani problem tersebut. Jika ketiganya bagus, meskipun ada perkara gawat, orang tak akan jatuh dalam kondisi bipolar.

Tetapi, jika telanjur terjatuh, gangguan bipolar masih bisa dikendalikan. Kuncinya ada pada deteksi dan diagnosis dini yang akurat serta terapi optimal.Deteksi dini dapat dilakukan menggunakan The Mood Disorder Questionnaire dengan melihat sejumlah gejala. Psikiater dari Rumah Sakit Pondok Indah dan Sanatorium Dharmawangsa, Ashwin Kandouw, mengatakan biasanya dokter akan menanyakan riwayat emosi pasien. Jika sudah terdiagnosis, barulah dikendalikan agar tak bertambah.

Cara yang dilakukan ahli, kata Ashwin, adalah dengan pemberian obat-obatan yang bersifat meredakan mood dan obat antipsikotik guna menghalau halusinasi. Racikan kimia ini berfungsi mengatasi kekacauan di otak tadi. "Jika obat-obatan sudah diberikan, barulah melangkah ke terapi selanjutnya."

Menurut psikiaterdari RS Jiwa Soeharto Heerdjan,Prianto Djatmiko, terapi yang dilakukan itu berkaitan dengan perilaku, terapi rehabilitasi, terapi kelompok, psikoterapi, dan terapi spiritual. Ini semua mencakup kebutuhan sosial dan psikologi pasien. Dalam terapi kelompok sesama penderita bisa saling mendukung.

Di luar itu, tentu saja, Djatmiko menegaskan dukungan keluarga sangat penting. Absennya sokongan orang terdekat bisa membuat pengidap bipolar merasa beban depersinya berlipat. Ardi, yang mengaku kurang mendapat dukungan motivasi dari keluarga, merasakan hal semacam itu. "Bebannya dobel, rasanya ingin mati saja."

Vindy Ariela, 24 tahun, adalah contoh penyandang bipolar yang mendapat perhatian keluarga. Vindy dulu juga kerap mengalami perubahan drastis dalam perasaannya. Misalnya merasa sangat berenergi, kemudian terpuruk, sampai hendak bunuh diri. Saat terlihat gejala aneh pada dirinya itulah, keluarga segera memeriksakannya ke psikiater. Dia lalu mendapat perawatan usai divonis menyandang bipolar.

Kini Vindy sudah bisa berusaha mengatasi keadaan dirinya jika tengah depresi. Nona ini akan membuat daftar penyebab suasana hatinya ngedrop, lalu dia tuliskan cara mengatasinya. Kini, misalnya, dia tak akan sedih luar biasa saat merasa diacuhkan oleh teman. Vindy akan berbaik sangka bahwa sang kawan barangkali sedang sibuk. Pemikiran semacam ini membuat dirinya tak merasa terpuruk lebih dalam. "Jadi bisa teratasi."

Tentu, meski sudah lebih baik, dukungan dan perhatian keluarga tetap diperlukan. "Lingkungan yang terbaik bagi penderita gangguan jiwa adalah keluarga yang mendukung," kata Prianto Djatmiko.

Nur Alfiyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus