Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dela Romadona girang betul ketika dokter yang memeriksanya mem-beri kabar ia tengah mengan-dung bayi kembar. Saat itu kandungannya telah memasuki bulan ketiga. Perempuan 25 tahun ini tak me--nyangka akan mendapat dua anak sekaligus pada kehamilan pertamanya itu. “Dulu, ketika tahu hamil, saya sudah senang. Ini tahu anaknya kembar, lebih senang lagi,” katanya, Selasa, 6 Agustus lalu.
Namun keriaan itu amblas pekan lalu. Dokter mengatakan detak jantung salah satu janinnya tiada. Janin itu meninggal dalam kandungan karena Dela menderita preeklampsia. Dela harus dioperasi segera meski kehamilannya baru memasuki usia tujuh bulan.
Ahad, 4 Agustus lalu, kedua janinnya dikeluarkan paksa dari rahimnya. Keduanya langsung berpisah dengan Dela. Bayi yang masih hidup dimasukkan ke neonatal intensive care unit (NICU) karena organ tubuhnya belum matang. “Saya masih belum tahu berapa lama dia akan di NICU,” ujarnya dengan suara lemah.
Dela masih bertanya-tanya soal apa yang membuatnya mengalami preeklampsia. Ia merasa sudah menjaga pola makannya selama mengandung, termasuk meng-hindari makanan asin. Selama ia hamil pun tak ada tanda kandungan bermasalah. Dokter mengatakan tekanan darahnya tinggi sejak usia kehamilannya lima bulan. “Tapi selama ini saya tak merasakan apa-apa,” tuturnya. Ia pun belum tahu bahwa efek preeklampsia bisa terus mem-bayanginya seumur hidup.
Preeklampsia adalah gangguan keha-milan yang ditandai dengan tekanan darah tinggi dan kandungan protein yang tinggi dalam urine. Sering kali ibu hamil yang mengalaminya juga menderita pem-bengkakan di kaki, tungkai, dan tangan. Sebanyak 2-8 persen perempuan hamil menderita masalah tersebut.
Gangguan ini dapat menyebabkan kom-plikasi gawat pada ibu dan bayinya. Preeklampsia yang tak ditangani bisa men-jelma menjadi eklampsia, yakni kejang-kejang pada ibu yang bisa menyebabkan kematian. Preeklampsia dan eklampsia adalah pembunuh terbesar kedua para ibu di Indonesia, setelah perdarahan.
Salah satu penyebab gangguan keha-milan ini adalah masalah pada plasenta alias ari-ari yang bertugas menghubungkan darah ibu dengan darah janin. Darah mem-bawa nutrisi dan oksigen untuk janin. Jika plasenta tak sempurna, janin tak mendapat cukup nutrisi dan oksigen. Akibatnya, pertumbuhan janin terhambat. Yang pa-ling ekstrem, jabang bayi bisa meninggal lantaran pasokan nutrisi dan oksigennya terhenti.
Karena faktor penyebabnya plasenta, untuk mengakhiri kondisi preeklampsia, dokter akan berusaha mengeluarkan ari-ari ini dari perut ibu. Maka bayi, yang ber-gantung pada plasenta, mau tak mau mesti dikeluarkan. Dulu para ahli yakin, setelah bayi dilahirkan dan ari-ari dikeluarkan dari rahim, ibu terbebas dari masalah pre-eklampsia. Tapi ternyata efeknya bisa mem-bekas pada ibu sampai bertahun-tahun setelah melahirkan.
Rupanya, ada penyebab lain. Temuan ter-baru membuktikan ada kelainan dalam pembuluh darah ibu yang terjadi jauh se-belum kehamilan, terutama mereka yang menderita preeklampsia sebelum hamil atau saat kehamilan berusia 34 pekan. Akibat kelainan ini, tubuh terpicu mele-paskan zat-zat yang menyebabkan tekanan darah meningkat ketika ibu hamil. “Secara klinis, 70 persen preeklampsia disebabkan oleh kelainan pembuluh darah ini,” ucap guru besar ilmu kebidanan dan kandungan Universitas Padjadjaran, Bandung, Johan-nes C. Mose.
Dampak preeklampsia bisa terbawa se-panjang hayat ibu. Risiko mengalami tekanan darah tinggi, penyakit jantung, dan stroke meningkat berkali lipat pada pe-rempuan yang pernah menderita pre-eklampsia. Pun demikian penyakit dia-betes melitus.
Namun sebagian besar masalah ini baru terdiagnosis jauh setelah ibu melahirkan dan lalu jatuh sakit, misalnya mengalami sakit jantung. “Selama ini kami baru me-nerima konsultasi setelah efeknya ber-dam-pak, seperti gagal jantung, sesak napas, gangguan fungsi jantung,” tutur dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, Muhammad Yamin.
Dokter spesialis kebidanan dan kan-dungan, Peby Maulina Lestari, mempelajari cara mengetahui penanganan masalah jantung akibat preeklampsia lebih cepat sehingga tak sampai berdampak fatal. Ia meneliti 80 perempuan hamil di Rumah Sakit Umum Pusat Dr M. Djamil dan Rumah Sakit Hermina di Palembang. Sebanyak 26 di antaranya hamil tanpa preeklampsia. Peby menjadikan mereka sebagai kelompok perbandingan. Sisanya adalah perempuan yang hamil dengan preeklampsia.
Darah mereka diperiksa dan struktur jantungnya dilihat dengan ekokardiografi atau ultrasonografi untuk jantung. Dari penelitiannya, Peby mendapati penebalan jantung terjadi sejak preeklampsia muncul. Begitu orang menderita preeklampsia, jantungnya berubah satu tingkat lebih tebal. Penebalan ini terdeteksi lewat ekokardiografi. “Bilik kirinya menebal,” ujar-nya. Penebalan jantung inilah yang lama-lama menyebabkan payah jantung, yang juga dikenal dengan sebutan lemah jantung.
Dalam studinya, Peby membuktikan penebalan juga terjadi akibat kerusakan plasenta pada awal masa kehamilan. Kecacatan pada plasenta tersebut mem-buat material yang rusak dalam plasenta masuk ke aliran darah ibu. Tubuh me-res-ponsnya dengan mengeluarkan zat yang menyebabkan pembuluh darah me-ngecil. Akibatnya, aliran darah ke jantung berkurang. Penurunan aliran ini meng-ubah sirkulasi darah hingga akhirnya meng-ubah bentuk jantung ibu. Aliran yang berkurang juga memicu suplai darah ke semua organ tubuh mengempis.
Perubahan bentuk jantung ini bersifat sementara, tapi banyak juga yang per-manen sehingga menyebabkan payah jan-tung. Salah satu tandanya adalah tubuh cepat lelah meski hanya melakukan aktivitas ringan. Payah jantung bisa terus mengintai ibu sepanjang hidup. “Kualitas hidupnya tentu menurun,” kata Peby. Efek terparahnya adalah nyawa ibu terenggut.
Karena perubahan bentuk jantung sudah bisa terlihat sejak ibu menderita pre-eklampsia, baik Peby maupun Yamin menyarankan para ibu yang mengalami preeklampsia tak hanya ditangani dokter spesialis kebidanan dan kandungan. Dok-ter dengan kompetensi kardiovaskular juga semestinya dilibatkan. Pemeriksaan tak hanya dilakukan pada masa kehamilan, tapi juga setelah ibu melahirkan. “Diperiksa tiga bulan dan enam bulan kemudian,” tutur Peby.
Yang lebih penting adalah mencegah ibu hamil menderita preeklampsia. Me-nu-rut Yamin, upaya mesti dilakukan para perempuan sebelum hamil dengan menjaga berat badan dan tekanan darah normal, rutin berolahraga, mengkonsumsi makanan sehat, serta meningkatkan kolesterol baik. Usaha hidup sehat ini dilanjutkan setelah hamil. “Ini cara yang murah,” ujarnya.
NUR ALFIYAH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo