LEBIH dari satu abad silam, tepatnya tahun 1864, dr. Henry Dunant mendirikan "Palang Merah", satu lembaga yang sangat besar dedikasinya dalam menolong korban perang. Perkembangannya kemudian menunjukkan, organisasi ini berperan dalam menghimpun donor darah dan mendistribusikan kepada merekayang memerlukannya. Kini, Palang Merah berkibar di seluruh dunia, dan dipercaya sebagai "lumbung darah". Operasi besar maupun kecil, kecelakaan yang mengakibatkan banyak perdarahan, serta penderita penyakit darah, sangat bergantung pada organisasi ini. Kendati sangat vital, Palang Merah sampai kini tetap mempertahankan identitasnya sebagai badan sosial. Organisasi ini jauh berbeda dari pelayanan kesehatan lainnya -- seperti rumah sakit dan asuransi kesehatan -- yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan selalu mendapat tunjangan besar. Demikian juga halnya PMI (Palang Merah Indonesia). Organisasi sosial ini tidak menggantungkan diri pada tunjangan pemerintah. Karena itu, di saat kondisi ekonomi tidak begitu cerah keuangan organisasi itu tidak menggembirakan. Dana masyarakat yang mengalir ke PMI, belakangan ini seret. Dalam peresmian Gedung PMI Cabang Surabaya, Rabu pekan lalu, Ketua Umum PMI Dr. Ibnu Sutowo mempermaklumkan bahwa PMI menghadapi kesulitan dana. PMI Pusat defisit satu milyar rupiah. Perhitungan pembukuan menunjukkan, PMI Pusat tahun lalu hanya mampu mengumpulkan dana Rp 2,5 milyar, bagi omset totalnya Rp 3,5 milyar. Defisit sebesar Rp 1 milyar, menurut Ibnu, terutama berasal dari tunjangan ke PMI cabang, yang sebagian besar berupa pinjaman untuk pembelian peralatan. Dengan catatan tidak semua cabang PMI melakukan penunggakan. Ketua PMI Cabang Medan, dr. H. Hamsar Siregar, menyatakan, "Sejauh ini dengan sumbangan yang masuk dari Bulan Dana PMI, kami masih mampu membeli peralatan dan menggaji pegawai." Namun, Hamsar membenarkan, PMI Pusat sering membantu membelikan bahan-bahan. "Misalnya senyawa kimia untuk memeriksa virus hepatitis, juga plasma darah," katanya. "Tapi, selama ini kami masih bisa membayarnya." PMI Cabang Surabaya juga menyatakan tidak mengalami kesulitan uang. Sumbangan yang datang dari perusahaan-perusahaan besar seperti Gudang Garam membuat PMI Surabaya tidak kekurangan dana. Anggaran tahun lalu, misalnya, menurut ketuanya dr. Loekman Ichsan, bersisa Rp 200 juta. "Yang diungkapkan Pak Ibnu itu benar," kata Sudirman, kepala bagian pelayanan PMI Yogyakarta. "Selama ini PMI Yogyakarta selalu berutang pada PMI Pusat karena kekurangan dana." Bantuan PMI Pusat, menurut Sudirman, berupa penjualan labu transfusi darah seharga Rp 3.500 per labu. PMI Cabang Yogya kemudian mengenakan ongkos pelayanan Rp 8.000 per labu. "Tapi kami tetap sulit membayar kembali karena dana yang ada terserap biaya operasional," katanya, "Sumbangan lewat Bulan Dana PMI sangat kecil." Ongkos pelayanan memang salah satu masalah yang disoroti Ibnu Sutowo. Setelah berkeliling selama dua tahun ke cabang-cabang, bekas dirut Pertamina ini sampai pada kesimpulan bahwa ongkos pelayanan terlalu murah. "Saya sudah menghitung, kalau semua komponen biaya dimasukkan, serice cost itu seharusnya sekitar 30.000 rupiah per labu," katanya. Perhitungan ini belum termasuk depresiasi matauang, dana perawatan, dan penggantian peralatan. Jadi, sementara ini, dengan ongkos pelayan rata-rata Rp 7.500, masyarakat dipaksa menyubsidi Rp 22.500. Lalu siapa yang menerima subsidi ini? Jawabnya: masyarakat mampu. Ini diketahui Ibnu, berdasarkan hasil survei di semua cabang. Yang menjalani operasi di rumah sakit dan para penderita penyakit darah umumnya orang-orang kelas menengah atas. Kalangan bawah umumnya masih direpotkan oleh penyakit infeksi. Sebagai contoh, Ibnu menunjuk berkembangnya mafia calo darah di Medan. Ini menunjukkan bahwa mereka yang membutuhkan darah mampu membayar. Karena itu, dalam waktu dekat, setelah mendapat persetujuan Menteri Kesehatan, Ibnu akan menerapkan manajemen baru. Ia berharap, mereka yang membutuhkan darah bisa membayar ongkos pelayanan yang 30.000 rupiah itu. "Yang tidak mampu akan kita bikinkan aturan, supaya dibebaskan." Angka ini wajar kalau dibandingkan negara-negara ASEAN, yang ongkos pelayanannya rata-rata US$ 30. Ibnu berharap, masyarakat menyadari hal ini dan tidak mengira PMI mencari untung. "Ini soal rawan karena, kalau terus-menerus kekurangan dana, kualitas darah yang disuplai PMI bisa turun, dan ini sangat berbahaya," katanya. Apalagi di masa mendatang, PMI harus menambah kemampuan mengetes darah untuk menghadapi virus AIDS, yang menular melalui transfusi darah. Kalau biaya operasional Unit Pelayanan Transfusi Darah (UPTD) bisa teratasi tanpa subsidi, sumbangan masyarakat bisa dimanfaatkan untuk mengatasi depresiasi dan pengembangan kualitas peralatan PMI. Juga program lainnya. Selain itu, Ibnu merencanakan untuk menghimpun dana melalui donatur besar, berupa deposito di bank yang bunganya bisa dimanfaatkan tiap bulan. Kata Ibnu, ini adalah dana abadi. "Deposito PMI Pusat sekarang ini sudah Rp 1,3 milyar," katanya. Tahun ini Ibnu optimistis akan bisa mencapai Rp 1,6 milyar. "Kebijaksanaan ini akan saya cobakan juga di cabang-cabang." PMI Bandung, yang tidak mengalami kesulitan dana, sudah menjalankan kebijaksanaan dana abadi. "Tapi jumlah depoito itu, sementara ini, masih rahasia," kata Ketua PMI Cabang Bandung dr. H. Sulaeman. Dengan adanya deposito itu, Sulaeman optimistis akan bisa membiayai pengeluaran PMI Bandung yang tahun ini diproyeksikan mencapai Rp 520 juta. Selain bunga deposito, PMI Bandung juga memanfaatkan sumbangan Bulan Dana PMI yang rata-rata Rp 15 juta setahunnya. "Alhamdulillah, kesadaran sosial masyarakat Bandung masih tinggi," katanya. Semangat Bandung ini masih perlu disebarkan. Khususnya ke lapisan atas. "Sumbangan darah yang membuat kita tidak kekurangan darah selama ini umumnya datang dari kalangan bawah," kata Daryono, Ketua PMI Cabang Jakarta. "Sumbangan uang masih kita tunggu dari lapisan menengah atas, yang kesadarannya sampai kini masih kurang."Jim Supangkat, Liston Siregar (Jakarta) dan biro-biro daerah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini