Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah tiga kali Ivan Ferry Sitorus, 24 tahun, gagal menyablon gambar kereta api dengan cat biru berbahan air yang mudah dibersihkan. Cat yang seharusnya diusapkan sesuai dengan batas gambar itu meluber melebihi pola. Namun, pada usahanya yang keempat, Ivan berhasil dan ia mendapat pujian dari Aris Suryahadi, pengajar di London School Beyond Academy (LSBA), Selasa pekan lalu.
"Saya sudah selesai, ini dinilai," kata Ivan kepada Tempo, yang melihat perkuliahan mahasiswa berkebutuhan khusus itu di kampus LSBA di kompleks pertokoan Sudirman Park, Jakarta. Ivan menyangka Tempo pengajar. Ia menjawab senang ketika ditanyai perasaannya mendapat nilai 86 untuk karyanya.
Hari itu, Ivan bersama empat teman sekelasnya yang autis bergantian mencetak sablon di atas kertas berukuran A4. Setidaknya mahasiswa angkatan pertama program khusus ini sudah tiga kali melakukan praktek, dari memilih gambar favorit, membuat film sablon, sampai akhirnya mencetak. Sablon mereka bahkan sudah dipromosikan dalam bentuk tas berbahan spunbond dan kaus berlogo LSBA.
Di sela-sela sesi pelajaran yang berlangsung selama dua jam itu, para mahasiswa tampak berinteraksi satu sama lain. Mereka bertegur sapa, bahkan sesekali saling ledek disertai gelak canda. Namun mereka pun harus menyelesaikan tugas yang ditargetkan dosen. Materi yang diajarkan kebanyakan berupa keterampilan.
"Di sini 80 persen praktek," ujar Aris. Di antaranya fotografi, pewarnaan, desain grafis, tipografi, ilustrasi, dan percetakan berbasis komputer (desktop publishing). Pada beberapa mata kuliah juga diadakan kunjungan lapangan, seperti ke Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral.
"Mereka mewawancarai pengunjung. Modulnya kami yang menyiapkan," kata Veronika, dosen London School of Public Relations (LSPR), Jakarta, yang juga pendamping mahasiswa di LSBA.
Veronika juga menyeleksi mahasiswa yang mendaftar. Syarat kuliah di tempat ini adalah memiliki ijazah sekolah menengah atas atau sederajat dan lulus tes psikologi. "Mereka harus sudah mandiri, bisa berinteraksi, dan tidak mengganggu lingkungan," ujar Veronika. Pengertian mandiri adalah mampu menulis dan menggunakan komputer.
Berbeda dengan angkatan pertama yang masuk pada 2013, peserta didik angkatan kedua dibagi dalam kelompok A dan B, masing-masing tujuh orang. Mahasiswa yang lebih cepat memahami pelajaran masuk kelompok A. Para mahasiswa angkatan kedua ini bahkan disiapkan untuk bergabung dengan mahasiswa LSPR.
Pendiri LSPR dan LSBA, Prita Kemal Gani, mengatakan integrasi ini dilakukan dengan memberikan materi kuliah yang sama dengan mahasiswa LSPR. Dia antaranya mata kuliah agama dan pengenalan komputer pada tahun pertama. Pada tahun kedua, ada empat mata kuliah, antara lain desktop publishing dan fotografi.
"Sementara mahasiswa LSPR kuliah selama empat tahun, siswa LSBA bisa sampai delapan tahun untuk mendapatkan gelar sarjana," ujar Prita, yang ditemui Tempo di kantornya di Apartemen City Loft, Jakarta, Rabu pekan lalu.
Sejauh ini, kata Prita, jurusan yang cocok untuk mahasiswa LSBA adalah komunikasi massa, periklanan, dan seni pertunjukan. Mengenai yang terakhir ini, para mahasiswa LSBA sudah beberapa kali tampil di depan publik--bahkan bekerja sama dalam pementasan seni dengan Kedutaan Korea Selatan dan Jepang.
Melihat respons yang positif dari banyaknya pendaftar kuliah khusus ini, Prita berencana membangun pusat autisme di kampus baru, dua tahun mendatang. Sejauh ini, niatnya terhambat oleh ruang dan tenaga pengajar yang terbatas.
Setahun lebih dulu dari LSBA, Politeknik Negeri Jakarta di Depok pun memiliki Program Manajemen Pemasaran bagi siswa berkebutuhan khusus. Program ini sudah ada sejak 2012, setelah izin dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi diperoleh pada 2011. Ada tiga pilihan konsentrasi: komputer, seni dan kerajinan, serta desain grafis.
Menurut Pembantu Direktur Bidang Akademik Fachruddin, cikal-bakal program ini bermula pada 2009. "Dulu namanya inklusif setara dengan diploma satu, tapi sifatnya sertifikat. Saat ini ijazah resmi," ujar Fachruddin di kantornya, Senin pekan lalu. "Pimpinan menaruh perhatian besar, sehingga dirintis menjadi D-3."
Fachruddin mengatakan tujuan yang pertama dari program ini adalah bagaimana anak bisa mandiri dengan bekal keterampilan yang diberikan. "Bagaimana mereka bisa memasarkan apa yang mereka punya," ujarnya. Para mahasiswa ini diarahkan untuk menjadi wirausaha, bukan pekerja.
Orebbika Maharani, 23 tahun, contohnya. Mahasiswa Konsentrasi Komputer Politeknik Negeri Jakarta yang akan menjalani ujian sidang akhir Agustus ini sudah menetapkan keinginannya selepas kuliah program D-3. Ia mengaku ahli komputer. "Aku ingin bekerja di Eye Level. Direkturnya kakakku," kata Orebbika, yang ketika ditemui Tempo tengah asyik dengan laptop menyelesaikan laporan kerja lapangan sebagai syarat kelulusan.
Menurut Triyono, dosen pembimbing tugas akhir Orebbika, kampus ini telah meluluskan satu angkatan mahasiswa berkebutuhan khusus. "Biasanya para lulusan dilibatkan dalam perusahaan keluarga," ujarnya. Ada juga siswa yang bekerja di layanan makanan cepat saji. "Itu pun karena orang tuanya bekerja di sana," katanya.
Triyono mengatakan banyak orang tua yang memfasilitasi anak mereka dengan membuatkan usaha. Ada juga orang tua yang menginginkan keterlibatan kampus untuk kemandirian anak-anak mereka. Contohnya, ada tawaran bagaimana agar anak-anak ini mendapat bimbingan cara beternak. "Itu belum bisa kami layani," ujarnya.
Salah satu orang tua murid, Angela, mengatakan memilih LSBA karena kampus ini menyediakan banyak praktek ketimbang teori. "Tidak perlu gelar. Skill saja. Sekolah yang lebih banyak prakteknya, tidak menghafal, dan bersifat multimedia," ujar Angela, yang selalu menjemput anaknya, Vicky, sepulang sekolah.
Martha Warta Silaban, Erwin Zachri
Peduli Autis Melalui Kampus
Kampanye peduli autis melatarbelakangi pendirian program untuk mahasiswa berkebutuhan khusus di kampus Politeknik Negeri Jakarta dan London School Beyond Academy (LSBA). Kedua lembaga pendidikan ini sama-sama memulainya dari program non-gelar yang setara dengan diploma satu.
Awalnya, Politeknik Negeri Jakarta mendirikan program inklusif pada 2009. Menurut Pembantu Direktur Bidang Akademik Fachruddin, perekrutan mahasiswa pertama kali dilakukan dengan mengunjungi sekolah luar biasa, seperti SLB Budi Waluyo, Jakarta. Namun, dalam perkembangannya, peserta didiknya kini juga berasal dari sekolah normal, seperti SMA Negeri 54 dan SMA Negeri 112.
Adapun LSBA terbentuk dari kepedulian sejumlah ibu yang tergabung dalam program pengabdian masyarakat London School of Public Relations (LSPR), yang diberi nama London School Center for Autism Awareness (LSCAA). "Ada orang tua tanya, anaknya yang sudah tamat SMA mau ngapain," kata Prita Kemal Gani, pendiri LSPR dan LSBA.
Prita, yang putri bungsunya juga autis, kemudian mendirikan program kuliah satu tahun pada 2012. Tidak berhenti, ia lalu membuka program tiga tahun untuk angkatan pertama pada 2013. Seiring dengan itu, kampanye LSCAA tetap dijalankan. Setidaknya kampanye berupa pementasan teater dan pemutaran film sudah dilakukan di 759 sekolah dasar di Jakarta.
Selain itu, kata Prita, penempatan kampus LSBA yang berdampingan dengan kampus LSPR membuat siswa dapat berbaur dan saling menumbuhkan empati. Ia mengatakan, pada beberapa mata kuliah, mahasiswa LSPR juga diajak untuk menjadi 'buddy' bagi siswa LSBA. "Mereka lalu diberi sertifikat."
Martha, Erwin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo