Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panggil saja dia Adep. Kalau mau lengkap, Ade Purnama. Inilah bujangan 28 tahun yang menggoda Jakarta dengan tawaran gaya hidup baru: jalan-jalan menyusuri gedung tua dan kawasan bersejarah. "Menghirup kembali aroma masa lalu dengan cara yang funky," katanya.
Benar, Adep punya resep spesial. Lupakan pelajaran sejarah yang kaku kering tanpa jiwa. Melalui bendera Sahabat Museum, perkumpulan anak muda gandrung sejarah, Adep menyajikan masa lalu dalam format jalan santai "Pelesiran Tempo Doeloe".
Tidak mahal, cukup mengeluarkan Rp 20 ribu jika Anda ingin bergabung dalam acara yang pamornya kian mencorong ini. Sembari menyedot udara Minggu pagi dan nyemil roti buaya yang dibagikan panitia, para peserta diajak blusukan, keluar-masuk gang sambil menikmati sejarah yang tersimpan di balik gedung-gedung kuno Jakarta—yang tidak jarang menebarkan aroma pesing tanda tak terurus.
Sejarah bagi anak muda seperti Adep memang harus dikemas segar. Ketika menyusuri Batavia Baru (Nieuw Batavia-Weltevreden) di kawasan Menteng, misalnya, jalan santai diselingi acara menyantap es krim di Ragusa Es Italia, Jalan Veteran, restoran yang berdiri tahun 1932. Hm... lekker.
Kesegaran juga bukan cuma urusan es krim. Sejarah lebih berwarna jika bukan hanya sibuk berkisah tentang tonggak-tonggak puncak (milestone), melainkan juga kisah kehidupan orang-orang biasa. Dalam sebuah acara ke Passer Baroe (Pasar Baru), contohnya, Adep mengajak peserta menapaktilasi toko milik Tio Tek Hong—sekarang menjadi Restoran Tropic—pedagang Cina di Pasar Baru pada abad ke-20, yang pertama kali menetapkan harga pas banderol pada barang dagangannya.
Berbekal ramuan resep tadi, Adep, lulusan Program D-3 Belanda Fakultas Sastra Universitas Indonesia, sukses menggaet pengikut. Awalnya, setahun lalu, kala Sahabat Museum berdiri, Pelesiran Tempo Doeloe hanya diikuti tak lebih dari 20 orang. Belakangan, peserta program ini membengkak sampai 300-500 orang dengan 25 relawan yang berperan sebagai pemandu. Adep pun tak ubahnya kesatria peniup seruling yang berjalan sambil diikuti rakyat negeri dongeng Hamelin.
Sebagian besar peserta Pelesiran, seperti yang disaksikan TEMPO dua pekan lalu, adalah remaja berpenampilan modis ala generasi MTV. Namanya anak muda, saling lirik dan saling goda pun tak terhindarkan. "Siapa tahu dapet gebetan baru," kata Nugraha, karyawan sebuah perusahaan swasta di Jakarta, yang baru pertama kali mengikuti acara Sahabat Museum.
Jalan-jalan ala Adep pun sanggup memikat kalangan diplomat dan ekspatriat Jakarta. Stanley Harsha, juru bicara Kedutaan Besar AS, umpamanya, sudah tiga kali mengikuti pelesiran Sahabat Museum. Bahkan Nyonya Ralph Boyce, istri Duta Besar AS untuk RI, tak mau ketinggalan turut serta menyusuri Passer Baroe, Januari lalu. "Saya sempat deg-degan," kata Adep, "meskipun saya juga tahu bahwa ada beberapa petugas intel yang menyamar untuk mengawal Ibu Dubes." Maklumlah, segala sesuatu mungkin saja terjadi ketika ratusan peserta bersama-sama mengayunkan kaki di lorong-lorong sempit Pasar Baru. Adep baru menarik napas lega ketika pelesiran Passer Baroe berakhir sukses tanpa insiden berarti.
Sesungguhnya Sahabat Museum tidak sendirian. Di berbagai kota telah muncul komunitas yang mencurahkan perhatian pada sejarah dan gedung-gedung pusaka (heritage). Di Yogyakarta, para pencinta bangunan bersejarah bergabung dalam Yogyakarta Heritage Society, yang dimotori para mahasiswa arsitektur. Mereka menggelar berbagai kegiatan, termasuk mempromosikan keindahan Njeron Beteng, salah satu bagian Keraton Yogyakarta.
Di Semarang, beberapa arsitek senior bergandeng tangan dalam Paguyuban Kopi Semawis atau Kelompok Pecinan Semarang untuk Pariwisata. Selain merawat fisik gedung-gedung tua, paguyuban ini bertekad membangkitkan kembali kultur masyarakat setempat. "Ide ini baru terlontar setengah tahun lalu," kata Cahyono Raharjo, anggota Kopi Semawis.
Kawasan Pecinan Semarang, menurut Cahyono, dipadati puluhan kelenteng kuno, sehingga kota ini kerap juga disebut Kota Seribu Kelenteng. Salah satu yang terkenal adalah Kelenteng Tay Kek Sie di Jalan Gang Lombok. Kelak, Cahyono bercita-cita, kawasan ini bisa menjadi tujuan wisata yang menandingi Jonker Street, pecinan di Malaka, Malaysia.
Kemudian, di Surabaya ada Lembaga Pelestarian Arsitektur Surabaya (Lepas), yang beranggotakan 40 pencinta bangunan tua. Para anggotanya—meliputi arsitek, akademisi, pensiunan, dan juga veteran perang—rutin menggelar diskusi dan kajian serta mendokumentasikan perjalanan berbagai gedung tua dalam bentuk VCD.
Sayangnya, para anggota Lepas sudah tak lagi muda. "Rata-rata sudah di atas 50 tahun. Tak bisa lagi bergerak lincah," kata Timoticin Kwanda, anggota Lepas. Itulah sebabnya Timoticin ingin melibatkan anak-anak muda supaya isu pelestarian gedung bersejarah tidak berjalan di tempat.
Lain Surabaya, lain pula Bandung. Di sini ada Paguyuban Pelestarian Sejarah Bandung, yang juga ngetop dengan sebutan Bandung Heritage. Adalah H. Ruhiyat dan Frances B. Afandy yang pada 1987 memotori pendirian paguyuban yang kini memiliki 500-an anggota ini.
Program fenomenal yang pernah dilakukan paguyuban ini adalah menapaktilasi peristiwa Bandung Lautan Api, Maret 1946. Kala itu, 200 ribu penduduk Bandung mengukir sejarah dengan membakar harta benda mereka dan lari menuju pegunungan di selatan—peristiwa emosional tentang perjuangan rakyat yang tak menyerah kepada Belanda, yang kemudian dikenang dalam lagu Halo-Halo Bandung.
Sepuluh tahun lalu, Bandung Heritage bergerak membuat tetenger (penanda) pada tempat-tempat bersejarah yang terkait dengan peristiwa Bandung Lautan Api. "Ada rumah yang menjadi markas Jenderal A.H. Nasution. Rumah lain menjadi tempat siaran radio mengobarkan semangat juang," kata Dadan Nugraha, sekretaris Bandung Heritage. Dalam waktu dekat, kata Dadan, rangkaian tetenger tadi akan diperbarui kembali.
Selain rajin berseminar dan berdiskusi, Bandung Heritage mengadopsi resep jalan santai ala Sahabat Museum. "Untuk merangkul kaum muda," kata Dadan. Desember lalu, paguyuban ini menggelar "Heritage Walks" dengan rute Hotel Preanger-Pendopo-Kantor Pos-Monumen Bung Karno-Jalan Braga-Gedung Sate. Lumayan, peserta jalan santai ini mencapai 140 orang. "Banyak yang terpesona melihat arsitektur Gedung Sate yang menjadi landmark Bandung," kata Dadan.
Ade Purnama tentu senang resep jalan santai ala Sahabat Museum mengilhami para pencinta sejarah. "Beberapa pihak malah sudah mulai menawarkan kerja sama," kata Adep, yang ingin mengembangkan sayap dengan merancang paket tur sejarah ke berbagai kota. Pekan lalu, ketika diwawancarai TEMPO, Adep sedang melakukan survei pendahuluan di Yogyakarta dan Semarang. "Biar lebih seru, saya juga sibuk mendatangi sesepuh di berbagai tempat demi mendapatkan cerita yang manusiawi tentang berbagai lokasi bersejarah," katanya.
Bagi Adep, jejak masa lampau adalah sumber pesona sebuah kota. Di sana ada kisah kepahlawanan, penaklukan, kolonialisme yang berdarah-darah, ikhtiar membangun kemakmuran, juga tetek-bengek romantisisme kehidupan zaman silam. Segala pesona itulah yang sanggup membuat sebuah kota jadi hidup, punya karakter, dan ngangeni.
Mardiyah Chamim, Kukuh S. Wibowo (Surabaya), Bobby Gunawan (Bandung), Sohirin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo