Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kiki Verico*
Setidaknya, dalam dua tahun terakhir, nilai tukar mata uang negara-negara berkembang yang masuk kategori the emerging markets, termasuk rupiah, mulai terlihat melemah. Ini salah satunya terkait dengan membaiknya pasar keuangan di Amerika Serikat dan Eropa Barat, sehingga arus modal mulai kembali dan mengubah keseimbangan ekonomi dunia. Bagi negara-negara emerging markets, ini adalah faktor eksternal karena berada di luar kendali mereka. Namun sebagian ahli berpendapat bahwa pelemahan mata uang ini disengaja oleh negara berkembang untuk mendorong ekspor yang ikut melemah sejak turunnya harga komoditas primer dunia. Kondisi ini dikenal dengan "perang mata uang" (currency war) karena melibatkan banyak negara dan terjadi secara bersamaan. Tapi benarkah pelemahan ini disengaja?
Bisa jadi "tidak" karena pelemahan terjadi sejak arus modal dan keuangan kembali ke negara maju dan tidak semua negara berkembang "bahagia" karenanya. Selain itu, ada dua kondisi yang harus diperhatikan. Pertama, neraca perdagangan (trade account) dan neraca transaksi berjalan (current account) negara tersebut mengalami surplus atau defisit. Kedua, nilai tukar negara tersebut ditentukan oleh mekanisme pasar atau diatur oleh pemerintah. Jika kedua neraca tersebut mengalami surplus, mata uang domestik memang menguat (undervalue) sehingga seharusnya mengalami apresiasi atau revaluasi. Jika mata uang diatur oleh pemerintah, tudingan currency war menjadi semakin kuat. Sebab, bila tidak direvaluasi, posisi undervalue diduga disengaja untuk meningkatkan ekspor dan menahan impor. Devaluasi yuan setelah melemahnya pasar keuangan membuka kemungkinan lain bahwa pertama, pelemahan mata uang bukan sebagai "sebab" untuk meningkatkan ekspor, melainkan "akibat" dari melemahnya sektor keuangan. Kedua, lebih menjadi "sebab" jika neraca perdagangan mengalami surplus, tapi ketika neraca perdagangan menurun, terlalu terburu-buru untuk mengatakan bahwa pelemahan ditujukan buat mendorong ekspor serta terjadi currency war karena pelemahan itu justru meningkatkan harga impor bahan baku dan mesin yang dibutuhkan oleh eksportir.
Menurut hitungan penulis, dengan membandingkan data nilai tukar nominal dan riil, setidaknya dalam lima tahun terakhir hampir semua mata uang di Asia Tenggara dan Timur berada pada posisi undervalue sehingga seharusnya memang terjadi apresiasi atau revaluasi. Rupiah sendiri dalam sepuluh tahun terakhir selalu pada posisi undervalue. Penguatan ini normal karena neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan Indonesia surplus seiring dengan tingginya harga komoditas primer dunia, sehingga pada periode ini undervalue rupiah berdampak positif pada penguatan ekspor Indonesia. Namun, mulai akhir 2012, neraca perdagangan yang surplus menurun sehingga neraca transaksi berjalan mulai mengalami defisit dan rupiah melemah. Pada kondisi seperti ini, undervalue rupiah sulit diharapkan untuk mendorong ekspor, terutama karena pelemahan rupiah juga membuat harga barang impor menjadi lebih mahal, sementara kebutuhan impor didominasi oleh bahan baku dan barang modal yang masing-masing memiliki proporsi terhadap total impor sebesar 76 persen dan 18 persen. Ekspor Indonesia bergantung pada komoditas primer dan impor sehingga pelemahan rupiah justru membuat ekspor melemah. Dari sini dapat dikatakan bahwa posisi undervalue rupiah mempersulit perdagangan sehingga tidak mungkin Indonesia sengaja membuat rupiah melemah dan masuk zona currency war.
Kekhawatiran lain adalah apakah Indonesia akan sama seperti Yunani. Kemungkinan terbesar juga "tidak" karena kondisi keuangan Indonesia lebih baik. Rasio defisit anggaran tahunan pemerintah Indonesia per produk domestik bruto selama 15 tahun terakhir tidak pernah lebih dari 3 persen dan rasio total utang per PDB sudah menurun tajam dari lebih 85 persen ke hanya 25 persen per PDB. Tiga lembaga pemeringkat kredit internasional (S&P, Moody's, dan Fitch) juga memberikan nilai yang lebih baik untuk Indonesia.
Namun upaya menjaga agar kondisi ekonomi Indonesia tidak terjebak lesu harus terus dilakukan. Salah satu indikator yang harus diperhatikan dan ini terkait dengan nilai tukar rupiah adalah neraca transaksi berjalan.
Neraca transaksi berjalan sangat menentukan nilai tukar rupiah serta mempengaruhi neraca transaksi modal dan keuangan. Maka penting untuk menjaga neraca transaksi berjalan yang terdiri atas dua neraca, yaitu perdagangan barang dan jasa serta pendapatan. Indonesia sangat mengandalkan neraca perdagangan barang karena neraca perdagangan jasa dan pendapatan, terutama pendapatan primer bersih yang berasal dari kompensasi pekerja dan pendapatan investasi Indonesia di luar negeri, selalu mengalami defisit. Sayangnya, sejak akhir 2012, surplus neraca perdagangan barang Indonesia menurun sehingga otomatis membuat neraca transaksi berjalan mengalami defisit dan melemahkan rupiah. Defisit ini seharusnya dapat ditutupi dengan surplus di neraca transaksi keuangan, khususnya investasi jangka pendek. Namun saat ini tidak tepat mengandalkan investasi jangka pendek mengingat pasar keuangan negara maju tengah membaik sehingga lebih menarik untuk investasi portofolio dan derivatif. Sedangkan investasi asing jangka panjang (foreign direct investment) bukan solusi yang mudah karena tidak bisa meningkat cepat dalam waktu yang singkat. Selain itu, peningkatan investasi fisik biasanya diikuti dengan naiknya impor bahan baku dan modal produksi, sehingga dampak positif pada neraca transaksi berjalan baru bisa dirasakan dalam jangka waktu menengah atau panjang.
Langkah apa yang sebaiknya diambil? Karena faktor eksternal di neraca modal dan keuangan berada di luar kendali Indonesia, faktor internal yang harus diperbaiki adalah neraca perdagangan barang dan jasa serta neraca pendapatan primer. Memperbaiki neraca-neraca ini sama saja dengan memperbaiki sektor riil, yang perbaikannya membutuhkan waktu tapi berdampak positif pada pasar keuangan dan dapat menarik investasi. Bagaimana cara memperbaiki defisit neraca transaksi berjalan dalam jangka pendek dan menengah panjang?
Dalam jangka pendek, dari sisi moneter, adalah mempertahankan agar tingkat suku bunga domestik (Sertifikat Bank Indonesia) tetap menarik. Jika tingkat suku bunga, misalnya dolar Amerika, dinaikkan oleh The Federal Reserve, SBI juga perlu naik. Dari sisi sektor riil adalah meningkatkan apa yang sudah menjadi keunggulan komparatif dan kompetitif Indonesia di pasar global. Data tahun 2015 menunjukkan neraca perdagangan Indonesia surplus. Pada semester pertama (Januari-Juli 2015), surplus mencapai US$ 5,73 miliar, lebih baik dibandingkan dengan neraca perdagangan pada periode yang sama 2014, yang mengalami defisit sekitar US$ -1,1 miliar. Data bulanan (Juni-Juli 2015) menunjukkan bahwa surplus perdagangan Indonesia meningkat dari sekitar US$ 0,53 miliar ke US$ 1,33 miliar. Demikian pula data tahunan (Juli 2014-Juli 2015) menunjukkan bahwa surplus perdagangan meningkat dari US$ 0,05 miliar ke US$ 1,33 miliar. Namun ada hal yang perlu diperhatikan bahwa nilai ekspor Indonesia sebenarnya menurun -16 persen (Juni-Juli 2015) dan -19 persen (Juli 2014-Juli 2015). Surplus terjadi karena nilai impor menurun lebih besar dari penurunan nilai ekspor, yaitu -22 persen (Juni-Juli 2015) dan -28 persen (Juli 2014-Juli 2015), sehingga Indonesia harus meningkatkan daya saing ekspor agar surplus terjadi bukan semata-mata karena penurunan impor, yang proporsi terbesarnya justru ada pada bahan baku dan mesin produksi.
Solusi jangka menengah-panjang adalah mengubah paradigma bersaing bahwa persaingan di pasar global adalah penting karena lebih ketat dan berat. Jika terbiasa bersaing secara global, akan lebih percaya diri ketika bersaing dengan produk impor di pasar lokal, selain tentu saja karena pasar global adalah penyedia devisa. Selain itu, setidaknya ada dua paradigma lain yang perlu ditinjau ulang. Pertama, substitusi impor. Terlalu berfokus pada pasar lokal akan meningkatkan jumlah rupiah melebihi jumlah devisa sehingga rupiah akan rentan dalam posisi melemah.
Kedua adalah proteksi, termasuk nontarif. Perlindungan terhadap pasar lokal, seperti pemberlakuan kuota, membuka peluang terjadinya tindakan serupa untuk ekspor Indonesia sehingga dapat menurunkan penerimaan devisa. Kebijakan substitusi impor dan kuota juga berpotensi menimbulkan gejolak di pasar lokal, seperti yang terlihat pada komoditas daging dalam beberapa waktu terakhir. Beberapa bagian di dalam neraca transaksi berjalan harus tetap menjadi prioritas utama, yaitu selain mendorong ekspor barang dan jasa, perlu ditingkatkannya penerimaan dari pariwisata turis asing serta transfer pendapatan dari investasi dan kompensasi pekerja Indonesia di luar negeri. Pada dasarnya memperbaiki neraca transaksi berjalan dan rupiah adalah memperbaiki sektor riil, yaitu meningkatkan kemampuan Indonesia dalam menghasilkan devisa melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia, mesin dan alat produksi, serta tentu saja institusi dan infrastruktur berkelas dunia. l
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) dan Peneliti LPEM FEB UI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo